Walikota Siantar Hefriansyah |
Teranyar bahkan, konflik yang muncul berpotensi pada gesekan suku, agama, ras dan golongan (SARA) terkait polemik pembangunan tugu Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik di Lapangan Haji Adam Malik.
Ketua Institution Law and Justice (ILAJ) Fawer Full Fander Sihite kepada wartawan, menyebut, Hefriansyah kehilangan legitimasi sebagai Walikota Siantar, terlihat dari setiap kebijakan yang dilakukannya selalu menghasilkan konflik.
"Jika kondisi kota ini selalu dibiarkan terutama oleh para mahasiswa, maka dapat dipastikan kota ini menuju kota tinggal sejarah. Pada 10 atau 20 tahun yang akan datang, anak dan cucu kita hanya bisa mendapatkan cerita, bahwa dulu ada sebuah kota yang bernama Siantar," ujarnya, Rabu (12/12/2018).
Fawer Sihite |
Fawer malihat, selama Hefriansyah menjabat dalam dua tahun terakhir, justru memproduksi konflik-konflik akibat dari kebijakannya. Siantar sebagai “Kota Toleran” bahkan terancam, menyusul polemik pembangunan tugu Raja Siantar.
"Dengan melihat perjalanan pemerintahan yang dia pimpin, sepertinya beliau memang tidak berniat menjadi walikota. Karena setiap ada kebijakan besar yang akan ia keluarkan, beliau selalu berupaya untuk keluar kota," tandasnya.
Fawer kemudian menggugat, apakah warga Siantar masih ingin mempertahankan walikota yang seperti ini. Dia berpandangan, terutama mahasiswa sudah bisa memposisikan walikota ini sebagai musuh bersama.
"Diakarenakan jika mahasiswa sudah menetapkan Walikota Siantar sebagai musuh bersama, maka kita akan sama-sama mengevaluasi terkait kebijakan-kebijakan yang sudah ia keluarkan selama ini. Tetapi jika mahasiswa hanya diam dan tak mau tahu tentang kondisi kota ini, itu tandanya sudah gawat," tukasnya.
Dia kemudian mengajak kekuatan mahasiswa, sudah saatnya begerak, terlebih guna mengeliminir gerakan-gerakan yang mengusung isu berbau SARA. (red)