Rapidin ajak peserta menyadari krisis yang lebih dalam dari sekadar pencemaran air Dan rusaknya lingkungan.
GREENBERITA.com— Seruan tajam kembali bergema dari tanah Batak. Dalam forum bertema “Melestarikan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional”, Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr Rapidin Simbolon, mengingatkan bahwa “Pancasila jangan hanya dihafal, tapi harus diterapkan.”
Kalimat itu bukan sekadar pesan moral, tapi peringatan akan mulai memudarnya relevansi nilai-nilai dasar negara dalam praktik berbangsa, terutama dalam kebijakan lingkungan. Bertempat di Hotel Grand Dainang, Pangururan, Samosir, Selasa (5/8/2025), Rapidin bicara di hadapan para relawan Gerakan Kebajikan Pancasila, dalam acara yang ia inisiasi bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sejak pukul sembilan pagi, gondang Batak dan tarian tradisional membuka forum—sebuah pembuka yang tak sekadar ritual, tapi menyiratkan makna: bahwa kebudayaan lokal dan Pancasila adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Dalam paparannya, Rapidin mengajak hadirin menyadari bahwa ada krisis yang lebih dalam dari sekadar pencemaran air atau rusaknya lingkungan.
“Kalau hanya menghafal, anak kecil juga bisa. Tapi bagaimana Pancasila hadir dalam tata kelola lingkungan, keadilan sosial, dan hak masyarakat di pegunungan sana itulah tantangannya," terangnya.
Pernyataan itu ia tegaskan saat menyoroti Geopark Kaldera Toba, yang kini masuk “zona kuning” UNESCO. Sebuah alarm serius.
“Kita dulu susah payah meraih pengakuan Geopark dari UNESCO tahun 2020. Kami undang ilmuwan dari IPB, ahli dari Gunung Batur, tata kawasan Sigulatti, hidupkan budaya Batak seperti Mangalahat Horbo dan Manguras Tao. Tapi sekarang? Entah bagaimana,” ungkap Rapidin penuh keprihatinan.
Diskusi yang dipantik oleh Tonny Simanjuntak, mantan Wakil Bupati Toba (2020–2024), menghadirkan sejumlah pemikir nasional seperti Elfrida Herawati Siregar,l dari BPIP, serta aktivis budaya dan lingkungan Lemen Manurung. Mereka sepakat bahwa nilai-nilai Pancasila harus membumi, hidup dalam aksi, bukan hanya dokumen formal.
“Diperlukan partisipasi aktif masyarakat melalui gerakan kebajikan berbasis nilai-nilai Pancasila,” ujar Elfrida. Menurutnya, ini akan melahirkan relawan ideologis sejati, “yang tak hanya hafal lima sila, tapi juga menghidupkan maknanya dalam tindakan sehari-hari.” Ia menutup dengan pernyataan yang menohok: “Kita ingin Pancasila menjadi budaya, bukan hanya simbol negara.”
Sebagai mantan Bupati Samosir, Rapidin tahu betul medan yang ia bicarakan. Ia menegaskan bahwa pengelolaan pariwisata strategis seperti Danau Toba tak boleh hanya mengejar keuntungan ekonomi. “Kita butuh relawan ideologi yang paham medan, bukan hanya penyuluh formal. Yang bisa menjaga danau, budaya, dan rakyat,” katanya.
Ia pun menutup sesi dengan sebuah kritik halus namun menggetarkan hati.
“Kalau Pancasila tidak kita perjuangkan dalam kebijakan, maka yang tersisa hanya simbol kosong. Dan kita sedang kehilangan arah,” pungkas Rapidin.
Pesan dari Samosir ini bukan hanya untuk relawan, tapi untuk seluruh bangsa. Bahwa di balik gemerlap pariwisata, keberlanjutan, keadilan, dan nilai-nilai luhur harus tetap menjadi kompas. Sebab, seperti disampaikan para tokoh dalam forum itu, Pancasila bukan hafalan. Ia harus jadi tindakan.