Notification

×

Iklan

Iklan

Pembatalan Keputusan 731/2025, KPU Lepas dari Tekanan atau Sekadar Meredam Kritik Publik?

16 Sep 2025 | 20:34 WIB Last Updated 2025-09-16T13:42:57Z


Pembatalan Keputusan 731/2025, KPU Lepas dari Tekanan atau Sekadar Meredam Kritik Publik?

GREENBERITA.com- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akhirnya resmi membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan KPU.


Keputusan KPU RI 731/2025 itu berisi ketentuan tentang 16 dokumen syarat pendaftaran capres dan cawapres sebagai informasi yang dikecualikan atau tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan dari pihak terkait.


"Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan membatalkan keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan KPU," kata Ketua KPU Mochammad Afifuddin dalam jumpa pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (16/9).


Publik Sambut Baik, Tapi Kritik Tetap Menguat

Menyikapi pembatalan tersebut, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai langkah KPU patut diapresiasi.


"Sejak awal, banyak pihak mendorong dan meminta agar keputusan itu ditarik karena dinilai tidak transparan, tidak relevan dengan tahapan pemilu yang telah selesai, dan melanggar prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil serta berintegritas. Langkah KPU untuk membatalkan keputusan tersebut tentu perlu disambut baik, sebab paling tidak KPU berani membatalkan keputusannya yang keliru dan salah. Itu juga mungkin meredakan sebagian kritik publik kepada KPU," ujar Jeirry Sumampow pada rilis yang diterima greenberita, Selasa, 13 September 2025.

Namun, ia menekankan bahwa pembatalan ini belum menjawab pertanyaan mendasar: mengapa keputusan itu diterbitkan sejak awal.

"Keputusan itu keluar ketika tidak ada tahapan pemilu yang berjalan, sehingga wajar jika publik menilai ada keanehan prosedural maupun motif di baliknya. Tanpa penjelasan memadai, ruang spekulasi dan ketidakpercayaan publik terhadap KPU justru akan semakin lebar dan terpendam," tegasnya penuh keheranan.


Pertanyaan yang Menggantung

Jeirry menegaskan ada tiga pertanyaan utama yang harus dijawab KPU agar tidak menimbulkan dugaan liar:

  1. Apakah ada permintaan atau tekanan dari pihak tertentu—baik partai politik, kandidat, maupun kekuatan politik lain—yang mendorong lahirnya keputusan itu? Jika iya, siapa dan dengan tujuan apa?
  2. Mengapa KPU menindaklanjuti permintaan atau tekanan itu tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap integritas dan kredibilitas lembaga?
  3. Transparansi KPU dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting, bukan sekadar untuk menyelesaikan kontroversi, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik. Tanpa penjelasan yang jernih, kesan bahwa KPU sempat melakukan pelanggaran asas pemilu—khususnya asas kesetaraan perlakuan kepada semua peserta pemilu—akan terus menghantui.

Ditegaskan Jeirry, pembatalan keputusan tidak serta-merta menutup persoalan.


"KPU tidak boleh menganggap bahwa persoalan selesai hanya karena keputusan tersebut telah dibatalkan. Sebab, menurut saya, kontroversi ini menyangkut eksistensi dan kredibilitas kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang profesional, independen, dan akuntabel. Publik berhak mendapatkan jawaban tuntas agar tidak muncul dugaan-dugaan liar dan agar ke depan tidak terjadi praktik serupa yang merusak demokrasi dan kelembagaan," ujarnya.


Lebih jauh, ia menekankan bahwa langkah KPU menarik keputusannya harus diikuti dengan keberanian membuka alasan substantif lahirnya kebijakan itu.


"Singkatnya, pembatalan keputusan adalah langkah awal, tetapi pertanggungjawaban publik tetap harus dituntaskan. Tak boleh digantung. Integritas KPU bukan hanya diukur dari keberanian menarik keputusan yang keliru, tetapi juga dari kesediaannya menjelaskan asal-usul dan proses pengambilan keputusan yang kontroversial itu," ujarnya lagi.


Publik kini menanti penjelasan resmi KPU. Pertanyaan yang menggantung bukan hanya soal prosedur, tetapi juga menyangkut akuntabilitas lembaga yang menjadi pilar utama demokrasi Indonesia.***(Gb-Ferndt01)