Notification

×

Iklan

Iklan

Wali Kota Medan Divonis 6 Tahun

12 Jun 2020 | 17:10 WIB Last Updated 2020-06-12T10:10:33Z
Majelis Hakim Pengadilan Tipidkor Medan melakukan persidangan Wali Kota Medan non aktif Dzulmi Eldin melalui video confrense, Kamis, 11 Juni 2020
MEDAN, GREENBERITA.com || Wali Kota Medan nonaktif Dzulmi Eldin terdakwa kasus suap divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Abdul Aziz di Ruang Cakra II Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Kamis, 11 Juni 2020.

Dalam amar putusan itu, Dzulmi Eldin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Selain hukuman penjara, Dzulmi Eldin juga dikenakan denda Rp 500 juta, dengan subsider empat bulan kurungan.

"Mengadili, terdakwa Dzulmi Eldin terbukti dan menyakini telah bersalah menurut hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan ini majelis hakim menghukum pidana selama enam tahun penjara, denda Rp 500 juta, bila tidak digantikan maka akan dijatuhkan empat bulan kurungan," kata hakim Abdul Aziz.

Selain itu, hak politik Dzulmi Eldin juga dicabut selama empat tahun setelah masa hukuman pokoknya berakhir. Majelis hakim menimbang hal yang memberatkan, Dzulmi Eldin tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi, dan telah melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Sedangkan yang meringankan hukuman Dzulmi Eldin, bersikap sopan di persidangan," kata Abdul Aziz.

Majelis hakim sependapat dengan jaksa KPK yang menghukum terdakwa dengan Pasal 12 Huruf a UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.

Majelis hakim menghukum Eldin lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK. Jaksa menuntut tujuh tahun, dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan serta tuntutan tambahan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah menjalani hukuman.

Usai mendengarkan putusan, Junaidi Matondang pengacara Dzulmi Eldin menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim. Kepada wartawan, Junaidi mengatakan, ada fakta berbeda dalam persidangan saat pembacaan putusan.

Junaidi merinci, pertimbangan majelis hakim menyebutkan bahwa Kasubbag Protokol Pemko Medan, Samsul Fitri menyerahkan uang di ruang kerja Wali Kota Medan. Padahal dalam persidangan, Samsul mengaku uang diberikan pagi hari sebelum pulang dari kunjungan kerja ke Ichikawa, Jepang.

"Soal pemberian uang dari kepala OPD di persidangan menyatakan mereka ikhlas memberi. Dan pemberian uang itu tidak terkait dengan jabatan," kata Junaidi.

Selain itu, para kepala dinas menyebutkan pemberian uang karena ada permintaan dari Samsul Fitri, meminta partisipasi dari kepala dinas atau OPD maupun dirut BUMD yang menyatakan keikhlasan.

"Bahkan dalam kesaksian mereka, walau tak diberikan maka jabatan mereka tidak ada masalah. Ini murni karena keikhlasan dan loyalitas kepada pimpinan. Selain itu mereka tidak tahu apakah uang yang diberikan kepada Aidil dan Andika yang merupakan orang suruhan dari Samsul Fitri tersebut, sampai kepada Dzulmi Eldin. Nah kenapa ini tidak menjadi pertimbangan majelis hakim dalam persidangan. Kenapa uang Rp 2,1 miliar tersebut seolah-olah dipergunakan Eldin semata. Padahal sewaktu kunjungan kerja ke Jepang maupun ke daerah lain tak hanya Eldin, akan tetapi juga untuk keperluan rombongan termasuk kepala dinas yang ikut," terangnya.

Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi ditanya mengenai vonis Dzulmi Eldin, meminta agar kepala daerah tidak berurusan dengan hukum.

"Vonis Eldin itu urusan hukum. Semoga saudara kami kuat, apapun keputusan itu lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat. Selain itu, kami sudah sampaikan janganlah terulang kembali, tugas pokok mensejahterakan rakyat. Jangan sampailah berurusan dengan hukum lagi bagi kepala daerah di Sumatera Utara," terang Edy di Medan, Kamis, 11 Juni 2020.

Sesuai dakwaan jaksa KPK, kasus Eldin bermula dari kekurangan anggaran kegiatan Apeksi. Eldin pada pertengahan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan, Kalimantan Utara sebesar Rp 200 juta.

Namun yang ditanggung oleh APBD tidak mencapai jumlah tersebut. Mendapat laporan itu, Eldin kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada para kepala OPD atau pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya.

Samsul Fitri di hadapan Eldin membuat catatan. Para pejabat yang akan dimintai uang perkiraan jumlahnya mencapai Rp 240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut Eldin menyetujuinya.

Permintaan Eldin melalui Samsul Fitri hanya terkumpul Rp 120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Eldin ternyata terus berlanjut hingga meminta uang pegangan untuk perjalanan selama menghadiri undangan program sister city di Kota Ichikawa, Jepang. Tepatnya Juli 2019.

Penghitungan kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang tersebut sejumlah Rp 1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp 500 juta. Eldin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang.

Dalam dakwaan jaksa KPK, keseluruhan uang yang dikumpulkan Eldin dari para kepala OPD yang disetorkan kepadanya total mencapai sekitar Rp 2,1 miliar.

KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Eldin pada Selasa, 15 Oktober 2019. Dalam kasus ini, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan yang dulunya dijabat Isa Ansyari, dan Samsul Fitri dijadikan sebagai tersangka. Isa tersangka pemberi suap, sedangkan Eldin dan Samsul Fitri tersangka penerima. Itu juga dituangkan dalam dakwaan jaksa KPK.

(Gb-ars/rel)