Notification

×

Iklan

Iklan

Danau di Atas Danau Toba Menangis: Sidihoni Menyusut Lebih dari Satu Meter, Warga Resah

21 Jul 2025 | 15:47 WIB Last Updated 2025-07-21T08:47:16Z

Penurunan Debit Air Danau Sidihoni semakin mengkhawatirkan, Warga harap ada perhatian pemerintah daerah 

GREENBERITA.com – Di tengah pesona alam Pulau Samosir yang membentang megah, sebuah kenyataan menyedihkan kini melanda Danau Sidihoni, danau kecil yang unik karena berada di atas Danau Toba. 

Dalam tiga bulan terakhir, kemarau panjang telah memangkas permukaan airnya lebih dari satu meter. Fenomena ini memicu kekhawatiran mendalam dari masyarakat Desa Sabungan Nihuta, Kecamatan Ronggur Nihuta.


"Sudah tiga bulan ini tidak turun hujan. Air Danau Sidihoni pun terus menurun. Sekarang sudah lebih dari satu meter berkurang dari permukaan biasanya," ujar Jetro Sitanggang, warga setempat, Minggu (20/7/2025).


Jetro menambahkan, situasi ini adalah yang terparah dalam beberapa tahun terakhir. Dikatakannya, meskipun kemarau kerap datang, namun air danau tidak pernah menyusut sedrastis ini. Bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari pertanian dan perikanan skala kecil, kondisi ini mulai terasa menekan. Lahan pertanian mengering, debit air menyusut, dan kekhawatiran kekurangan air bersih mulai menghantui.


Bukan hanya soal air, Sidihoni juga menyimpan kepercayaan spiritual yang mengakar kuat di hati warga.


"Kalau air danau ini tiba-tiba berubah warna, misalnya menjadi kemerahan, biasanya tidak lama ada kejadian besar. Bisa itu bencana, bisa juga hal baik. Kami percaya itu sebagai tanda," jelas Jetro.


Warna air danau yang kerap berubah bukan dianggap aneh oleh masyarakat. Sebaliknya, ia dipercaya sebagai bentuk komunikasi alam yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal inilah yang membuat Danau Sidihoni tak hanya penting secara ekologis, tapi juga spiritual dan kultural.


Namun ironi muncul ketika keindahan dan makna Danau Sidihoni tidak diimbangi dengan perhatian pemerintah. Kawasan ini minim fasilitas wisata. Tidak ada dermaga, pusat informasi, bahkan jalan di sekitar danau pun masih berupa tanah.


"Kami warga sekitar berharap pemerintah bisa memperhatikan potensi wisata ini. Danau Sidihoni bisa menjadi destinasi unggulan kalau dikelola serius," harap Jetro.


Kini, ketika kemarau merenggut nyawa sumber air, masyarakat tidak hanya berhadapan dengan krisis lingkungan, tapi juga sosial ekonomi. Aktivitas sehari-hari terganggu, pertanian melemah, dan wisata melambat.


 "Setiap hari masih ada wisatawan datang. Baik wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara walau jumlahnya sedikit," terangnya.


Ketika air terus menyusut dan pemerintah belum juga memberi respons konkret, warga mulai mempertanyakan arah pengelolaan sumber daya alam daerahnya. Dampak dari krisis ini tidak hanya terjadi di Ronggur Nihuta, tapi bisa menjalar ke wilayah lain di Samosir yang bergantung pada sumber air yang sama.


"Situasi ini tidak hanya berdampak pada ekosistem, tapi juga pada aktivitas warga sehari-hari," tambah Jetro.


Masyarakat berharap ada langkah cepat dari Pemkab Samosir. Mulai dari penyediaan air bersih, penyuluhan pertanian ramah iklim, hingga strategi konservasi dan pembangunan fasilitas wisata jangka panjang.


Danau Sidihoni bukan hanya panorama indah di tengah pulau. Ia adalah sumber kehidupan, simbol identitas, dan warisan leluhur yang tak tergantikan. Jika pemerintah tak segera bertindak, bukan hanya air yang akan mengering — tapi juga harapan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan alam yang lestari.*** (Gb-Ferndt01)