Notification

×

Iklan

Iklan

Soal Oknum Polisi Arogan, KontraS: Perlu Reformasi di Kepolisian

19 Okt 2021 | 21:07 WIB Last Updated 2021-10-19T14:07:29Z

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, Amin Multazam Lubis. 

MEDAN, GREENBERITA.com
|| Kasus kekerasan hingga kekuatan berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian kepada masyarakat, akhir-akhir ini jadi sorotan publik. 


Seperti kasus oknum polantas di daerah Kabupaten Deliserdang memukul  pengendara yang diduga melanggar lalulintas. Kemudian oknum polisi yang membanting demonstran saat berunjuk rasa ketika sidang Paripurna HUT ke-389 Kabupaten Tangerang pada Rabu 13 Oktober 2021. 


Perlakuan kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebih (Excessive Force) seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab, tindakan oknum-oknum ini justru merusak jargon Polri yaitu pengayom masyarakat. Meskipun tak sedikit juga yang masih bekerja sesuai kewenangan. 


Menyikapi situasi ini, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, Amin Multazam lubis berpendapat bahwa hal ini tidak boleh dianggap masalah sepele. Harus disikapi dengan serius. Sebab, ini menunjukkan ada yang tidak beres pada reformasi kepolisian Republik Indonesia. 


"Besarnya ruang yang diberikan kepada kepolisian dalam menjaga masyarakat sipil sejak era reformasi sesungguhnya menunjukan tingginya harapan publik pada institusi ini. Mengingat sebelum reformasi, masyarakat sipil hidup dalam bayang-bayang aparat keamanan yang sangat militeristik,” kata Amin, Selasa 19 Oktober 2021 di kantornya Jalan Brigjen Katamso, Medan Maimon.


Menurut Amin, sebagai institusi penegak hukum kepolisian harusnya mampu memberikan kinerja yang memuaskan. Apalagi, pasca reformasi masyarakat memberi kepercayaan penuh kepada polisi untuk menjaga ruang-ruang sipil.


Namun, kepercayaan itu malah dibalas dengan maraknya laporan yang masuk kepada organisasi masyarakat sipil. Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh para oknum di tubuh Polri. Mulai dari kasus penyiksaan sampai dengan kekuatan berlebihan. Bahkan, Polri juga masuk sebagai institusi yang diduga paling banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).


“Artinya ruang besar yang diberi pada kepolisian justru membuat institusi ini jadi paling disorot dan kerap mendapat predikat negatif. Untuk itu, dorongan menuntaskan reformasi di kepolisian mutlak diperlukan. Tak hanya secara struktural tapi secara kultural," ucap mantan Ketua Komisariat HMI Fisip USU itu. 


Selama ini, lanjut Amin, KontraS banyak mengadvokasi dan memonitoring kasus-kasus yang melibatkan oknum-oknum di kepolisian. Bagi organisasi bentukan Almarhum Munir Said Thalib itu, pelanggaran yang berulang kali terjadi disebabkan karena tidak maksimalnya penegakan hukum bagi oknum yang melakukan kesalahan. 


"Khususnya terhadap oknum aparat yang melakukan praktek kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan dalam melakukan penegakan hukum. Mulai dari lambatnya proses hukum, hingga upaya mendamaikan kasus-kasus kekerasan membuat tak ada efek jera bagi pelaku,” ujar Amin.


Oleh sebab itu, KontraS mendorong Polri supaya mampu melakukan penegakan hukum yang tegas. Sehingga potensi pelanggaran bisa lebih diminimalisir.


“Setidaknya, petugas di lapangan bisa lebih berhati-hati dalam penggunaan kekuatan berlebihan dan tidak sesuai prosedur. Apalagi, kepolisian memiliki aturan internal sebagai indikator pelaksanaan kerja yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM. Penegakan hukum terhadap pelaku juga harus dilakukan secara transparan dan berkeadilan. Bukan sekedar formalitas yang menghiasi wacana publik. Itu baru namanya konsep polisi yang Presisi,” ucap Amin tegas. 


Menurut catatan KontraS Sumut, ada peningkatan dugaan pelanggaran yang dilakukan oknum aparat, kasusnya didominasi Polri. Pada 2019, setidaknya ada 103 kasus, mulai dari kasus dugaan kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan. 


Di 2020, KontraS mencatat sebanyak 192 kasus. Kasus ini mengakibatkan 226 orang terluka dan 56 meninggal dunia. Sebagian besar dilakukan oleh kepolisan dalam konteks upaya penegakan hukum. Sebanyak 44 kasus merupakan praktek tembak mati dengan dalih tindakan tegas dan terukur.



*Kapolri minta kapolda sanksi oknum polisi arogan


Baru-baru ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan kepada seluruh Kapolda untuk memberi sanksi tegas terhadap oknum polisi yang arogan kepada masyarakat. Instruksi itu tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8./2021 yang ditandatangani oleh Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.


“Melakukan penegakan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan berlebihan terhadap masyarakat,” tulis Listyo dalam Surat Telegram, Selasa 19 Oktober 2021.


Para Kabid Humas jajaran Polda juga diperintahkan memberikan informasi transparan tentang penanganan kasus kekerasan berlebihan yang terjadi. Semua Kapolda juga diminta memberi petunjuk dan arahan kepada anggota pada fungsi operasional, khususnya yang berhadapan dengan masyarakat.


Tujuannya supaya anggota yang sedang melaksanakan pengamanan harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi HAM. 


Selain itu, Kapolda juga diperintahkan memberi penekanan dalam pelaksanaan kegiatan pengamanan dan tindakan kepolisian yang memiliki kerawanan sangat tinggi harus didahului dengan APP. Serta memastikan seluruh anggota yang terlibat dalam kegiatan memahami dan menguasai tindakan secara teknis, taktis dan strategi. 


Kemudian, mengoptimalkan pencegahan dan pembinaan kepada anggota Polri agar dalam pelaksanaan tugasnya tidak melakukan tindakan arogan, sikap tidak simpatik, berkata-kata kasar, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan kekerasan yang berlebihan.


Kapolri juga memerintahkan agar fungsi operasional khususnya yang berhadapan langsung dengan masyarakat untuk meningkatkan peran dan kemampuan para first line supervisor, saat melakukan kegiatan pengawasan melekat dan pengendalian kegiatan secara langsung di lapangan. 


Kapolda diimbau memerintahkan para Direktur, Kapolres, Kasat dan Kapolsek untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam setiap penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian agar sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku.


“Memberikan punishment atau sanksi tegas kepada anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik, maupun pidana khusus yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan dan terhadap atasan yang tidak melakukan pengawasan serta pengendalian sesuai tanggung jawabnya,” kata Listyo. 


(Gb- Fadly15)