Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid
JAKARTA, GREENBERITA.com– Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid akhirnya meluruskan ucapannya yang memicu polemik nasional terkait kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam konferensi pers di kantor ATR/BPN, Jakarta Selatan, Selasa, 12 Agustus 2025, Nusron menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
“Saya atas nama Menteri ATR/BPN menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas pernyataan saya yang menimbulkan polemik,” ujarnya.
Nusron menegaskan, pernyataan yang menimbulkan perdebatan itu sebetulnya merujuk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Ia menekankan, negara bukanlah pemilik mutlak tanah, melainkan pihak yang menguasai sumber daya demi kemanfaatan rakyat.
Pernyataan yang memicu kritik itu disampaikan Nusron saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai rencana pemerintah menyita tanah bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang ditelantarkan. Sebelumnya, ia mengatakan tanah yang telantar selama dua tahun dapat diambil alih negara.
“Perlu diketahui tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara, orang itu hanya menguasai,” katanya di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Agustus 2025.
Meski demikian, Nusron memastikan bahwa tanah milik masyarakat dengan sertifikat Hak Milik (SHM), seperti pekarangan, sawah, atau tanah warisan, tidak akan terdampak kebijakan tersebut.
Pernyataan Nusron mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi. Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, menilai ucapannya menyesatkan dan berbahaya. Menurutnya, makna “dikuasai oleh negara” bukan berarti negara menjadi pemilik tanah secara mutlak. “Rakyat tetap pemilik tanah. Negara hanya diberi mandat untuk memastikan distribusi yang adil,” ujarnya, Ahad, 10 Agustus 2025.
Herlambang menilai, pandangan Nusron mencerminkan warisan konsep kolonial Belanda domein verklaring yang menganggap tanah tanpa bukti kepemilikan sebagai milik negara. “Pemahaman itu adalah cara penjajah merampas tanah rakyat dan memicu ketidakadilan sosial,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa tafsir tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 33 UUD 1945.
Menurutnya, negara seharusnya melindungi hak rakyat atas tanah dan fokus mengatasi ketimpangan agraria, bukan melegitimasi perampasan tanah untuk kepentingan korporasi atau ekspansi perkebunan.
“Nusron seharusnya fokus mengatasi ketimpangan agraria, bukan melegitimasi perampasan tanah untuk kepentingan korporasi atau ekspansi perkebunan,” tegasnya.***(Gb-Ferndt01/reel)