Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Hukum Mandul, Politisi yang Normatif dan Rakyat Tapanuli yang Terus jadi Korban

12 Des 2025 | 09:45 WIB Last Updated 2025-12-12T02:45:24Z

Oleh Benget Silitonga, ST

GREENBERITA.com– Pernyataan seorang anggota DPR yang menegaskan, “masyarakat tidak berhak mengatakan Tutup TPL. Harus hukum yang bicara memutuskan (menutup TPL)” sekilas terdengar lumrah. 


Secara normatif, benar bahwa subjek hukum hanya dapat dihukum jika terbukti melanggar hukum. Dalil itu klasik, kerap diulang dalam rapat hingga seminar hukum: simpel, rapi, dan enak terdengar.


Namun persoalannya, hukum kini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia berjalan sekadarnya—kalau tak mau dikatakan kusut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum kerap diintervensi kekuasaan dan kekuatan modal. 


Masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah adat, bukannya dilindungi, malah kerap berubah menjadi pesakitan. Mereka yang jujur dan benar bisa dibungkam justru oleh hukum yang semestinya melindungi. 


Sementara aparat penegak hukum—polisi, jaksa, hingga hakim—tak sedikit yang tersandung pelanggaran, bahkan korupsi.


Dalam konteks eksploitasi alam, wajah hukum lebih ironis, jika bukan tragis. Kerakusan pengusaha dan penguasa merusak hutan dan mengeruk isi bumi terus berlangsung mulus di berbagai daerah, tanpa pernah dinyatakan melanggar pasal-pasal hukum. Para pelakunya lihai memainkan celah legal formal.


Pada titik inilah pernyataan politisi normatif itu kehilangan makna. Ia kehilangan arti ketika suara rakyat diabaikan oleh hukum yang bekerja apa adanya.


Ribuan warga Tapanuli yang meneriakkan “Tutup TPL” sejatinya sedang menggugat hukum itu sendiri—hukum yang telah lama diam membisu. 


Mereka menjerit karena puluhan tahun kerakusan merobek hutan Tapanuli, sementara hukum tak banyak bergeming. Mereka membutuhkan suara dan tindakan politisi serta pejabat yang mampu melampaui hukum formalistik—yang mampu menghadirkan empati dari pergumulan tentang keselamatan rakyat dan bumi Tapanuli. Mereka mendamba politisi yang punya nurani, yang melihat hukum melalui mata hati rakyat.


Sayangnya, republik ini seolah didominasi politisi normatif, yang lebih memikirkan keselamatan diri dan oligarkinya. Yang mahir berbicara tentang hukum apa adanya, bukan hukum sebagaimana mestinya. Tak heran, pernyataan normatif terus berseliweran bahkan saat rakyat menghadapi krisis. 


Empati bagi mereka sering sebatas sembako, pembangunan rumah ibadah, atau hadir di pesta dan dukacita—bukan kebijakan yang berpihak pada keselamatan rakyat dan kelestarian bumi.


Lebih ironis lagi, masyarakat yang hari ini marah melihat kelakuan politisi normatif itu, sering kembali lupa ketika sembako dan bansos dibagi menjelang pemilu.


Ah, sialan!


(Penulis adalah aktivis demokrasi dan 10 tahun jadi Komisioner KPU Provinsi Sumatera Utara)