SAMOSIR, GREENBERITA .com– Pasca musim kemarau panjang yang berlangsung lebih dari empat bulan di Kabupaten Samosir, telah melumpuhkan sektor pertanian dan menjerat ratusan petani ke jurang kerugian besar. Kekeringan ekstrem ini bukan hanya menghapus harapan panen, tetapi juga memaksa warga pegunungan di Pulau Samosir mengonsumsi air yang sama digunakan ternak peliharaan seperti kerbau dan sapi.STKS Nyatakan Aspirasi kpd Pemerintah atas Gagal Panen akibat kekeringan di Samosir (9/8-dokumen greenberita)
Fenomena ini memicu kritik keras dari berbagai pihak, mulai dari aktivis pendamping petani hingga organisasi tani seperti Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS). Mereka menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Samosir lalai mengantisipasi dampak kemarau dan lamban menyalurkan air bersih ke masyarakat pedalaman.
Di sejumlah wilayah daratan Pulau Samosir, termasuk Kecamatan Ronggur Nihuta, tanaman padi, jagung, dan komoditas lain yang selama ini menjadi andalan panen warga mengering sebelum waktunya.
Susi Halawa, staf studi dan advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengungkapkan gejala kemarau sudah terlihat sejak awal tahun. Namun, menurutnya, pemerintah daerah tidak kunjung menyalurkan bantuan darurat atau memperkuat sistem irigasi yang sangat dibutuhkan petani.
“Pemerintah wajib hadir dengan solusi cepat dan berkelanjutan. Ini bukan kondisi biasa, ini bencana yang memukul sektor pertanian,” ujar Susi Halawa di Sopo STKS pada Sabtu (9/8/2025).
Ia menilai ketiadaan program tanggap darurat seperti distribusi air atau penyediaan pompa secara massal mencerminkan lemahnya perencanaan Pemkab Samosir.
"Selain kehilangan hasil panen, banyak keluarga petani kini terancam krisis pangan karena stok beras rumah tangga menipis," tambahnya.
Petani Merasa Ditinggalkan
Esbon Siringo-ringo, anggota STKS dari Desa Sijambur, Kecamatan Ronggur Nihuta, mengaku mayoritas petani di desanya mengalami gagal panen total.
“Tidak ada bantuan air yang memadai, bahkan untuk air minum saja selama kemarau 4 bulan kesulitan, minimnya penyuluhan, bahkan modal kami seperti bibit dan pupuk pun tidak dapat kembali. Kami seperti dibiarkan menghadapi bencana ini sendirian,” ujarnya
Kondisi ini memaksa banyak keluarga petani berutang untuk memenuhi kebutuhan harian. Sebagian bahkan menjual ternak — aset terakhir mereka — demi bertahan hidup.
Dolan Dora br Simbolon, petani dari Desa Lintongnihuta, mengalami kerugian serupa.
"Pemkab Samosir kurang peka terhadap penderitaan petani dan hingga kini tidak ada bantuan konkret yang mereka terima," keluhnya.
Menurut Dora, kemarau panjang hampir terjadi setiap tahun di Samosir, tetapi Pemkab dinilai tak memiliki program antisipasi yang jelas.
“Kami tidak butuh janji, yang kami butuh adalah tindakan nyata,” tegasnya, seraya menambahkan pemerintah daerah hanya hadir saat acara seremonial, namun absen ketika petani menghadapi krisis.
Kemarau Terparah dalam Dekade
Henrika Sitanggang, Ketua STKS dari Desa Salaon Tonga-tonga, menyebut kemarau tahun ini sebagai yang terparah dalam beberapa dekade terakhir.
Dirinya berharap Pemkab Samosir peka terhadap kegagalan panen dan masih sulit nya akses air bersih di daerah pebukitan dataran Pulau Samosir dan berharap adanya kompensasi kepada petani dari Pemerintah akibat gagal panen tersebut untuk membantu petani m
“Pertanian adalah urat nadi ekonomi Samosir. Kalau petani gagal panen, semua sektor ikut terguncang, karena nya kami berharap Pemkab Samosir peka terhadap kegagalan panen petani ini dan berharap adanya kompensasi minimal berupa bibit, pupuk dan lainnya untuk membantu petani bercocok tanam kembali," kata Enrika.
Henrika mendesak Pemkab mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan kekeringan dan pembangunan jaringan irigasi berkelanjutan.
Nasir Simbolon, petani dari Desa Sijambur, juga tak luput dari dampak. Sawahnya retak-retak, modal tanam hilang tanpa hasil.
“Kalau petani terus dibiarkan begini, lama-lama tidak ada lagi yang mau bercocok tanam di Samosir,” pungkasnya.
Walau hujan mulai turun di Agustus, tanaman yang terlanjur mati tak mungkin diselamatkan. Petani berharap pemerintah tidak hanya sibuk dengan proyek infrastruktur besar, tetapi juga membangun sistem pertanian tangguh yang mampu bertahan menghadapi perubahan iklim.***(Gb-Ferndt01)