Siswi yang jadi korban |
Berdasarkan ketentuan pasal 81 undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan dari undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepala sekolah SDIT Bina Mujtama itu terancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000.
"Tidak ada toleransi terhadap kekerasan. Siapapun pelakunya harus berhadapan dengan hukum, apalagi dilakukan oleh guru dan kepala sekolah yang seyogianya wajib memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi anak sebagai peserta didik," ujar Arist.
Adalah tidak tepat dan tidak dibenarkan apa yang dilakukan kepala sekolah SD IT sebagai tindakan "syock therapy".
Bagaimana tindakan menghukum push up dinyatakan sebagai rindakan "shock therapy" namun faktanya GNS mengalami kejang di perut, dan trauma dan saking traumanya GNS tidak lagi mau melanjutkan sekolah itu lagi dan keluarganya berencana untuk memindahkan ke sekolah lain.
Sesungguhnya kejadian serupa pernah alami GNS hanya saja hukuman sebelumnya jauh lebih ringan yakni pusat 10 kali. Namun peristiwa Senin 28 Januari membuat GNS trauma berat dan ketakutan serta disinyalir pula bahwa penghukuman terhadap siswa dan siswi yang telat bayat SPP dengan cara push up sering terjadi dilingkungan sekolah DDIT.
Untuk memastikan informasi tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan SD IT Bina Mujtama ini dan untuk memberikan dampingan psikologis dan pendampingan hukum bagi GNS dan keluarganya, Tim Investigasi Komnas Perlindungan Anak segera menyiapkan waktu bertemu korban dan keluarganya di Depok dan mengunjungi SDIT Bina mujtama di Bojong Gede guna mendapatkan keterangan dan informadi yang akuray.
"Yang pasti, jika Budi benar-benar dan dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan tehadap GNS hanya lantaran telat bayar SPP kepala sekolah SDIT itu dipastikan terancam pidana minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda Rp. 300.000. 000 rupiah maksimal dan paling rendah Rp. 60 juta", demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait di kantornya dibilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur Rabu 30/01. (Rel)