Oleh : Aurora Wina Muthmainnah
Industri perbankan mikro Indonesia sedang memasuki fase penataan ulang yang paling menentukan dalam dekade terakhir.
Melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pemerintah secara sadar memilih pendekatan omnibus law untuk merombak struktur industri keuangan, termasuk Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Konsolidasi kemudian ditempatkan sebagai salah satu instrumen utama, yang secara operasional dijabarkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2024.
Sebagai omnibus law, UU P2SK tidak sekadar memperbaiki aturan lama, melainkan membangun ulang arsitektur sektor keuangan agar lebih stabil, efisien, dan kompetitif. Dalam konteks BPR, mandat tersebut diterjemahkan melalui kebijakan penguatan permodalan, pengetatan tata kelola, dan penataan struktur industri. Konsolidasi bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat di sektor perbankan mikro.
Fakta empiris menunjukkan bahwa langkah ini bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun terakhir, industri BPR menghadapi tekanan serius. Rasio kredit bermasalah berada jauh di atas ambang batas wajar, sementara kasus salah kelola dan pelanggaran prinsip kehati-hatian masih berulang. Pencabutan izin usaha terhadap sejumlah BPR menjadi sinyal bahwa struktur industri yang terlalu tersebar, bertumpu pada modal terbatas, dan lemah dalam tata kelola tidak lagi mampu menjawab kompleksitas risiko perbankan modern.
Dalam konteks inilah konsolidasi menjadi jalan yang nyaris tidak terelakkan. BPR dengan skala usaha yang lebih besar diharapkan memiliki daya tahan modal yang memadai, kapasitas manajemen risiko yang lebih kuat, serta kemampuan berinvestasi pada teknologi dan sumber daya manusia. Konsolidasi juga dimaksudkan untuk mengakhiri persaingan tidak sehat antar-BPR yang sama-sama rapuh secara permodalan, yang pada akhirnya justru membahayakan stabilitas sistem.
Arah kebijakan ini sejalan dengan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS 2024–2027 yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Roadmap tersebut secara tegas menempatkan konsolidasi sebagai salah satu pilar utama, bersama penguatan permodalan, akselerasi digitalisasi, dan peningkatan kualitas tata kelola. Pesannya jelas: industri BPR yang sehat tidak dibangun dari banyaknya jumlah bank, melainkan dari kualitas kelembagaan dan daya saing yang berkelanjutan.
Namun, konsolidasi bukan sekadar kebijakan teknokratis. Ia adalah tindakan hukum korporasi yang berdampak langsung pada struktur kepemilikan, hak suara, dan nilai ekonomi saham. Di sinilah muncul persoalan yang kerap luput dari perdebatan publik. Dalam praktiknya, proses konsolidasi hampir selalu dikendalikan oleh pemegang saham pengendali. Sementara itu, pemegang saham minoritas sering berada pada posisi pasif, dengan ruang yang sangat terbatas untuk memengaruhi keputusan yang secara langsung menyentuh kepentingannya.
POJK 7 Tahun 2024 mewajibkan konsolidasi bagi BPR dan BPRS yang berada dalam pengendalian pemegang saham yang sama dan berada dalam satu wilayah pulau. Ketentuan ini diterapkan secara relatif seragam, tanpa pembedaan yang memadai terhadap kondisi kesehatan bank, kualitas tata kelola, maupun kekuatan permodalan masing-masing entitas. Akibatnya, BPR yang dikelola dengan baik dapat dipaksa bergabung dengan BPR yang berkinerja lebih lemah, sehingga pemegang saham minoritas berpotensi menanggung dampak ekonomi yang tidak proporsional.
Masalahnya bukan semata potensi kerugian finansial, melainkan absennya mekanisme perlindungan yang jelas dan operasional. Regulasi belum mengatur secara tegas standar penilaian independen atas nilai saham, hak keberatan yang efektif bagi pemegang saham minoritas, serta pengelolaan benturan kepentingan pascakonsolidasi. Tanpa kerangka tersebut, konsolidasi berisiko dipersepsikan sebagai instrumen pemusatan kendali, bukan sebagai sarana membangun persaingan usaha yang sehat.
Dalam hukum korporasi, pemegang saham minoritas memang selalu berada pada posisi yang lebih lemah. Namun, justru karena itu prinsip tata kelola yang baik hadir untuk menjaga keseimbangan. Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas bukan sekadar isu privat, melainkan bagian dari legitimasi kebijakan publik di sektor keuangan. Konsolidasi yang mengabaikan rasa keadilan dapat menciptakan stabilitas semu, kuat secara struktural, tetapi rapuh dalam kepercayaan.
Industri perbankan hidup dari kepercayaan: kepercayaan deposan, investor, dan pemilik modal lokal yang selama ini menjadi bagian penting dari ekosistem BPR. Jika konsolidasi dijalankan tanpa perlindungan yang memadai, kepercayaan itu akan tergerus, dan tujuan penguatan industri justru melemah dari dalam.
UU P2SK sebagai omnibus law sejatinya memberi kerangka besar bagi industri keuangan yang sehat dan berkeadilan. Karena itu, kebijakan turunannya perlu dibaca secara utuh. Konsolidasi BPR memang merupakan kebutuhan sistemik. Namun, dalam negara hukum, kebutuhan sistem tidak seharusnya mengorbankan keadilan. Menjaga keseimbangan antara stabilitas industri dan perlindungan hak korporasi adalah ujian utama tata kelola sektor keuangan kita. Jika keseimbangan ini terjaga, konsolidasi BPR akan menjadi fondasi yang kokoh bagi masa depan perbankan mikro Indonesia.
(Penulis adalah Praktisi Hukum/Mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia)











