Oleh Jeirry Sumampow
GREENBERITA.com- Di tengah mulai redanya hiruk-pikuk politik pasca Pilpres 2024, publik tiba-tiba kembali dihebohkan oleh isu lama yang muncul lagi ke permukaan: dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Isu ini sebenarnya bukan hal baru, tapi entah kenapa sekarang kembali viral, menyebar di media sosial, ramai dibahas di YouTube, Podcast, TikTok, dll. Ada yang mencibir, ada yang membela, tapi satu hal pasti: semua orang bicara soal Jokowi lagi. Jokowi dapat panggung lagi.
Pertanyaannya: mengapa demikian? Dan mengapa viralnya begitu terencana? Apakah ini murni isu hukum atau justru bagian dari strategi politik? Apakah Jokowi sedang memainkan sesuatu di balik ini?
Mainkan Isu, Bangun Citra
Banyak yang mengira isu ini akan menjatuhkan nama Jokowi. Tapi jika kita lihat lebih dekat, justru sebaliknya. Jokowi kembali jadi pusat perhatian. Semua media meliput; semua politisi angkat bicara; para akademisi pun tak kalah suaranya; dan juga masyarakat umumnya. Bahkan, sebagian masyarakat melihat Jokowi sebagai korban fitnah atau serangan persekusi politik.
Inilah yang oleh banyak ahli komunikasi politik disebut sebagai strategi playing victim — menempatkan diri sebagai korban untuk mendapatkan simpati. Menurut Benjamin Moffitt, penulis buku The Global Rise of Populism (2016), pemimpin populis biasanya membangun citra diri lewat narasi bahwa mereka sedang diserang oleh elite, oleh lawan politik, atau oleh sistem.
Dengan kata lain, Jokowi justru diuntungkan. Di saat orang lain sudah mulai melupakan perannya, isu ini membuatnya kembali relevan. Ia terlihat seperti tokoh yang “selalu diganggu”, padahal sebenarnya sedang membangun panggung baru; tetap menjaga popularitasnya sebagai kekuatan politik agar tetap punya bargaining terhadap kekuasaan yang ada.
Gibran, Kaesang, dan Politik Keluarga
Pertanyaannya, kenapa Jokowi butuh panggung baru? Karena walaupun ia sudah tak menjabat Presiden, pengaruh politiknya belum selesai. Anaknya, Gibran Rakabuming, adalah Wakil Presiden. Dan satu anak lainnya, Kaesang Pangarep, memimpin PSI, partai yang sedang naik daun di kalangan pemilih muda. Lalu, menantunya Bobby Nasution, kini sedang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Agar Gibran, Kaesang dan Bobby tetap punya daya tarik politik dan posisi politik, nama Jokowi harus tetap ada di benak publik. Dan satu cara efektif adalah dengan membuat isu yang membuat Jokowi kembali dibicarakan, dijadikan meme, dibela, bahkan dihina. Sebab selama ia tetap eksis, itu sudah cukup untuk menopang posisi politik anak-anaknya dan menantunya. Asumsinya, jika Jokowi masih tetap ada dalam perbincangan politik publik, posisinya mereka akan tetap aman, sebab jika ada yang menggangu Jokowi masih bisa tampil membela.
Hal ini bukan tanpa dasar. Menurut Jeffrey Winters dalam buku Oligarchy (2011), politik dinasti di negara berkembang biasanya dipertahankan lewat kekuatan figur ayah atau kepala keluarga yang dominan, dan terus dikaitkan dengan anak-anaknya dalam dunia politik.
Relasi Rumit dengan Prabowo dan Megawati
Lalu bagaimana hubungan isu ini dengan Presiden terpilih Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri?
Jokowi kini tak lagi dianggap sebagai “anak ideologis” Megawati, apalagi setelah Gibran mencalonkan diri lewat jalur yang dianggap menjegal PDIP. Relasi Jokowi dan Megawati merenggang, bahkan buruk. Tapi menariknya, isu ijazah ini bisa menjadi alat tekan balik ke pihak-pihak yang mungkin ingin menghapus pengaruh Jokowi dari panggung politik ke depan.
Begitu juga dengan Prabowo. Meski mereka kini bersekutu, kelihatan mesra, Jokowi tentu ingin memastikan bahwa dia tetap punya posisi penting dalam pemerintahan baru ini. Dengan menjadi sosok yang terus jadi sorotan, Jokowi mengirim pesan bahwa ia masih punya massa, masih punya pengaruh, masih punya kekuatan politik, dan masih dibela oleh publik.
Menurut Ahmad Khoirul Umam, dosen politik Universitas Paramadina, Indonesia sedang mengalami transisi menuju sistem politik yang semakin dikendalikan oleh elite keluarga dan jaringan kekuasaan yang makin personal (The Jakarta Post, 2023). Dalam konteks ini, Jokowi sedang membangun kekuatan dari balik layar.
Politik Ijazah dan Politik Simbolik
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan soal ijazah palsu itu, yang terjadi saat ini adalah permainan narasi dan persepsi. Isu ini bukan lagi soal keabsahan dokumen, tapi bagaimana membentuk opini publik. Ini seperti yang disebut oleh Jean Baudrillard (1981), filsuf asal Prancis: kita hidup dalam dunia yang lebih percaya pada gambaran dan simbol daripada realitas sebenarnya. Realita soal ijazah palsu menjadi kabur, yang penting adalah kesan dan cerita yang dibangun.
Jokowi sukses menjadikan dirinya bukan hanya mantan Presiden, tapi juga tokoh sentral dalam drama politik pasca-kekuasaannya.
Apa Dampaknya untuk Demokrasi?
Yang perlu kita khawatirkan bukan hanya soal politik keluarga atau relasi elite, tapi juga dampaknya bagi demokrasi. Ketika ruang publik disibukkan oleh debat ijazah palsu yang tak kunjung selesai, maka perhatian terhadap isu-isu yang lebih penting ikut terabaikan dan teralihkan: seperti kemiskinan, korupsi, pendidikan, lingkungan, dll.
Prof. Azyumardi Azra (2006) pernah menulis bahwa demokrasi bisa rusak bukan hanya karena pemilu yang curang, tapi juga karena masyarakat dibius oleh hal-hal remeh dan kehilangan fokus pada nilai-nilai utama: keadilan, akuntabilitas, dan kebenaran. Maka, jika politik kita terus dikuasai oleh drama, sensasi, dan simbol kosong seperti “politik ijazah”, maka kita sedang bergerak ke arah demokrasi yang kehilangan substansi dan makna.
Siapa Untung? Siapa Rugi?
Dalam semua hiruk-pikuk ini, siapa sebenarnya yang untung? Mari kita petakan. Jokowi tetap jadi sorotan dan pusat perhatian. Gibran, Kaesang dan Bobby ikut dapat efek sorotan tersebut. Prabowo nampaknya tetap tak bisa lepas sepenuhnya dari bayang-bayang Jokowi. Dan Megawati mungkin akan makin terdesak secara moral dan historis.
Dan siapa yang rugi? Demokrasi kita. Masyarakat kita. Generasi muda yang kehilangan arah karena terlalu banyak disuguhi “drama korea” ketimbang pendidikan politik yang sehat dan bermartabat.
“Politik ijazah” mungkin hanya satu babak dari kisah panjang bagaimana kekuasaan terus bertahan, meski kursi telah berganti.
(Jeirry Sumampow saat ini aktif sebagai pengamat demokrasi di Jakarta)