![]() |
Oleh Michael Adhyaksa Padang, SH |
GREENBERITA.com- Perkembangan teknologi digital telah membuka peluang baru dalam berbagai sektor, termasuk sektor keuangan. Salah satu inovasi besar adalah hadirnya cryptocurrency, seperti Bitcoin, Ethereum, dan lainnya. Mata uang kripto telah merevolusi lanskap keuangan, menawarkan peluang baru untuk inovasi dan investasi.
Namun, di balik potensi positifnya, cryptocurrency juga menimbulkan kekhawatiran, terutama dalam konteks pencucian uang (money laundering). Anonimitas dan kurangnya regulasi yang ketat menjadikan cryptocurrency sebagai sarana potensial untuk menyamarkan hasil tindak pidana.
Money laundering atau pencucian uang adalah proses menyamarkan asal usul uang hasil tindak pidana agar tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Proses ini biasanya dilakukan melalui tiga tahap: placement, mixing, layering, dan integration.
Cryptocurrency adalah aset digital yang menggunakan teknologi kriptografi dan blockchain untuk menjamin keamanan dan transparansi transaksi. Cryptocurrency memiliki karakteristik utama sebagai berikut :
Anonimitas artinya Tidak mencantumkan nama pemilik secara langsung;
Desentralisasi artinya Tidak diatur oleh satu entitas pusat;
Transaksi lintas negara artinya Dapat dikirim ke mana saja dalam hitungan menit; dan
Minim regulasi artinya Beberapa negara belum memiliki kerangka hukum yang memadai.
Karakteristik ini menjadikan cryptocurrency sebagai alat yang ideal — bagi pelaku kejahatan — untuk melakukan pencucian uang, termasuk hasil dari narkoba, korupsi, perdagangan ilegal, dan tindak pidana lainnya.
Modus Pencucian Uang dengan Cryptocurrency
Converting cash to crypto (placement): Pelaku membeli crypto secara tunai di pasar gelap atau melalui OTC (over-the-counter).
Mixing services dan tumblers (layering): Menggunakan layanan pencampur agar transaksi tidak bisa ditelusuri.
Crypto-to-crypto transactions: Mengonversi antara berbagai jenis crypto untuk menyulitkan pelacakan.
Pencairan melalui exchange luar negeri (integration): Menjual kembali crypto di negara dengan regulasi lemah untuk dijadikan uang fiat.
Penyelidikan kasus pencucian uang dengan cryptocurrency dapat menjadi kompleks karena sifat teknologi blockchain yang rumit dan sulitnya mengidentifikasi pelaku kejahatan. Penegak hukum harus mengembangkan strategi dan alat khusus untuk mendeteksi dan menghentikan penggunaan cryptocurrency dalam kegiatan kriminal.
Meningkatnya kejahatan kripto semakin memperburuk masalah pencucian uang. Para pencuci uang kripto semakin banyak menggunakan mata uang kripto untuk mencuci dana yang diperoleh dari berbagai kegiatan kriminal, termasuk kejahatan dunia maya, penipuan digital, dan pencurian dari bursa daring. Melacak sumber dana gelap ini menjadi tugas berat bagi lembaga penegak hukum, karena mereka sering kali harus bergantung pada metode investigasi keuangan tradisional yang mungkin tidak sesuai dengan karakteristik unik mata uang kripto.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan proses pencucian uang sebagai proses tiga langkah: penempatan, pelapisan, dan integrasi. Dalam konteks mata uang kripto, proses ini bahkan bisa lebih rumit dan menantang untuk ditangani. Para penjahat memanfaatkan alat pencampur mata uang kripto dan layanan pencampuran untuk mengaburkan asal-usul keuntungan yang diperoleh secara tidak sah, sehingga semakin mempersulit para penyidik untuk melacak jejak uang dan membawa para penjahat ke pengadilan.
Berdasarkan Informasi dan Data yang diperoleh oleh Penulis, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan pencucian uang melalui cryptocurrency. Hal ini dibuktikan dengan salahsatu contoh kasus yang sempat viral yakni Mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan fakta bahwa nilai pencucian uang yang dilakukan Rafael mencapai puluhan miliar dan beberapa diantaranya ditransaksikan untuk membeli aset kripto atau crypto currency, berupa bitcoin.
Untuk menghadapi tantangan pencucian uang melalui cryptocurrency, Penulis memberikan saran agar Pemerintah melalui Lembaga Otoritas keuangan segera merilis aturan regulasi khusus untuk penanganan tindak pidana pencucian uang melalui sarana cryptocurrency. Penulis juga menyarankan agar Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan negara lain untuk berbagi informasi dan pengalaman dalam memerangi pencucian uang melalui cryptocurrency.
Melakukan kerja sama dengan Bursa kripto untuk agar lembaga penegak hukum bekerja sama dalam investigasi dan penuntutan kasus pencucian uang.
Penulis juga mendorong agar Pemerintah segera menggunakan teknologi blockchain analytics tools seperti Chainalysis dan Elliptic untuk melacak aliran dana crypto. Dan yang paling utama adalah memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menolak segala kegiatan money laundering dapat bijak dalam menggunakan cryptocurrency.***
( Penulis saat ini bekerja di Kejaksaan Agung RI dan sedang mengikuti program S2 sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU)