![]() |
Anggota DPR RI Rapidin Simbolon (photo greenberita/ferndt) |
GREENBERITA.com- Persoalan Hutan APL Tele kembali kembali memanas usai sempat redup setelah Dua eks Bupati dan Eks Sekda harus mendekam dalam penjara akibat pengelolaan Hutan APL Tele.
Pasalnya ketika Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom terlihat menyambut kedatangan Direktur PT JCO, Johnny Andrean, dan perwakilan Dewan Ekonomi Nasional, Van Basten Panjaitan, pada Rabu (4/6/2025) ketika hendak berinvestasi di Hutan APL Tele yang mendapat kritik dari Anggota Komisi XIII DPR RI, Rapidin Simbolon.
Menurut Rapidin, di balik penyambutan dan jargon pertumbuhan ekonomi, terselip aroma kebijakan yang berpotensi menyingkirkan hak-hak masyarakat dan membuka kembali luka lama Samosir konflik agraria, perampasan tanah adat, dan kerusakan ekologis di Hutan Tele.
“Kawasan yang kini disebut sebagai ‘Zona Investasi Kawasan Pertanian Terpadu’ seluas 536 hektare di Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, sejatinya bukan tanah kosong tak bertuan,” ujar Rapidin, Selasa (10/6/2025).
Rapidin, yang juga menjabat sebagai Bupati Samosir periode 2016–2020, menuturkan bahwa lokasi tersebut adalah bagian dari kawasan ulayat yang telah lama diperjuangkan masyarakat adat di Tele.
Tahun 2021, Bupati Samosir bahkan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 128 yang mengakui eksistensi wilayah adat tersebut.
Namun, sejarah itu tampaknya cepat dilupakan. Dalam proyek ini, PT JCO direncanakan membudidayakan kopi di atas 200 hektare lahan, sementara status legal atas tanah tersebut masih menuai tanda tanya besar.
“Ini pengkhianatan terhadap proses reforma agraria yang sudah kami mulai,” kata Rapidin.
“Tanah itu seharusnya kembali ke rakyat, bukan ke investor,” tegasnya.
Rapidin menilai kebijakan Vandiko Gultom telah mengesampingkan hak masyarakat dan membuka pintu bagi eksploitasi berkedok investasi.
Ia juga mengingatkan bahwa kawasan Tele bukan sekadar lahan, melainkan wilayah sakral yang menyimpan belasan situs perkampungan Batak kuno, salah satunya Sitamborboha di Baniara, yang kini rusak akibat izin yang direkomendasikan oleh Bupati.
Rapidin menegaskan, sejak tahun 1990-an, Hutan Tele telah menjadi ladang empuk bagi perambahan dan alih fungsi lahan secara ilegal.
Tahun 2000, kawasan yang sebelumnya berstatus hutan lindung diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), ironisnya tanpa persetujuan resmi dari Kementerian Kehutanan.
Perubahan status ini memicu maraknya pemukiman liar, pertanian ilegal, hingga jual beli tanah oleh pihak-pihak yang mengklaim memiliki kuasa, termasuk pejabat yang kemudian terseret kasus korupsi.
"Nama-nama seperti Sahala Tampubolon, Mangindar Simbolon, hingga Bolusson Pasaribu sempat menghiasi daftar hitam penegak hukum karena keterlibatan mereka dalam permainan tanah di Samosir," ujarnya.
Rapidin menduga, di bawah nama baru “investasi pertanian”, pola lama sedang diulang kembali kini dikemas dalam retorika pembangunan.
“Jangan tertipu oleh istilah pertanian terpadu. Yang kita lihat di lapangan adalah pembabatan pohon dan perusakan ekosistem,” ujarnya.
Pantauan udara pada Mei 2025 menunjukkan kerusakan Hutan Tele, termasuk penebangan liar dan pembakaran hutan di wilayah Kelompok Tani Hutan (KTH) Dosroha di Kecamatan Palipi.
Menurut Rapidin, aktivitas ini mengancam status UNESCO Global Geopark Danau Toba, yang hingga kini masih dijaga dengan susah payah.
Terkait APL Hutan Tele, Rapidin juga mengkritik lokasi tersebut yang berada pada ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut.
Ketinggian ini, katanya, memang ideal untuk kopi, tetapi juga merupakan titik krusial penyangga air bagi Danau Toba.
Pengalihfungsian lahan di dataran tinggi memperbesar potensi bencana ekologis seperti longsor, banjir bandang, dan kekeringan saat musim kemarau.
“Investor datang, uang masuk, tetapi rakyat kehilangan tanah, budaya, dan bahkan air,” ujarnya.
Ia menilai penggunaan narasi pembangunan untuk mengesahkan penguasaan tanah rakyat oleh korporasi adalah bentuk kapitalisme terselubung, yang bisa memicu konflik horizontal di kemudian hari.
Vandiko sendiri bersikukuh bahwa proses investasi ini bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Ia bahkan menginstruksikan percepatan administrasi dan pembangunan infrastruktur jalan menuju lokasi investasi.
“Namun pertanyaannya, siapa yang akan benar-benar sejahtera dari proyek ini? Investor atau masyarakat adat yang telah ditinggalkan?” ujar Rapidin.
Ia menambahkan, dengan sejarah panjang dan luka yang belum sembuh, masyarakat adat dan pegiat lingkungan tentu menolak eksploitasi kawasan Tele.
Mereka menyerukan penghentian segala bentuk konversi lahan tanpa persetujuan rakyat, serta mendesak audit menyeluruh atas kebijakan Bupati Vandiko.
“Jika kita biarkan, maka bukan hanya hutan yang hilang. Kita kehilangan jati diri, sejarah, dan masa depan,” tambahnya.
“Dan saat hujan besar pertama tiba, mungkin kita akan bertanya: apakah sehelai kopi sebanding dengan banjir bandang di kampung halaman?”
Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si, penggiat lingkungan dan Ketua Pergerakan Penyelamatan Kawasan Danau Toba, turut menyayangkan penyerahan kawasan APL Tele kepada investor.
"Sejarah Tele menyorehkan bahwa semua pemberian izin di kawasan ini baik untuk peternakan, perkebunan, maupun taman bunga—tidak pernah berhasil karena ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku. Pengalaman menunjukkan bahwa motivasi utama pengusaha adalah menikmati tegakan kayu alam yang ada di APL Tele dengan dalih land clearing," ujarnya.
Wilmar menegaskan, kawasan tersebut adalah penyangga bagi kelestarian sungai-sungai sekitar dan Danau Toba. Kawasan ini juga merupakan habitat pohon dan binatang endemik Batak.
"Lagi pula, kawasan itu harus terlebih dahulu memiliki Perda peruntukan. Dan Perda itu harus berdasarkan prinsip ESG dan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent),"tegasnya.
Lanjut Wilmar, pengelolaan harus melihat FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) adalah prinsip yang menekankan pentingnya memperoleh persetujuan dari masyarakat adat atau lokal sebelum dilakukan proyek yang dapat memengaruhi hak-hak mereka.
Tentu juga kata Wilmar harus, Free (Bebas): Tanpa tekanan atau manipulasi.
Prior (Sebelum): Persetujuan diberikan sebelum kegiatan dimulai dan Informed (Terinformasi): Masyarakat mendapat informasi lengkap dan akurat serta Consent (Persetujuan): Harus diberikan secara sukarela.
Lebih jauh Wilmar menyampaikan, selain itu juga harus melindungi hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, dan budaya. Meningkatkan transparansi dan partisipasi. Menghindari konflik sosial dan hukum.
"Kawasan itu adalah jantung Danau Toba. Tak ada kata terlambat. APL Tele dan kawasan lain harus dikelola berdasarkan perda yang sah dan prinsip-prinsip keberlanjutan,"kata Wilmar menutup pernyatannya.***(Gb-Ferndt01)