Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan
GREENBERITA.xom- Insiden perusakan sebuah rumah doa di RT 03/09 Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, menjadi catatan kelam baru dalam rentetan kasus intoleransi yang terjadi di Tanah Air. Rumah yang digunakan untuk kegiatan ibadah anak-anak dan Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) itu diserang oleh puluhan warga pada Minggu petang (27/7/2025).
Peristiwa itu terekam dalam sejumlah video yang viral di media sosial, memperlihatkan massa membawa kayu, membubarkan ibadah secara paksa, menghancurkan kursi dan kaca-kaca rumah, serta membuat anak-anak berlarian dan menangis ketakutan.
Puluhan anak yang sedang mengikuti pendidikan agama Kristen menjadi saksi kekerasan kolektif oleh sekelompok warga yang memaksa pembubaran kegiatan ibadah. Dua anak mengalami luka fisik akibat dipukul dengan kayu oleh massa. Aksi kekerasan ini terjadi di hadapan tokoh masyarakat dan pejabat setempat, dan berlangsung di sebuah rumah doa yang dibangun sebagai ruang pembelajaran iman bagi anak-anak yang tidak mendapat akses pendidikan agama Kristen di sekolah.
Kejadian di Padang ini bukan satu-satunya. Dalam beberapa waktu terakhir, publik juga menyaksikan insiden serupa di berbagai daerah. Di Cidahu, Sukabumi, kegiatan retreat anak-anak remaja dihentikan secara paksa oleh warga. Di Depok, ibadah jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dibubarkan karena dianggap tak memiliki izin, meskipun kegiatan berlangsung damai dan tertutup.
Rangkaian peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: di manakah negara ketika konstitusi dilanggar oleh warganya sendiri? Mengapa penegakan hukum dalam kasus-kasus intoleransi berjalan lambat, terkesan "setengah hati", atau bahkan terkesan permisif?
Sebagai respons atas kejadian tersebut, Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt Dr Victor Tinambunan, menyampaikan keprihatinan mendalam. Dalam pernyataan resminya, ia menekankan pentingnya kerukunan sebagai kunci kemajuan bangsa.
"Salah satu di antara penentu kemajuan satu bangsa adalah kerukunan antar umat yang berbeda agama, suku, pilihan politik dan lain-lain," ujar Ephorus HKBP itu.
Ia pun mengkritisi bagaimana energi dan pikiran masyarakat terkuras oleh masalah intoleransi.
"Sayang sekali sudah begitu lama energi dan pikiran kita terkuras oleh masalah intoleransi, penyebabnya saya tidak tahu jelas. Apakah ada kepentingan kelompok tertentu dari dalam negeri atau asing, yang jelas kita masyarakatlah yang harus mengusahakan kerukunan dari kesadaran kita sendiri supaya kita bisa lebih maju," tambahnya.
Pdt Victor juga menolak penggunaan agama sebagai alat politik sempit.
"Dan sekiranya itu ada, ya kita pemeluk agama inilah yang harus tegas menolak agama digunakan sebagai kendaraan politik kepentingan sempit," pintanya.
Ia pun mengingatkan agar masyarakat tidak terpancing dan tetap fokus pada persoalan besar bangsa seperti korupsi, narkoba, perjudian, perdagangan manusia, dan krisis lingkungan.
Di akhir pernyataannya, Pdt Victor menegaskan pentingnya proses hukum yang adil bagi para pelaku.
"Kita maafkan mereka tetapi hukum tetap berjalan," tegasnya.
Namun ia tetap optimis terhadap kemampuan negara.
"Kita topang pemerintah untuk dapat mengatasi masalah seperti ini tidak terulang lagi di masa depan. Kita pun sebagai bangsa yang besar bisa lebih maju dan disegani di tingkat internasional," pungkasnya.
Peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi ujian nyata terhadap komitmen bangsa pada nilai-nilai konstitusi dan Pancasila. Ketika ruang iman anak-anak pun tidak aman dari serangan intoleransi, sudah saatnya negara benar-benar hadir, bukan sekadar janji dalam pidato.***(Gb-Ferndt01)