Notification

×

Iklan

Iklan

KSPPM Kehilangan 2 Tokoh Pemberi Makna Ornop

15 Sep 2021 | 16:34 WIB Last Updated 2021-09-15T09:44:29Z



Oleh Delima Silalahi, M.Si

GREENBERITA.com - Dalam dua hari ini, Keluarga Besar KSPPM kehilangan dua sosok yang memberi makna dalam perjalanan arak-arakan KSPPM.

 

Dari mulai Pdt. Usman Meliala, sosok penting  yang memilih ikut ambil bagian dalam membangun gerakan masyarakat sipil di Sumatera Utara sejak masa Orde Baru, masa di mana tidak banyak orang yang berani dan memilih untuk bergabung dalam sebuah  Organisasi Non pemerintah (ORNOP). 


Tapi beliau bersama beberapa orang Kristen di Sumatera Utara dari berbagai denominasi gereja  melihat persoalan kemiskinan di Sumatera Utara adalah persoalan structural, adanya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi dan sumber-sumber daya ekonomi lainnya.


Pendeta Usman Meliala tidak hanya menyampaikan kabar baik dari atas mimbar, tetapi lebih sering di balik jubah kependetaannya. Bersama orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan membangun Gerakan ekonomi kerakyatan di Tanah Karo bersama para pendeta GBKP lainnya, antara lain Alm Pdt. Borong Tarigan dan Alm. Pdt. Selamat Barus. 


Dari Tanah Karo mereka bergabung mendirikan KSPPM, yang wilayah pelayanannya di Tapanuli, bukan Tanah Karo. 


Mereka mekar dan berbuah sampai ke Toba. Mereka bertiga kini sudah bersama  di rumah keabadian.

  

Saya sangat terkesan dengan kesederhanaannya, setiap kali KSPPM mengadakan Rapat Tahunan atau ketika bertemu di suatu kegiatan.  Tidak banyak bicara, tetapi selalu memberikan ide-ide yang cemerlang apalagi terkait dengan Credit Union dan pertanian selaras alam.  


Saya menyaksikan kebaikannya yang tulus setiap kali bertemu. Terima kasih Pak Usman Meliala, yang memberikan makna yang dalam bagi kami dan banyak orang.  Legacy-mu akan selalu hidup dan dikenang banyak orang. 


Kehilangan kedua bagi kami pagi ini adalah kepergian Amang Pdt. Haposan Sinambela. Tokoh penting dalam Gerakan perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta.  


Berjuang dengan gigih berani, bijaksana dan konsisten. 

Mengenalnya cukup dekat, karena sejak Juni 2009,  KSPPM  terlibat dalam perjuangan mereka  melepaskan wilayah adatnya dari konsesi PT TPL dan Kawasan Hutan Negara.  


Dia adalah pejuang yang tulus, berani dan konsisten. Banyak godaan yang mereka terima dari pihak perusahaan, tapi baginya memperjuangkan tanah leluhutr adalah juga Firman yang harus dilaksanakan.  Tidak hanya godaan, penderitaan juga sering menghampiri. Pada Februari 2013,  Amang Haposan Sinambela, bersama 31 temannya ditangkap di wilayah adatnya,  ditahan di Polres Dolok Sanggul dan kemudian dia bersama 15 lain yang ditetapkan tersangka dan dibawa ke tahanan Polda Sumatera Utara. Perjuangan yang tidak mudah untuk dilalui. Kala itu mereka dipukul dan diseret. Diangkut dengan truk tahanan, dibiarkan kedinginan selama tujuh jam menuju Medan dari Dolok Sanggu; dengan baju yang melekat di badan. Lebih dari dua minggu mendekam di sel tahanan Polda Sumatera Utara dengan mengenakan baju tahanan.  


Tidak bebas dikunjungi sanak saudara dan sahabat. Mereka adalah pejuang tetapi diperlakukan lebih buruk dari koruptor.  Dia tidak menyerah, tapi tetap bersuara dari balik jeruji, meneriakkan pesan juang kepada saudara-saudaranya di kampung. 

  

Rumahnya menjadi salah satu tempat kami berkumpul, rumah tempat belajar, istirahat dan makan. Selalau ramah menyambut siapa saja.


Suatu hari dia berujar, ”Dang pamasukon anak ni aili,  pakaluaron anak ni pinahan” (Jangan masukkan anak babi hutan dan mengusir anak babi dari kandangnya).  


Dia memaknai, bahwa PT TPL dan para pendukungnya adalah anak babi hutan yang ingin mencoba mengusir  mereka dari rumahnya. 


“Harus ada garis tegas antara PT TPL dengan kita, tidak ada negosiasi, yang kita perjuangkan adalah tanah, tidak ada negosiasi soal tanah. Anak babi hutan akan memangsa anak babi di kandang, tidak boleh bersatu”, begitu dia menggambarkan sikapnya terhadap PT TPL yang mencoba mendekatinya kala itu. 


“PT TPL akan memangsa kita suatu saat jika kita persilahkan masuk ke tanah kita”, katanya kala itu.


Sampai akhir, Amang Pdt. Haposan Sinambela konsisten dengan sikapnya. Dia bersama teman-teman yang lain memberikan makna yang cukup dalam bagi komunitas dan orang lain hingga saat ini.


Bahkan bagi Amang Pdt. Haposan Sinambela, dia tidak pernah berhenti melayani dan berjuang.  Tidak banyak yang  berhasil mengakhiri pertandingan mencapai garis akhir sebagai pemenang. Tetapi Amang Pdt Haposan SInambela mengakhiri perjalannya dengan kemenagan. Pada dua Agustus 2021 lalu, mereka mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat mereka dari KLHK. Setelah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. 


Pada Desember 2016 lalu, Presiden Jokowi mengundang Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan-Sipithuta ke Istana Presiden untuk meenrima SK Pencadangan Hutan Adat mereka seluas 5172 hektar. SK Pencadangan diberikan karena belum ada Perda Pengakuan dan pelrindungan Masyarakat Adat di Humbang Hasundutan kala itu. Mendapat SK Pencadangan dari Presiden, bagi mereka itu sesuatu yang sangat luar biasa dan seperti sudah berada di gerbang kemenangan. 


Namun kebijakan kadang juga tidak bijak, Perda yang mereka tunggu sebagai syarat penetapan Hutan Adat tak kunjung terbit. Tiga tahun menunggunya hingga terbit tahun 2019. 


Paska Perda mereka juga masih menunggu setahun untuk mendapatkan SK Hutan Adat defenitif. Pada 30 Desember 2020, SK Penetapan Hutan Adat mereka pun terbit, tapi sayangnya tidka seluruh hutan adatnya masuk dalam SK. Hanya 2.393 hektar. Sekitar 2.051 hektar dialokasikan untuk program ketahanan pangan. 


Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta sangat marah dan kecewa, termasuk Amang Pdt. Haposan Sinambela.  


“Tanah kami harus kembali kepada kami, bukan untuk Food Estate atau ketahanan pangan. Biar kami yang mengatur hutan kemenyan kami”, katanya kala itu. 


“Kita harus berjuang lagi sampai kapan pun”, tegasnya lagi. 

Mereka pun menyampaikan surat protes ke KLHK dan mengirimkan bukti-bukti photo bahwa hutan adat mereka, masih ditumbuhi tanaman kemenyan dan pohon alam yang lebat. 


“Bagaimana mungkin pemerintah punya keinginan menjadikan ini perladangan untuk pangan, ini hutan kami”, katanya. 


Usaha mereka tidak sia-sia, Tanggal 2 Agustus 2021, KLHK  menerbitkan SK Penetapan Hutan Adat mereka seluas 4.399,38 hektar.   


Paska  penerbitan SK penetapan tersebut, kami pun ke rumahnya pada Senin, 9 Agustus 2021. Dengan raut wajah gembira dia menyambut berita itu.  Kami pun bernostalgia di rumahnya, mengingat  suka duka sebelas tahun masa perjuangan mereka.  Dia juga mengapresiasi semangat gerakan tutup TPL yang terus berkibar di Tano Batak.   


Dia masih ingat statementnya bahwa PT TPL ibarat Anak Babi Hutan yang mengancam anak babi di kandang. “ Harus bersatu Tano Batak mengusir PT TPL”, tegasnya kepada kami. 


“Dang sae dope ulaonta, ingkon sampe lao do TPL on, ingkon loja do pe hamu manirois dohot pasadahon angka masyarakat adat di sude luat tano Batak”, katanya.  

(Belum selesai pekerjaan kita, TPL harus pergi dari Tano Batak. Kalian masih harus cape menyadarkan  dan menyatukan masyarakat adat Batak di semua wilayah)


Saat itu juga Amang Pendeta menceritakan adanya rencana membuat syukuran dan ucapan terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam perjuangan mereka.   Hanya saja karena masa pandemi covid-19 mereka menunda acara itu.  


Itulah terkahir kami bertemu, sekitar sebulan yang lalu. 


Sungguh perjumpaan dan kebersaamaan dengan Amang Pdt. Usman Meliala dan Amang Pdt. Haposan Sinambela adalah perjumpaan yang memberi makna hidup.  Mereka berdua sudah mengakhiri pertandingannya sebagai pemenang mencapai garis akhir . 


 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” 

(2 Timotius 4:7 TB)


Dengan Air Mata Kebahagiaan Kami Akan Melepas Kalian yang Memberi makna, SELAMAT JALAN . 


(Penulis adalah Direktur KSPPM Parapat dan aktiv menulis persoalan lingkungan)