GREENBERITA.com -Tuntutan penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus bergema dari masyarakat adat, organisasi lingkungan, akademisi, gereja, hingga mahasiswa. Bagi banyak pihak, TPL adalah simbol kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba, sebuah ekosistem penting yang sudah lama mengalami degradasi serius. Namun, desakan moral dan ekologis ini seakan membentur dinding tebal kepentingan nasional yang masih dipahami dalam bingkai ekstraktivisme.
Ekstraktivisme Sebagai Paradigma Pembangunan
Sejak Orde Baru, negara Indonesia cenderung memaknai pembangunan sebagai percepatan pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam. Narasi “kepentingan nasional” kerap dijustifikasi dengan membuka tambang, perkebunan skala besar, atau pabrik berbasis hasil hutan. Dalam kerangka itu, TPL diposisikan bukan sekadar perusahaan, melainkan bagian dari strategi pembangunan nasional untuk mendorong investasi, membuka lapangan kerja, dan menyumbang devisa.
Masalahnya, paradigma ekstraktivisme selalu menyisakan ongkos sosial dan ekologis yang mahal. Pola pikir “menguras sumber daya untuk devisa” tak pernah menghitung nilai ekosistem, fungsi ekologis, dan hak-hak masyarakat adat. Inilah yang menjelaskan mengapa tuntutan menutup TPL kerap dianggap bertentangan dengan kepentingan negara.
Ekosistem yang Rusak Parah
Kerusakan lingkungan di sekitar Danau Toba bukan lagi isapan jempol. TPL memiliki konsesi sekitar 164.000 hektare, dan laporan menyebut lebih dari 60.000 hektare hutan alam telah dikonversi menjadi kebun monokultur eukaliptus. Dari total usulan hutan adat ±43.068 hektare, sekitar 18.961 hektare (44%) justru berada di dalam areal kerja TPL.
Limbah industri juga menjadi persoalan serius. KLHK pernah menjatuhkan sanksi administratif paksaan pemerintah terhadap TPL terkait pencemaran di Danau Toba. Audit menemukan 58 item pelanggaran, tetapi hanya 16 yang ditindaklanjuti, sementara sisanya belum diselesaikan. Warga di sekitar Danau Toba sudah lama melaporkan pencemaran air, berkurangnya hasil pertanian, hingga ancaman kesehatan akibat limbah industri.
Tokoh masyarakat, Pahalatua Simbolon, menegaskan: “Keberadaan TPL sudah merusak ekosistem Danau Toba dan tanah leluhur Bangsa Batak. Diharapkan hutan yang telah gundul dapat dihutankan kembali.”
Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai
TPL tidak hanya meninggalkan jejak ekologis, tetapi juga konflik agraria yang panjang. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2023 Sumatera Utara mencatat 33 konflik agraria seluas 34.090 hektare dengan korban terdampak lebih dari 11.148 kepala keluarga (KK). Sebagian besar konflik ini berkaitan dengan klaim lahan masyarakat adat yang bersinggungan dengan konsesi perusahaan besar, termasuk TPL.
Masyarakat adat menyuarakan perlawanan. Rajin Sinaga, pemangku adat Partungko Naginjang, menuturkan: “Tanah kami sudah dirusak pengusaha yang disebut TPL, kami masyarakat adat merasa terganggu karena kami juga merasa diintimidasi. Sebelum Indonesia merdeka tanah Ulayat kami sudah dikuasai oleh nenek moyang kami.”
Nada serupa datang dari Anggiat Sinaga, Ketua Aliansi Gerak Tutup TPL: “Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani. Pulihkan wilayah adat dan hutan yang telah dirusak. Tidak ada bukti TPL membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.”
Kepentingan Nasional yang Dipertanyakan
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan: kepentingan nasional yang mana? Jika kepentingan nasional dimaknai sebatas pertumbuhan ekonomi jangka pendek, maka jelas TPL masih bisa dipertahankan. Namun jika kepentingan nasional didefinisikan sebagai keberlanjutan hidup rakyat, keadilan ekologis, dan warisan lingkungan untuk generasi mendatang, maka keberadaan TPL bertolak belakang dengan itu semua.
Ironisnya, jargon “pembangunan hijau” dan “ekonomi berkelanjutan” yang sering digaungkan pemerintah menjadi kontradiksi di lapangan. Sementara dunia bergerak ke arah transisi energi, pengurangan emisi karbon, dan restorasi lingkungan, Indonesia masih terjebak dalam proyek lama yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam.
Dukungan penutupan TPL bahkan datang dari gereja dan parlemen. Pdt. Rintalori Sianturi, Praeses HKBP Distrik VII Samosir, menyampaikan: “Kami dari gereja mohon suara kami diterima supaya TPL ditutup.”
Sementara di DPR, Rapidin Simbolon menegaskan: “Orang Batak masih menjaga hak ulayatnya untuk diwariskan ke generasi mendatang. Namun PT TPL merusak alam tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat.”
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, bahkan berkomitmen: “Kami akan mendorong pembentukan tim gabungan pencari fakta. Jika hasil temuan menunjukkan PT TPL harus ditutup, maka TPL harus ditutup. Rakyat harus dimenangkan dari sistem yang menindas.”
Dimensi Sosial: Nasib Buruh
Meski demikian, penutupan TPL bukanlah keputusan tanpa konsekuensi. Serikat buruh TPL juga menyuarakan kegelisahan mereka. Pesta Manurung, perwakilan buruh, berkata: “Coba dipikirkan, andaikata TPL ditutup, bagaimana nasib anak-istri kami?”
Suara ini penting dicatat. Kebijakan yang menyangkut keberlangsungan industri ekstraktif memang harus mempertimbangkan alternatif lapangan kerja bagi para pekerja. Penutupan TPL harus dibarengi dengan program transisi ekonomi yang adil, agar buruh dan keluarganya tidak menjadi korban baru dari perubahan kebijakan.
Alternatif Jalan
Penutupan TPL tentu bukan perkara sederhana. Namun, menutup mata atas kerusakan yang nyata juga bukan pilihan. Pemerintah harus berani melakukan audit lingkungan yang transparan, menghitung kerugian ekologis, serta menimbang kembali apakah keberadaan TPL benar-benar sejalan dengan visi pembangunan jangka panjang.
Lebih jauh, negara harus berani keluar dari paradigma ekstraktivisme. Kawasan Danau Toba seharusnya dikelola dengan basis ekowisata, pertanian berkelanjutan, dan revitalisasi budaya lokal. Potensi ekonomi hijau jauh lebih menjanjikan dibanding mempertahankan industri yang terus menggerus ekosistem.
Penutup
Tuntutan menutup TPL adalah suara perlawanan terhadap kerusakan ekosistem dan simbol kritik terhadap paradigma pembangunan nasional yang keliru. Selama kepentingan nasional terus dimaknai sebagai izin untuk menguras sumber daya, masyarakat dan lingkungan akan selalu menjadi korban.
Kini saatnya negara menegaskan: apakah kepentingan nasional berarti melanggengkan ekstraktivisme, atau justru menjaga keberlanjutan hidup rakyat dan ekosistemnya?
(Penulis adalah Dosen Pengajar UMSU)
Oleh: Shohibul Anshor Siregar