Notification

×

Iklan

Iklan

Kebijakan Hukum Pidana di KUHP Baru: Pergeseran Paradigma dari Retributif menjadi Restoratif

19 Des 2025 | 09:27 WIB Last Updated 2025-12-19T02:27:04Z

Oleh Michael Adhyaksa Padang, SH

GREENBERITA.com–Pembaharuan hukum pidana merupakan kebutuhan mendasar dalam sistem hukum Indonesia sebagai negara hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda dinilai tidak lagi sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjadi tonggak penting dalam reformasi hukum pidana nasional.


Salah satu aspek paling signifikan dalam KUHP Baru adalah pergeseran paradigma pemidanaan dari pendekatan retributif menuju pendekatan restoratif. Paradigma retributif yang menekankan pembalasan atas kesalahan pelaku dianggap kurang efektif dalam mewujudkan keadilan substantif, khususnya bagi korban dan masyarakat. Sebaliknya, pendekatan restoratif berupaya memulihkan hubungan sosial, memperhatikan kepentingan korban, serta mendorong pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya.


Dalam perspektif kebijakan hukum pidana, perubahan ini sejalan dengan pandangan bahwa hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial. Menurut Sudarto, kebijakan hukum pidana mencakup upaya merumuskan peraturan pidana yang baik serta pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum agar tujuan penanggulangan kejahatan dapat tercapai secara efektif dan berkeadilan. Dengan demikian, hukum pidana tidak semata-mata berfungsi menghukum, tetapi juga melindungi dan menata kehidupan sosial.


KUHP Baru menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana tidak lagi berorientasi tunggal pada penjatuhan pidana. Perlindungan korban, rehabilitasi pelaku, serta pemulihan keseimbangan sosial menjadi tujuan yang sama pentingnya. Pandangan ini menegaskan posisi hukum pidana sebagai ultimum remedium, bukan satu-satunya sarana penyelesaian konflik sosial.


Paradigma retributif yang mendominasi KUHP lama berpijak pada gagasan bahwa pidana dijatuhkan sebagai balasan atas kesalahan pelaku tindak pidana. Orientasi pemidanaan lebih menekankan pada pemenjaraan dan hukuman fisik, dengan fokus utama pada pelaku tanpa mempertimbangkan secara memadai kepentingan korban. Model ini dalam praktik menimbulkan berbagai persoalan serius, seperti overcrowding lembaga pemasyarakatan, minimnya pemulihan bagi korban, stigmatisasi terhadap pelaku, serta rendahnya efektivitas pidana dalam mencegah pengulangan tindak pidana. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pendekatan retributif semata tidak lagi mampu menjawab kebutuhan keadilan masyarakat modern.


Sebagai respons, KUHP Baru memperkenalkan pendekatan yang lebih humanis melalui penguatan prinsip keadilan restoratif. Hal ini tercermin antara lain dalam tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 KUHP Baru, yang menegaskan bahwa pemidanaan bertujuan mencegah terjadinya tindak pidana, memasyarakatkan terpidana, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, serta memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Rumusan ini menegaskan bahwa pemidanaan tidak lagi berorientasi pada pembalasan semata.


Selain itu, KUHP Baru mengenal pidana dan tindakan yang lebih fleksibel, seperti pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana denda dengan sistem yang lebih proporsional. Alternatif pemidanaan ini membuka ruang penyelesaian yang lebih restoratif dan mengurangi ketergantungan pada pidana penjara. Kepentingan korban juga mendapat tempat yang lebih kuat, karena hakim diwajibkan mempertimbangkan kerugian korban serta dampak sosial dari tindak pidana dalam menjatuhkan putusan.


Pergeseran paradigma ini membawa implikasi besar terhadap sistem peradilan pidana. Hakim dituntut berperan lebih progresif, tidak sekadar sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai aktor keadilan yang mampu menggali nilai-nilai keadilan substantif dalam masyarakat. Di sisi lain, keadilan restoratif memperkuat peran masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana, khususnya untuk tindak pidana ringan, serta mengubah orientasi penegakan hukum agar tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan dan reintegrasi sosial.


Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dalam KUHP Baru menunjukkan perubahan mendasar dalam cara pandang negara terhadap kejahatan dan pemidanaan. Pergeseran dari paradigma retributif menuju restoratif mencerminkan upaya mewujudkan sistem hukum pidana yang lebih adil, humanis, dan berorientasi pada pemulihan. Namun, keberhasilan paradigma ini sangat bergantung pada kesiapan aparat penegak hukum, pemahaman masyarakat, serta konsistensi penerapannya dalam praktik peradilan. Oleh karena itu, pendidikan hukum yang berkelanjutan, pembinaan aparat, dan penguatan regulasi pendukung menjadi prasyarat mutlak agar tujuan besar KUHP Baru dapat tercapai secara optimal.


(Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, NIM 247005077)