Notification

×

Iklan

Iklan

Pancasila: Historis, Dinamis dan Dialektis

1 Jun 2022 | 12:13 WIB Last Updated 2022-06-01T05:49:51Z


Oleh: DR Suandi Silalahi 


GREENBERITA. com Ketika itu, 1 Juni 1945, Soekarno mendapat giliran waktu yang tepat untuk berpidato. 

Pidato itu, hari ini dan sekarang kita kenal dan terkenal sebagai "Pidato Lahirnya Pancasila." 


Ketika mulai berpidato, Soekarno meminta perhatian hadirin terhadap konsep kemerdekan yang sudah pernah beliau tulis jauh sebelumnya. 


Apa konsep kemerdekaan yang sudah pernah ditulis Soekarno? 

"Mencapai Indonesia Merdeka." 


Buku ini ditulis Soekarno pada tahun 1933. Dalam buku "Mencapai Indonesia Merdeka," itu, Soekarno sudah menuliskan dan menyuarakan dengan lantang bahwa kemerdekaan, kemerdekaan politik tak lain daripada jembatan, suatu jembatan emas yang di seberangnya kita akan membangun masyarakat kita sendiri.


Beranjak dari karya intelektualnya tahun 1933 ini, maka Soekarno mengutarakan rangkaian-rangkaian yang hendak sebagai dasar filosofi Indonesia merdeka;


1. Nasionalisme (sebagai sila pertama, nasionalisme Indondsia atau kebangsaan Indonesia, sekali lagi bukanlah nasionalisme yang sempit, tetapi dalam artian semua yang tinggal mempunyai hak terhadap Indonesia sebagai tanah airnya, orang Jawa, orang Sumatra, orang Sunda, dan etnik lainnya sebagai rakyat Indonesia).


2. Internasionalisme atau perikemanusiaan (persaudaraan dunia, sebagai negara yang sudah ada nasionalisme yang sudah merdeka, maka hendaklah menuju kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia)

Internasionalisme sebagai sila kedua, Soekarno mengutip ajaran Gandhi, yang menekankan bahwa kebangsaan atau nasionalisme dalam kenyataannya tidaklah terpisahkan dengan internasionalisme maupun kemanusiaan (humanitarianisme). 


Bahwa internasionalisme tidak dapat tumbuh subur, kalau tidak berakar pada buminya nasionalisme. Sebaliknya juga nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. 

Nasionalisme dan internasionalisme bergandengan erat satu sama lain.


3. Mufakat yang didasari oleh permusyawaratan dan perwakilan (Soekarno menunjukkan keyakinannya akan tradisi Indonesia yang mampu bersetuju dan bermufakat. Ini juga sekaligus menantang respons dan reaksi para anggota yang berkeinginan menghendaki suatu negara Islam). Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan dan kita duduki oleh utusan-utusan Islam.


4. Kesejahteraan sosial (sebagai sila keempat, Soekarno sering mengutip seorang pemikir Prancis, Jean Jaure's, "dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang mempunyai hak politik yang sama. Tiap-tiap orang berhak sama masuk dalam parlemen. Tetapi adakah kesejahteran dikalangan rakyat? Juga Soekarno merujuk pada pemikiran gurunya Tjokroaminoto, bahwa ratu adil itu adalah suatu fenomena sosial, yakni keadilan sosial. Marilah kita terima prinsip keadilan sosial, yaitu bukan saja persamaan politik tapi juga persamaan lapangan ekonomi.


5. Ketuhanan (sebagai sila kelima yang merupakan bagian integral dengan keempat prinsip yang lain. Prinsip ketuhanan bukan saja bangsa Indonesia bertuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Yang Kristen menyembah Tuhan seturut petunjuk Yesus, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, orang Budha dan Hindu menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya).


Maka dalam pidatonya 1 Juni 1945 yang sangat panjang dalam semangat menuju Indonesia Merdeka, Soekarno menyimpulkan dengan meminta perhatian hadirin akan "Prinsip Gotong Royong" sebagai inti sari dari lima sila yang dipidatokannya sebgai berikut;


"Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Gotong royong adalah faham yang dinamis lebih dinamis daripada kekeluargaan. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bahu- membahu bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Itulah gotong royong."


Dalam konteks saat ini kita sering mendengar slogan "saya Indonesia, saya Pancasila. Demikian ungkapan yang sering dilontarkan dan dibunyikan oleh banyak individu akhir-akhir ini.


Apakah ini akan berhenti hanya  pada kadar yang sekadar bunyi ungkapan saja tanpa makna lewat nalar "Apa dan Bagaimana Pancasila yang dipapar oleh Soekarno pada 1 Juni 1945? Saya  sulit mengerti dan lebih sukar lagi untuk bisa memahaminya.


Tapi, terkadang bahkan bisa agak sering bertanya pada diri sendiri sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, apakah Pancasila penting  dan mendesak untuk dinalar kembali seturut perkembangan zaman kekinian dan keakanan? 


Menurut hemat saya tentulah perlu supaya Pancasila mampu menjadi roh kebangsaan. Bukan hanya ada dan berada dalam kadar dan sekadar ungkapan yang sering dibunyikan.  Yang bahkan hanya bisa menjadi dogmatis yang memaksa tanpa makna. Bukankah berdasarkan paparan bunyi pidato Soekarno bahwa Pancasila adalah terbuka didiskusikan seturut zamannya?


Seyogianya,  kita boleh dengan kesadaran diri yang berpikir untuk mau dan mampu belajar dari sejarah. Bahwa sejarah mencatat, tiada satupun bangsa di dunia ini bisa bangkit dan berkembang tanpa roh kebangsaan atau tanpa dasar filosofi yang dinamis dan dialektis.


Misalnya, Sun Yat Sen, mencetuskan San Min Chu I, sebagai rohnya rakyat Tiongkok. Juga Kaisar Jepang sebelum PD ke-2 kembali dengan kencang mengembuskan roh Tennou Koudou Seishin. 


Dan Revolusi Prancis mencanangkan Liberte, egalite, fraternite. Semua ini tentu untuk napas para generasi bangsa, generasi XYZ untuk menggerakkan pembangunan kemajuan bangsanya.


Demikian, Soekarno dan para pendiri Republik Indonesia bermusyawarah dalam hikmat dan penuh bijaksana, berdebat dalam suara ide gagasan dan semangat dialektika hingga  bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar yang kokoh untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.


Dan Pancasila bukanlah seperti agama yang dijadikan sakral bahkan menjadi dokrtin yang dogmatis. Pancasila itu harus tanpa henti dinalar seturut dan selaras kebutuhan masyarakat pada zamannya, Pancasila yang kontekstual dan terus relevan.


Mungkin adalah tidak baik mendewakan Pancasila di atas individual will, tetapi menjadikan Pancasila untuk menjunjung individual identity dalam bingkai keberagaman bukan dalam keseragaman.

Sebagai hal yang penting kita pertanyakan dan lebih penting lagi kita diskusikan saat ini adalah,

Apa dan bagaimana Pancasila menjadi eksistensialimenya warga negara dan pemimpin negara untuk membangun keindonesiaan kita. Keindonesiaan yang majemuk?


(Penulis adalah seorang pengajar di Jakarta dan perantau asal Samosir)