GREENBERITA.vom- Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) menyatakan keprihatinan mendalam dan menolak keras wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD.Opini | Jeirry Sumampow (Koordinator Komite Pemilih Indonesia)
Wacana ini, yang semakin menguat dan bahkan didukung oleh Presiden Prabowo Subianto dengan alasan efisiensi biaya, maraknya politik uang, dan pencegahan polarisasi politik, dinilai sebagai bentuk ketidaksetujuan DPR dan pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024—yang secara tegas menutup ruang bagi pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Bagi TePI Indonesia, usulan ini bukan sekadar revisi mekanisme elektoral. Ini adalah langkah mundur yang membahayakan demokrasi, bahkan tampak sebagai bentuk pengabaian terhadap putusan konstitusional.
Efisiensi Biaya: Alasan Semu, Risiko Nyata
Mengklaim efisiensi biaya sebagai alasan kembali ke pemilihan DPRD hanyalah ilusi demokrasi. Yang sebenarnya terjadi adalah pergeseran praktik politik uang dari ruang publik yang bisa diawasi, ke dalam ruang gelap dan tertutup di internal DPRD. Di titik ini, setiap suara anggota dewan menjadi komoditas mahal, dengan risiko transaksi politik yang lebih sulit dilacak dan diawasi oleh publik maupun lembaga penegak hukum.
Mengubur Kedaulatan Rakyat, Memutus Hubungan Pemilih dan Pemimpin
Wacana ini, jika diwujudkan, berarti menghapus hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri secara langsung. Sejak reformasi, bangsa ini telah menanamkan semangat partisipasi dalam setiap proses elektoral. Jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, maka akan runtuh pula pilar partisipasi publik yang dibangun susah payah selama lebih dari dua dekade. Apa artinya kedaulatan rakyat bila rakyat tidak lagi berdaulat atas pilihannya?
Lebih buruk lagi, akan muncul kecenderungan kepala daerah untuk loyal kepada partai politik dan anggota DPRD, bukan kepada rakyat yang semestinya mereka layani. Ini adalah pemangkasan akut terhadap akuntabilitas publik.
Jalan Terbuka bagi Oligarki Politik
Dengan kembalinya pemilihan lewat DPRD, yang akan berkuasa bukan suara rakyat, melainkan elit partai dan koalisi politik. Proses pemilihan akan diwarnai oleh kompromi elitis, lobi-lobi politik, dan perjanjian-perjanjian tertutup—yang semuanya rawan korupsi dan jauh dari kepentingan masyarakat. Dalam sistem seperti ini, pemimpin yang terpilih berisiko besar tidak representatif dan hanya mengabdi pada segelintir elit, bukan rakyat.
Menghindar dari Putusan MK, Mengabaikan Konstitusi
TePi Indonesia mempertanyakan motivasi sesungguhnya di balik wacana ini. Jika memang alasan utamanya adalah biaya, mengapa harus mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi? Apakah ini merupakan bentuk penghindaran terhadap lembaga yudikatif, demi mengamankan kekuasaan jangka pendek?
Dengan dukungan terbuka dari Presiden dan mayoritas koalisi partai di DPR, bukan tidak mungkin revisi undang-undang Pilkada akan diloloskan. Namun, pertanyaannya adalah: di mana posisi rakyat dalam proses ini? Adakah mereka yang bersedia mendengar suara rakyat sebelum keputusan ini diketok?
Seruan Perlawanan Sipil
Atas dasar itu, TePi Indonesia mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan partai politik yang masih menjunjung tinggi demokrasi, untuk bersatu menolak wacana ini. Kita tidak sedang bicara tentang efisiensi, kita sedang bicara tentang nasib demokrasi partisipatif yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak 1998.
Jangan biarkan demokrasi kita dikorbankan demi efisiensi semu dan kepentingan politik sesaat. Demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan perwujudan kedaulatan rakyat. Dan kedaulatan itu, harus tetap berada di tangan rakyat.***
Penulis: Jeirry Sumampow
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia)