Notification

×

Iklan

Iklan

Jaringan TePI Indonesia Kecam Brutalitas Polisi, Desak Reformasi Polri dan Cabut Tunjangan DPR

30 Agu 2025 | 10:58 WIB Last Updated 2025-08-30T04:03:52Z


Opini oleh Koordinator TePI Indonesia, Jeirry Sumampow 

GREENBERITA.com- Sejak awal pekan ini, berbagai elemen masyarakat menggelar aksi unjuk rasa untuk menyuarakan keresahan dan aspirasi rakyat. Aksi massa ini awalnya dipicu oleh tunjangan fantastis yang diberikan kepada anggota DPR RI dan respon serta prilaku beberapa anggota DPR yang cenderung melecehkan rakyat.


Namun, aksi yang sah secara konstitusional tersebut justru direspons dengan tindakan represif aparat kepolisian. Puncaknya, tindakan brutal aparat kepolisian itu menelan korban jiwa: seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan yang tewas setelah ditabrak secara keji oleh kendaraan taktis Brimob. 


Video peristiwa tragis ini telah beredar luas di media sosial. Perlu ditegaskan, Affan bukanlah peserta aksi, melainkan sedang menjalankan tugasnya mengantar pesanan konsumen. Ia kehilangan nyawa akibat tindakan aparat yang semestinya melindungi, namun justru bertindak sewenang-wenang.


Jaringan Komite Pemilih Indonesia (TePI) mengecam keras tindakan aparat kepolisian yang kembali menampilkan wajah otoritarian, jauh dari prinsip demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta perlindungan terhadap martabat warga negara. 


"Insiden ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola panjang tindakan represif kepolisian terhadap gerakan rakyat. Situasi ini semakin menegaskan bahwa kepolisian kian arogan dan gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat," tegas Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow dalam rilis yang diterima greenberita pada Jumat, 29 Agustus 2025.


Dengan demikian, Komite Pemilih Indonesia menilai sudah saatnya dilakukan reformasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian.


 "Salah satu langkah mendesak adalah menempatkan kepolisian di bawah lembaga atau kementerian yang relevan, bukan lagi langsung di bawah Presiden. Penempatan langsung di bawah Presiden terbukti hanya memperkuat karakter kepolisian sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai instrumen negara yang berpihak pada rakyat," tegas Jeirry 


Lebih jauh dijelaskan, tragedi yang menimpa Affan Kurniawan disebut memperlihatkan betapa demokrasi Indonesia berada dalam kondisi kritis. 


"DPR, yang semestinya menjadi representasi rakyat, justru memperlihatkan sikap abai dan tidak peka terhadap penderitaan masyarakat. Alih-alih merasakan kesulitan rakyat, para anggota DPR hidup bergelimang fasilitas dan tunjangan fantastis, sebuah sikap elitis yang mencederai rasa keadilan publik dan mengkhianati esensi demokrasi," tegasnya.


Hal serupa, menurut Komite Pemilih Indonesia, juga tampak dalam berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo. 

"Dengan dalih efisiensi, rakyat diminta berhemat, sementara para pejabat justru menikmati fasilitas dan tunjangan berlebihan. Kebijakan semacam ini hanya memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap negara," runut Jeirry.


Komite Pemilih Indonesia menegaskan, dalam kasus meninggalnya Affan Kurniawan, permintaan maaf dari kepolisian dan pemerintah memang patut dihargai, namun jelas tidak memadai. 


"Permintaan maaf harus disertai langkah nyata berupa evaluasi menyeluruh, penindakan tegas terhadap pelaku, serta perubahan kebijakan yang mendasar agar tragedi serupa tidak kembali terulang. Pola lama di mana permintaan maaf dijadikan tameng tanpa ada perbaikan nyata harus segera dihentikan," pinta Jeirry 


Komite Pemilih Indonesia menyerukan sejumlah langkah korektif:

  1. Dilakukan investigasi independen atas kasus meninggalnya Affan Kurniawan serta mengadili pelaku melalui pengadilan terbuka.
  2. Segera melaksanakan reformasi kelembagaan kepolisian, termasuk menempatkan Polri di bawah lembaga atau kementerian yang relevan.
  3. DPR dan Pemerintah menghentikan gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat—cabut seluruh bentuk tunjangan fantastis yang melukai rasa keadilan publik.
  4. Pemerintah menghentikan kebijakan yang berpihak pada elit dan pejabat, serta mengembalikan orientasi kebijakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
  5. Mewujudkan demokrasi yang substansial, di mana negara hadir untuk melindungi, menghormati, dan melayani rakyat.

"Brutalitas aparat, sikap elitis DPR, dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat adalah alarm keras bahwa demokrasi Indonesia berada pada jalur yang salah. Jika tidak segera dilakukan koreksi, maka masa depan demokrasi nasional akan semakin suram. Tragedi Affan Kurniawan harus menjadi momentum bersama untuk menuntut perubahan nyata," tutup Komite Pemilih Indonesia menyimpulkan.


(Penulis saat ini Koordinator TePI Indonesia sebagai aktivis demokrasi dan Pemilu sebagai Koordinator TePI)