![]() |
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik wacana penggabungan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI |
GREENBERITA.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik wacana penggabungan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI dalam revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Mereka menilai rencana ini berisiko melemahkan perlindungan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.
“Menggabungkan lembaga-lembaga ini juga berisiko melemahkan fokus, keahlian, dan pendekatan sensitif terhadap isu perempuan dan anak, yang membutuhkan penanganan khusus dan berbeda dari isu HAM umum,” tegas Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam keterangan tertulis yang dikutip Sabtu, 12 Juli 2025.
Dimas mengingatkan bahwa berdasarkan General Comment No. 2 dari Komite Hak Anak PBB, negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, seperti Indonesia, seharusnya memiliki lembaga khusus untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Kritik ini muncul setelah Kementerian HAM menggelar pembahasan revisi UU HAM pada 10 Juli 2025 bersama sejumlah pakar. Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan bahwa revisi UU HAM akan mencakup beberapa hal, termasuk penguatan Komnas HAM, perluasan cakupan pelanggar HAM mencakup korporasi dan individu, serta wacana penggabungan lembaga-lembaga HAM menjadi satu lembaga tunggal.
KontraS memandang bahwa perubahan atas UU HAM yang telah berusia lebih dari 25 tahun harus dilakukan dengan cermat dan selaras dengan perkembangan HAM internasional.
“Perubahan tersebut juga harus menjawab permasalahan struktural pelanggaran HAM yang terus berulang serta mendengarkan dan berpihak pada korban pelanggaran HAM,” ujar Dimas.
Mereka juga menyoroti pentingnya perumusan yang tepat dalam memperluas cakupan pelaku pelanggaran HAM agar tidak tumpang tindih dengan KUHP dan hukum pidana umum.
Selain itu, KontraS menegaskan perlunya pelibatan aktif korban pelanggaran HAM dan kelompok rentan lainnya dalam proses revisi. “Proses revisi harus terbuka dan tidak mengulangi pola penyusunan peraturan yang tertutup di masa lalu,” tambahnya.
KontraS juga mengkritisi lambannya penyidikan dan penuntutan terhadap 13 kasus pelanggaran berat HAM oleh pemerintah. Menurut mereka, komitmen terhadap HAM tidak cukup hanya melalui revisi UU, tapi juga dengan tindakan konkret atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
Data KontraS mencatat masih tingginya praktik penyiksaan oleh aparat, yakni 67 kasus sepanjang Juni 2024 hingga Mei 2025, menunjukkan persoalan HAM belum diselesaikan secara struktural.
“Pemerintah harus memastikan agar UU HAM tidak sekedar menjadi naskah peraturan perundang-undangan melainkan untuk diimplementasikan khususnya oleh aparat penegak hukum,” pungkas Dimas.***(Gb-Ferndt01/ril)