Notification

×

Iklan

Iklan

UU Pemilu, Diksi Media Sosial, dan Salah Tafsir KPU Soal Kampanye di Medsos

27 Nov 2018 | 13:38 WIB Last Updated 2019-09-19T07:13:36Z
Sigit Pamungkas
GREENBERITA.com - Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Sigit Pamungkas, menceritakan adanya penambahan diksi media sosial atau medsos di dalam Undang-Undang (UU) tentang Pemilu. Jika pada UU No.8/2012 tak ada diksi media sosial, di UU No.7/2017 diksi media sosial muncul di beberapa tempat. Hal ini menandakan bahwa pembuat UU menyadari bahwa medsos akan menjadi salah satu media kampanye yang digunakan aktif oleh peserta Pemilu 2019.

“Tapi meskipun dulu belum ada, bukan berarti pemilu 2014 tidak mengantisipasi kampanye di medsos, karena KPU memasukkan itu di PKPU (Peraturan KPU), diselundupkan di dalam kegiatan lainnya,” terang Sigit pada acara yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Makassar, Sulawesi Selatan (22/11).

Dengan dimuatnya diksi media sosial di dalam UU Pemilu, maka KPU mengaturnya dalam peraturan teknis di dalam PKPU kampanye. Namun menurut Sigit, KPU salah menafsirkan makna kampanye di media sosial sebagaimana dimaksud oleh pembuat UU.

“Di PKPU, ada ketidaktepatan menginterpretasikan maksud dari UU. Dalam kata lain, PKPU tidak fokus sebenarnya mengatur tentang apa,” ujarnya.

UU No.7.2017 tidak menyebutkan waktu dimulainya kampanye di medsos. UU hanya menyebutkan bahwa ada kegiatan kampanye yang dilakukan sejak tiga hari penetapan peserta pemilu seperti pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka, pun ada kampanye yang hanya berlangsung selama 21 hari, yakni kampanye di media cetak, media elektronik, dan rapat umum.

“UU tidak eksplisit menyebut kampanye di media sosial masuk ke periode waktu yang mana. Nah inilah yang menjadi sebab KPU salah menginterpretasi,” tandas Sigit.

PKPU tentang kampanye Pemilu 2019 mengatur agar kampanye di medsos dapat dilakukan sejak 23 September atau tiga hari sejak penetapan peserta pemilu. KPU mendefinisikan, kampanye di medsos dilakukan melalui akun-akun individu aktor politik peserta pemilu.

Definisi tersebut dinilai salah. Pasalnya jika melihat keberadaan diksi media sosial diletakkan oleh pembuat UU, diksi kampanye di media sosial selalu disatukan dengan diksi media cetak, media elektronik, dan media penyiaran. Dengan demikian, jika memaknai posisi diksi, maka idealnya KPU mengatur agar kampanye di media sosial dilakukan pada periode 21 hari. Sigit berpendapat, yang dimaksud pembuat UU dengan kampanye di media sosial adalah kampanye peserta pemilu yang melibatkan iklan kampanye dengan memberikan bayaran kepada Google, Facebook, Twitter, Instagram, atau platform medsos lainnya.

“Sebetulnya itu maksudnya adalah kampanye yang peserta pemilu bayar ke penyedia layanan medsos. Jadi, kalau misal kita buka twitter, maka iklannya akan muncul. Tapi KPU mengatur, kampanye di medsos lewat akun-akun pribadi dan akun-akun peserta pemilu. Nah ini yang tidak tepat,” jelas Sigit.

Selain itu, Sigit juga mengkritik aturan KPU yang hanya memperbolehkan setiap calon presiden dan wakil presiden memiliki sepuluh akun medsos. Aturan ini dipandang problematik karena menyebabkan calon anggota legislatif (caleg) tak dapat memiliki akun.

“Kalau cuma 10, itu berarti caleg-caleg gak boleh punya akun. Ini problematik. Mestinya dibolehkan saja, tapi dipantau. Nah nanti, kalau caleg buat, itu masuk pelanggaran gak?” ujar Sigit.

Pelanggaran kampanye yang dilakukan di masa periode kampanye 7 bulan dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Sedangkan pelanggaran yang terjadi di periode 21 hari masuk dalam kategori pelanggaran pidana.

Sumber: Rumah Pemilu