Notification

×

Iklan

Iklan

Tegas Tolak dan Tutup TPL, Efendy Naibaho juga Minta Polisi Tindak Tegas Dugaan Pembalakan Liar di Samosir

31 Mei 2025 | 18:17 WIB Last Updated 2025-05-31T12:05:39Z
Oleh Aktivitas Jurnalis Lingkungan Efendy Naibaho (tengah)


GREENBERITA.com - Sudah lama sekali, bahkan sejak TPL yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) berdiri dengan membangun pabriknya di Porsea, Toba, Sumatera Utara, suara yang meminta perusahaan itu tutup dan hengkang dari Tapanuli, dari Tanah Batak, terus nyaring terdengar.


Berbagai elemen sudah menyatakan penolakan termasuk Aliansi Rakyat Peduli Danau Toba melalui Koordinatornya Efendy Naibaho.


Suara penolakan dan tutup TPL disuarakan oleh Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan, pimpinan tertinggi di gereja dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara. Dirinya lantang menyuarakan dan mengajak jemaatnya berdoa untuk lingkungan dan dengan cepat mengarah ke titik masalah: Tutup TPL (Toba Pulp Lestari).


Dengan surat terbuka yang disebarluaskan melalui akun facebook-nya, berjudul TUTUP TPL, Ephorus HKBP Victor Tinambunan meminta beberapa hal kepada PT TPL yaitu:


1. Saya secara pribadi dan mayoritas masyarakat di Tano Batak, tidak mengenal secara langsung siapa sesungguhnya pemilik maupun pimpinan utama PT TPL. Ini merupakan suatu ironi yang mencolok, sebuah perusahaan berskala besar yang telah beroperasi selama puluhan tahun di atas tanah leluhur orang Batak tetapi relasi sosial dan komunikasi dasarnya dengan masyarakat sekitar tetap asing dan tidak terbangun. Dalam konteks etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta norma adat yang kami hidupi, absennya relasi ini merupakan sebuah bentuk pengabaian etika hidup bersama di masyarakat. 

2. Fakta yang paling menyakitkan adalah bahwa keberadaan PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis: mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis (banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim),  jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya sebagian lahan pertanian produktif, rusaknya relasi sosial antarwarga, hingga akumulasi kemarahan yang tidak mendapat saluran demokratis karena ketakutan. Ini bukan sekadar dampak insidental, tetapi sebuah jejak panjang dari konflik  yang tidak kunjung diselesaikan secara bermartabat.

3. Berdasarkan pemberitaan media dan berbagai laporan publik, kami mengetahui bahwa PT TPL telah memperoleh keuntungan finansial yang sangat besar, bernilai triliunan rupiah dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Tano Batak. Ironisnya, akumulasi kapital tersebut tidak tampak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendapatan masyarakat lokal secara umum. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mendapat keuntungan. Ketimpangan ini menjadi cermin ketidakadilan distribusi manfaat ekonomi.

4. Melihat ironi kehidupan yang terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir ini, dengan segala hormat dan tanggung jawab moral, saya menyerukan kepada Bapak/Ibu Pemilik dan Pimpinan PT TPL: tutup operasional perusahaan TPL sesegera mungkin. Penutupan ini bukanlah sekadar desakan emosional, melainkan langkah preventif untuk menghindari krisis yang lebih parah di masa depan, bagi masyarakat di Tano Batak, bagi Sumatera Utara, dan bahkan bagi keberlanjutan ekologis di tingkat global bahkan generasi yang belum lahir.

5. Saya juga meminta agar seluruh karyawan dan karyawati yang terdampak penutupan perusahaan ini, diberikan hak-hak normatif secara utuh, termasuk kompensasi atau pesangon yang layak dan proporsional, bahkan bila memungkinkan dalam bentuk dana modal usaha. Langkah ini bukan hanya mencerminkan tanggung jawab hukum, tetapi juga merupakan wujud dari etika korporasi yang bermartabat. 

6. Apa yang saya sampaikan ini sama dengan kerinduan sejak lama banyak pihak seperti Pimpinan-pimpian gereja di Sumatera Utara, Persekutuan Gereja Indonesia, tokoh masyarkat Batak yang tinggal di Tano Batak dan di luar Tano Batak, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat Tano Batak.

7. Dari ketulusan hati saya berdoa agar Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa memberkati Bapak/Ibu pemilik perusahaan, memberi yang terbaik ke depan serta membuka jalan bagi hadirnya model bisnis baru yang lebih berkelanjutan, terlebih menghadirkan keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian alam.


Seruan Ephorus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) ini bergulir terus hingga pimpinan – pimpinan gereja lainnya seperti Katolik, sudah melakukan berbagai pertemuan dan perjalanan dengan menemui banyak pihak. 


Rangkaian doa bersama pun digelar di berbagai tempat: Toba, Samosir dan unjuk rasa di Tapanuli Utara.


Kerusakan alam disinyalir akan semakin parah jika penebangan hutan dan banjir bandang mengancam setelah banjir bandang terjadi di kawasan Samosir, persisnya di Kenegerian Sihotang dan pernah juga terjadi banjir serupa di Parapat.


Dan saat ini penebangan pohon diduga terjadi di Kawasan Hutan Lindung Samosir, tepatnya di wilayah Kelompok Tani Hutan (KTH) Dosroha, Desa Simbolon Purba, Kecamatan Palipi.


Berdasarkan pantauan udara melalui drone, terlihat pembalakan hutan marak terjadi wilayah KTH Dosroha tersebut.


Menanggapinya, Efendy Naibaho secara tegas minta KPH Xlll jelas memberikan jawaban, apa yang terjadi di sana.


"Jangan main-main dengan hutan, dengan pohon karena akibatnya bukan hanya merusak lingkungan tapi juga bisa membahayakan jiwa manusia dengan berbagai peristiwa., Polres Samosir juga diharapkan menahan kendaraan pengangkut kayu-kayu ini bila berlebih muatan atau masih tetap berlangsung," tegas Efendy Naibaho.


Berdasarkan keprihatinan tersebut, Aliansi Rakyat Peduli Danau Toba bersama Pimpinan – pimpinan Gereja, LSM, Tokoh dan berbagai lapisan rakyat lainnya meminta kepada Ketua dan Pimpinan DPRD Samosir dan Bupati Samosir untuk menyatukan langkah bersama elemen lainnya merekomendasikan penutupan TPL ini sesegera mungkin. Dan, lebih cepat lebih baik setidaknya seperti sudah dilakukan DPRD Tapanuli Utara, DPRD Samosir kami minta segera membentuk Pansus Tutup TPL.


"Kami akan menemui Ketua l Pimpinan DPRD Samosir dan Buapti Samosir dengan jumlah massa tidak terhingga dan waktunya akan ditentukan kemudian," pungkas Efendy Naibaho.*** 

(Penulis adalah jurnalis yang concern terhadap lingkungan di Kawasan Danau Toba)