Notification

×

Iklan

Iklan

Banjir Longsor Berulang di Kawasan Danau Toba, Kebijakan Pemerintah Disorot sebagai Pemicu Utama

5 Des 2025 | 16:10 WIB Last Updated 2025-12-05T09:10:27Z

Oleh Mangaliat Simarmata (photo greenberita YouTube)

GREENBERITA.com– Ancaman bencana ekologis kembali membayangi Kawasan Danau Toba (KDT). Peringatan demi peringatan yang disampaikan masyarakat lokal selama ini ternyata bukan sekadar kekhawatiran, melainkan alarm keras atas kerusakan ekosistem yang semakin nyata. Seruan terbaru datang dengan penekanan lebih tajam dan meminta pemerintah daerah menyusun langkah konkret pada 2026 untuk menyelamatkan Samosir sebelum terlambat.


Pernyataan yang disampaikan seorang putra KDT ini dibangun atas rangkaian fakta lapangan. Ia mengingatkan bahwa Danau Toba telah berkali-kali menghadapi bencana hidrometeorologi yang membawa kerusakan besar.


 Belajar dari pengalaman yang lalu-lalu bahwa dibeberapa tempat di Kawasan Danau Toba (KDT) kita ini sudah terjadi malapeta banjir dan longsor yang telah mengakibatkan korban jiwa, rusaknya perumahan penduduk , fasilitas umum, lahan pertanian hancur, dll tentu juga mempengaruhi prawisata di KDT.


Namun lebih dari itu, ia menegaskan bahwa bencana ini bukan peristiwa alam murni. Ada pola yang terlihat jelas: kerusakan hutan, pergeseran fungsi lahan, dan kelalaian pemerintah dalam menjaga keseimbangan alam.


Kita juga sudah menyaksikan bersama kini di 3 propinsi Sumatera telah terjadi malapeta banjir dan longsor tentu dapat kita pastikan adalah lebih disebabkan perambahan hutan dan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Malapetaka tersebut sangat jelas bukan kejadian alam biasa dan bukan semata-mata karena perubahan iklim ekstrim.


Pernyataan tersebut mengandung tudingan serius: pemerintah dituding mengabaikan daya dukung lingkungan ketika menyusun pembangunan. Investigasi awal terhadap beberapa lokasi bencana sebelumnya di KDT memang menunjukkan pola kerusakan serupa, lereng gundul, hutan penyangga hilang, serta izin-izin pemanfaatan kawasan yang terus bertambah.


Tanda-tanda kerusakan pun terlihat di provinsi lain, memperkuat analisis bahwa Sumatera kini berada dalam siklus degradasi lingkungan yang mengkhawatirkan. 


Demikian juga bisa kita saksikan dengan jelas bahwa Danau Singkarak di Sumbar dipenuhi lumpur tanah, kayu-kayu, dllnya, perumahan penduduk diseputar danaunya hancur berantakan dan persawahan ditutupi lumpur dan kayu-kayu.


Situasi serupa diproyeksikan bisa kembali terjadi di KDT. Dengan kondisi hutan penyangga yang nyaris hilang dan pemukiman yang berdiri rapat di lereng-lereng curam, ancaman banjir bandang tinggal menunggu waktu. 


Dari kejadian-kejadian tersebut tentu kinilah saatnya Kita harus menyadari betul secara khusus untuk KDT kita karena tragedi banjir dan longsor tersebut dapat kita pastikan akan terus terulang kembali bila Kita tidak ‘hobas’ atau bersiap dan sigap untuk segera mengantisipasinya kini dan kedepan.”


Disebutkan pula, peringatan ini bukan pertama kalinya disampaikan. Ia mengaku sudah berulang kali menyuarakannya “dimedsos maupun di media massa,” namun respons kebijakan dinilai minim.


Dalam analisis investigatif yang muncul dari rangkaian pernyataan tersebut, terdapat tiga persoalan struktural:


1. Hutan Penyangga Rusak dan Tak Direstorasi


Hampir seluruh lereng yang mengelilingi Danau Toba pernah mengalami pembalakan, baik legal maupun ilegal. Restorasi berjalan lambat, sementara pembukaan lahan pertanian justru terus bertambah.


2. Pembangunan Tanpa Kajian Lingkungan Memadai


Proyek wisata, perumahan, hingga aktivitas industri kecil di sekitar danau disebut sering mengabaikan rekomendasi tata ruang dan analisis dampak lingkungan. Ini memperburuk risiko bencana.


3. Posisi Penduduk pada Zona Paling Rawan


Kita tahu sangat banyak perkampungan penduduk dipebukitan dan dibawah seputar pebukitan KDTnya dan sangat luasnya persawahan dan perladangan diseputar KDTnya karena memang mayoritas penduduk KDTnya adalah Petani.


Kehidupan masyarakat berada tepat di jalur potensi banjir bandang, namun mitigasi struktural nyaris tidak terlihat.


Di tengah realitas tersebut, seruan diarahkan kepada para pemimpin daerah di seluruh KDT. Oleh karena itu saya sebagai putra KDT dengan ini berharap kepada para Bupati/Pemkab dan DPRD di KDT kiranya berniat membuat perencanaan yang terencana dan terukur bagaimana agar membuat perencanaan pembangunan Samosir untuk tahun 2026 secara khusus guna untuk menyeimbangkan kembali ekosistem Samosir kita yang sudah sangat memprihatinkan tersebut dan untuk mencegah, mengantisifasi agar tidak terulangnya kembali banjir dan longsor di KDT kita itu, semoga.


Seruan ini dapat dibaca sebagai desakan untuk audit ekosistem secara menyeluruh, pembenahan tata ruang, moratorium pengurangan hutan penyangga, serta penyusunan kebijakan pembangunan yang berbasis mitigasi risiko.


Bila tidak dilakukan, ancaman bencana yang kini menghantam Sumatera Barat dan wilayah lain dapat dengan mudah berpindah ke jantung KDT. Danau Toba, ikon nasional dan kebanggaan masyarakat Batak, terancam memasuki fase kritis yang dampaknya bukan hanya ekologis tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya.** 


(Penulis Saat ini aktif sebagai Pemerhati Lingkungan Kawasan Danau Toba)