Notification

×

Iklan

Iklan

Korban Diskriminasi Jadi Tersangka Penganiayaan, Jon Effendi Purba Minta Perlindungan Hukum ke Kapolda Sumut

30 Sep 2023 | 19:12 WIB Last Updated 2023-09-30T12:12:10Z

Ket Foto: Kuasa Hukum L, Jon Effendi Purba ketika menunjukkan surta permohonan perlindungan hukum kepada Kapolda Sumut.

GREENBERITA.com
-- Sungguh miris yang dialami seorang ibu di Medan berinisial L. Pasalnya, Ia mengaku menjadi korban diskriminasi oleh mantan suaminya berinisial H karena dibatasi bertemu dengan anak kandungannya.


Tak terima dengan itu, pada 15 April 2023, L pun melaporkan mantan suaminya H atas dugaan diskriminasi terhadap anak ke Polda Sumut. Sayangnya, penyidik malah menghentikan penyelidikan terhadap laporan itu pada 30 Juni 2023.


Mirisnya lagi, setelah satu setengah tahun tepatnya pada 27 Juni 2023, L malah dilaporkan oleh mantan mertuanya berinisial NW ke polisi atas tuduhan melakukan penganiayaan.


Oleh karena itu, wanita berusia 34 tahun tersebut melalui kuasa hukumnya Jon Effendi Purba SH MH meminta perlindungan hukum dan permohonan gelar perkara khusus ke Kapolda dan Irwasda Polda Sumut. 


Kepada wartawan, Jon menceritakan, L sebelumnya menikah dengan H sejak 2018 dan dikarunia satu anak pada 2019. Pada 27 Desember 2022, mereka resmi bercerai berdasarkan putusan pengadilan.


"Dalam putusan itu, hak asuh anak jatuh kepada klien saya (L) dan H dibebankan setiap bulan menafkahi anak sebesar Rp 5 juta," ujar Jon, Sabtu (30/9/2023). 


Sebelum bercerai tepatnya 6 Januari 2022, terjadi cekcok antara L dan H. Sehingga L membawa anaknya dari tempat tinggal mereka di komplek perumahan Mutiara Residence.


Pada 8 Januari 2022, H menjemput L dan anaknya dengan menggunakan mobil untuk jalan-jalan ke Centre Point. Setelah itu, mereka kembali pulang ke Mutiara Residence. 


"Sepanjang perjalanan pulang, mereka terus cekcok di dalam mobil. Sampai di halaman rumah, H mengambil anak dari pangkuang klien saya," cetus Jon.


Kemudian, H memberikan anaknya ke ibunya, NW. L membujuk NW untuk menyerahkan anaknya, tapi tak diberikan. Sambil menangis, L menghubungi orangtuanya untuk menjemput ibu satu anak itu.


L didampingi keluarga pun melaporkan hal itu ke Polrestabes Medan. Namun, pihak SPKT menyarankan L untuk membuat laporan ke polsek saja. Laporan pun tak jadi dibuat.


"Sejak tanggal 9 Januari 2022 sampai April 2023, klien saya tidak diizinkan bertemu anaknya. Anaknya masih kecil, butuh ibunya. Jadi kenapa dihalangi, ini ada apa ?," tanya Jon.


Lanjut dikatakan John, pada 15 April 2023, L melaporkan H atas dugaan diskriminasi terhadap anak ke Polda Sumut. Sayangnya, penyidik menghentikan penyelidikan terhadap laporan itu pada 30 Juni 2023.


Kesedihan L tak sampai disitu. Setelah satu setengah tahun tepatnya pada 27 Juni 2023, L dilaporkan oleh NW ke polisi atas tuduhan ada mencakar mantan mertuanya itu.


"Klien saya kaget diperiksa pertama kali langsung pada tingkat sidik. Bahkan, klien saya sudah tersangka pada 25 Juli 2023. Dimana letak keadilan. Ketidakadilan ini seperti menjerumuskan klien saya ke penjara supaya gak bisa bertemu anaknya lagi," jelas Jon.


Untuk itu, Jon meminta perlindungan hukum dan memohon dilakukan gelar perkara khusus atas kasus yang menimpa kliennya kepada Kapolda serta Irwasda Sumut


"Apalagi CCTV ada di rumah tersebut tapi tidak disita penyidik, dokter yang mengambil visum belum diperiksa penyidik, belum dilakukan pra rekonstruksi, langsung tahap sidik harusnya lidik dulu dan lakukan mediasi. Kesannya penyidik menetapkan klien saya sebagai tersangka dengan setengah alat bukti," kata Jon.


Dia menambahkan, jangan kliennya saja yang jadi tersangka, laporan L yang di Renakta Krimum terhadap H agar di buka kembali langsung ke sidik.


"Saya minta kepada penyidik krimum agar laporan hasil penyidikan (LHP)-nya nanti agar H juga dijadikan tersangka atas dugaan diskriminasi terhadap anak," pungkasnya.


(Gb--Raf)