Notification

×

Iklan

Iklan

Akankah Terjadi Palugada Di Era Demokrasi Samosir?

29 Jul 2022 | 21:06 WIB Last Updated 2022-07-29T14:06:22Z
(Oleh Bachtiar Sitanggang, SH) 

GREENBERITA.com- Kemajuan teknologi saat ini sungguh memanjakan mata dan pikiran kita. Hampir setiap pagi kita sudah disuguhi bermacam kiriman baik melalui televisi, Whatsapp Group, dari mulai khotbah Firman Tuhan sampai hujatan dan pertentangan. Mulai dari berita yang menggembirakan sampai yang memilukan.

Demikian juga kabar berita dari Samosir saat ini, dengan mudahnya sampai ke depan kita, baik melalui WA dengan kiriman foto dan guntingan koran, tentang pembangunan, pencitraan, kriminal dan lain-lain.

Bahkan perseteruan yang sering menimbulkan pertanyaan, kalau begini terus “kapan ya Samosir maju kalau tidak ada damai ?”

Pernah suatu kali karena pertengkaran yang saya saksikan di grup WA dan saya telah dimasukkan ke grup itu. 

Namun karena risi saya keluar, lalu dimasukkan lagi dan saya keluar, malu saya sebagai putra Samosir dengan bahasa-bahasa seperti ini, tidak ada lagi sopan-santun.

Dalam kaitan itulah judul tersebut di atas saya sajikan.

“Akankah Palugada Terjadi di era demokrasi Samosir?”. 

Palugada merupakan kependekan dari “apa lu mau, gue ada, ” yaitu istilah bisnis kaula muda (bahasa gaul Betawi saat ini), yaitu sebelum terbitnya istilah “kaum millenial” sekarang.

Palugada itu juga sering digunakan di kalangan penyedia tenaga untuk demonstrasi, yaitu “berapa lu butuh, gue ada”, sering terdengar di masa demo-demo DI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) beberapa tahun lalu. 

Demo (unjuk rasa) beberapa tahun lalu seolah pekerjaan bagi orang tertentu mulai dari sepuluhan orang sampai berbis-bis menutup jalan. 

Jadi, menurut orang, katanya, butuh berapa orang selalu tersedia tinggal menghubungi orang tertentu, Korlap (kordinator lapanangan) mengaturnya, dari daerah mana dan tentang masalah apa? 

Tetapi itu di Jabodetabek kelihatannya sudah menghilang, tidak tahu apa penyebabnya, apakah akan muncul menjelang kampanye dan pemilu, semoga tidak sebab itu menyusahkan.

Di era demokrasi ini mengeluarkan pendapat adalah hak azasi manusia dan dijamin konstitusi, tetapi apakah pengerahan massa dengan “Palugada” mungkin bukan bagian dari demokrasi? 

Sebab sering para peserta unjuk rasa tidak mengerti bahkan tidak tahu apa yang diperjuangkannya. Mudah-mudahan “penyakit palugada”  itu tidak menular ke Samosir. 

Istilah “Palugada” ini saya sajikan berkatan dengan kiriman berita berjudul “Ribuan Warga Samosir Melakukan Aksi Unjuk Rasa ke Kantor DPRD Kabupaten Samosir, Menuntut Gantikan Bupati” lengkap dengan video serta orasinya Kejadiannya pada Sabtu (23/7/2022) yang lalu dan diberitakan Minggu, 24/7/2022) yang saya terima dari “barometerindonesianews.net”.

Tertawa saja mencermatinya, berita demo berkaitan dengan politik dan pemerintahan, pertanyaannya, ada apa? siapa yang menggerakkan? Serta tujuannya apa? 

Demo menyangkut pemerintahan dan politik sering tidak ada ujung dan penyelesaiannya, namanya saja politik, tidak ada teman abadi dan musuk abadi semua tergantung arah angin. 

Makanya sering orang bilang “politik itu kotor” karena “menghalalkan segala cara”, hanya Sabam Sirait yang mengatakan “politik itu suci”. 

Unjuk rasa di kantor DPRD tersebut, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api,  sejarah akan mencatatnya dan biarlah pihak yang berkompten yang menilai benar atau salah termasuk tuntutan dan cara pengutaraannya.

Demikian juga dengan 24 butir tuntutan mereka,  benar atau tidak bukan masalah, tetapi semua harus dijadikan alat kontrol untuk kemajuan Samosir, walaupun kadang-kadang tuntutan itu bertentangan dengan demokrasi seperti menuntut Bupati mundur, sebab untuk itu ada mekanismenya.

Lagipula, mengapa unjuk rasa itu hari Sabtu, apakah ada pimpinan dan anggota DPRD di tempat, bahkan lebih dari itu, seriuskah tuntutannya atau sebaliknya untuk pencitraan semata? 

Namun demikian kita harus hormati apa yang disuarakan saudara-saudara kita tersebut, namun kita harapkan jauh dari “Palugada” seperti yang disinyalir di Jabodetabek, dengan peserta hanya “diajak” tanpa menghayati apa yang di-unjuk rasa-i.

Ada baiknya, untuk meredam “kemelut” di Samosir yang sudah cukup mengganggu kenyamanan dan kelanjutan pemerintahan dan pembangunan hendaknya semua komponen bersikap jujur dan legowo berbuat berbuat dan bertindak secara proporsional dan profesional. 

Pemerintahan yang didasarkan pada hukum dan demokrasi hendaknya dijalankan sesuai dengan azas-azas pemerintahan yang baik dan benar, dengan memfungsikan organ-organ yang ditetapkan peraturan.  

Kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi, artinya kepentingan perorangan kelompok harus dikesampingkan.

Mengatasi persoalan akan mudah apabila semua pihak taat azas, membuka hati untuk kebaikan dan kemajuan masyarakat Samosir, menghindarkan kepentingan pribadi apalagi “memaksakan kehendak” sebab kalau hal seperti itu terjadi fungsi-fungsi pemerintahan akan mandek dan  fungsi tugas dan tanggungjawab pelaksana akan lumpuh.

Kaum cendekiawan Samosir (anak na pinajolo) yang mendapat berkat dari Tuhan hendaknya berhikmat dan mengedepankan etika dan moral melihat permasalahan di Kabupaten Samosir, dan jangan sekali-kali menjadi benalu bagi Pemerintah baik di eksekutif, legislatif termasuk ekspert dan advisor. 

Mari berlomba-lomba berbuat kebaikan dan kebajikan dan jangan sekali-kali membuat keonaran apalagi di 'bonapaaogit' kita tercinta, Horas.***


( Penulis adalah Wartawan senior dan advokat di Jakarta )