Notification

×

Iklan

Iklan

Ketua Komisi II DPR Tolak Usulan Perpanjangan Masa Jabatan DPRD: Dinilai Langgar Konstitusi

7 Jul 2025 | 16:23 WIB Last Updated 2025-07-07T09:23:28Z

 

Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rifqinizamy Karsayuda,

GREENBERITA.com- Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan penolakannya terhadap wacana perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menurut Rifqi, upaya rekayasa konstitusi tidak seharusnya melanggar aturan dasar negara.


“Saya secara pribadi tidak akan pernah melakukan proses itu. Biar sejarah yang akan mencatat,” ujar Rifqi saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 7 Juli 2025. Politikus Partai NasDem itu menekankan komitmennya untuk tetap berpijak pada prinsip-prinsip konstitusi.


Pernyataan Rifqi tersebut merupakan respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.


Ia menjelaskan, apabila DPR memutuskan membuat norma transisi berupa perpanjangan masa jabatan DPRD dari 5 tahun menjadi 7,5 tahun, maka hasil pemilu 2024 dianggap telah melanggar Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur bahwa pemilihan umum digelar setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD.


Menurut Rifqi, perpanjangan masa jabatan DPRD sebagai bentuk tindak lanjut dari putusan MK justru akan menabrak konstitusi. 


“Nyata-nyata melabrak norma di undang-undang dasar,” ujar Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda seperti dikutip dari tempo.


Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Gugatan tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).


Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu tingkat nasional harus dilaksanakan terpisah dari pemilu tingkat daerah (pemilu lokal). MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal diselenggarakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional.


Putusan ini sekaligus menghapus sistem “Pemilu 5 kotak” yang selama ini berlaku pada pemilu serentak, dan tidak akan lagi diterapkan pada Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.


Mantan Ketua MK, Mahfud Md, turut mengomentari potensi persoalan dari putusan tersebut. Ia menyebut masa transisi pemilihan anggota DPRD berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Berbeda dengan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota yang dapat digantikan oleh penjabat, anggota DPRD tidak memiliki skema serupa.


"Problemnya, kalau menunda pemilihan gubernur, bupati, wali kota 2,5 tahun, ya bisa diatasi dengan mengangkat penjabat. Tapi kalau DPRD kan enggak bisa pakai penjabat," kata Mahfud, yang juga mantan Menko Polhukam, saat ditemui di Jakarta pada Ahad, 6 Juli 2025. Menurutnya, kondisi tersebut menjadi salah satu alasan sejumlah partai menyoroti keputusan MK.


Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menilai bahwa putusan MK tentang pemisahan pemilu merupakan bagian dari rekayasa konstitusi atau constitutional engineering. Ia menegaskan bahwa langkah ini semestinya diikuti dengan revisi terhadap UU Pemilu dan Pilkada.


“Seharusnya justru kalau memang dianggap ada kerumitan atau implikasi lainnya maka perlu segera dilakukan revisi UU pemilu dan pilkada,” ujar Khoirunnisa saat dihubungi pada Senin, 7 Juli 2025. Ia juga menyebut bahwa dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 telah diatur pola keserentakan yang baru.


Khoirunnisa menambahkan, tugas Mahkamah Konstitusi adalah menafsirkan konstitusi, sehingga tidak tepat jika putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal dinilai bertentangan dengan konstitusi. “Untuk soal transisi masa jabatan, ini yang harus menjadi diskusi oleh pembentuk undang-undang untuk mencari bagaimana bentuknya,” pungkasnya.***(Gb-Ferndt01/ril)