Notification

×

Iklan

Iklan

HUT 160 Tahun HKBP: Dukungan Untuk Indonesia Dalam Tantangan Kedepan

7 Okt 2021 | 15:26 WIB Last Updated 2021-10-07T08:26:34Z


Oleh Pdt Dr Robinson Butarbutar

Tepat hari ini, 7 Oktober 2021, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah genap berusia 160 Tahun. 


Berdirinya Gereja ini berawal dari aktivitas misionaris yang datang dari sejumlah negara Barat, seperti Inggris, Amerika, Belanda, dan Jerman untuk memberitakan Injil Keselamatan bagi masyarakat Batak yang tadinya menganut kepercayaan warisan leluhur.


Kini, bersamaan dengan pertambahan dan migrasi penduduk, HKBP sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dan sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat, dengan jumlah anggota lebih dari lima juta jiwa, yang terdiri dari 32 distrik dan 3.658 gereja.


Di balik perjalanan sejarah yang panjang itu, seorang penginjil dari Rheinische Missiongesellscaft (RMG) Jerman, Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918), telah memberi pengaruh besar bagi perkembangan Kekristenan dan kemajuan di Tanah Batak, yang secara resmi membuka pelayanan Batakmission pada 7 Oktober 1861.


Nommensen dan para misionaris merintis sekolah-sekolah, rumah sakit, gereja, dan pasar, yang didorong oleh tanggung jawab iman Kristen untuk menjawab persoalan aktual kehidupan pada masa itu, di wilayah yang kini menjadi bagian Sumatera Utara.


Model pelayanan gereja Batak yang khas ketika itu adalah “pargodungan”. Pargodungan atau di kompleks gereja terdapat empat unsur: gedung gereja, sekolah (pendidikan), poliklinik (kesehatan), areal pertanian dan peternakan sebagai percontohan dalam pengembangan masyarakat. 


Pargodungan menjadi model perkabaran Injil di Tanah Batak, yang menyebar ke seluruh gereja HKBP dan membawa pembaruan dalam kehidupan sosial. Pada 1864, Pargodungan perdana berdiri di Huta Dame, Silindung, yang diprakarsai Nommensen. 


Sekolah-sekolah yang didirikan misionaris tak hanya memberi kesempatan belajar pada kaum lelaki, tapi juga kaum perempuan yang kemudian menjadi tenaga-tenaga terampil di poliklinik, rumah sakit, dan sekolah. Hal ini sekaligus menandai berlangsungnya transformasi budaya, tatkala perempuan tak lagi hanya bekerja di ranah domestik. 


Kesadaran baru untuk mengenyam pendidikan bagi kaum perempuan pun meningkat. 


Pada 1913, sekolah pertenunan putri diselenggarakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Pada 1934, sekolah khusus penginjil perempuan didirikan dan menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Bibelvrouw di Laguboti. Sejak 1920-an, sejumlah perempuan kelas menengah-atas Batak melanjutkan sekolah ke Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Para perempuan terdidik inilah kelak menjadi pelaku penting dalam sejarah kebangkitan gerakan sosial-politik perempuan di Tanah Batak. 


Setelah Indonesia merdeka, pusat-pusat pendidikan, rumah sakit dan pasar menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sejumlah di antaranya masih dikelola HKBP. Dengan kata lain, HKBP telah menjadi perintis pelayanan publik yang selayaknya dilakukan pemerintah dan berkontribusi bagi bertumbuhnya gerakan-gerakan sosial, khususnya di Sumatera Utara. 


Kekristenan dan Nasionalisme

Kekristenan yang awalnya melekat dalam semangat Barat kemudian bertransformasi ke dalam rasa nasionalisme yang kian bertumbuh di Tanah Air. 


Sejumlah warga gereja di Tanah Batak dan wilayah-wilayah Nusantara menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam dan nasionalis di Jawa. Mereka berperan aktif dalam mengobarkan semangat kemerdekaan dan anti-kolonialisme. 


Di Tanah Batak, gerakan nasionalisme menguat dengan lahirnya perkumpulan Hatopan Kristen Batak (HKB) pada 1917, yang diprakarsai Tuan Manullang dan sejumlah warga gereja lainnya. Perkumpulan ini tumbuh di tengah situasi di mana orang-orang Batak kehilangan figur pemimpin, setelah Sisingamangaraja XII gugur pada 17 Juni 1907.


HKB aktif memobilisasi gerakan dan berhasil mengempang ekspansi perkebunan swasta kolonial ke Tanah Batak. Di gereja, HKB juga aktif mengritik para misionaris yang dinilai paternalis. 


HKB menjadi contoh bagaimana kekristenan dapat berlangsung bersamaan dengan kecintaan terhadap Tanah Air. 


Bersama pemuda-pemudi dari seluruh pelosok Nusantara, orang-orang Batak-Kristen juga turut berperan aktif dalam kongres yang menghasilkan Sumpah Pemuda 1928, yang diwakili antara lain Amir Syarifuddin Harahap dan FKN Harahap. 


IJ Kasimo, Soetan Goenoeng Moelia, G.S.S.J. Ratu Langie, Amir Syarifuddin, Albertus Soegijapranata, Johanes Leimena dan lainnya adalah warga gereja yang telah memberikan kontribusi amat besar dan tak terlupakan bagi perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaannya. 


Dalam perjalanan sejarah menuju Indonesia merdeka, para pejuang kita memang tak pernah mempersoalkan latar belakang suku dan agama. Semangat inilah kiranya yang melatar-belakangi “kesepakatan agung” yang diambil para pendiri bangsa dalam mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara, yang kita warisi hingga hari ini.  


Pun dalam mengisi kemerdekaan, gereja-gereja di Tanah Air secara langsung maupun tidak langsung telah mengirimkan putra-putri terbaiknya untuk mengisi berbagai posisi strategis demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kemajuan negeri kita. 


Secara khusus, HKBP turut berperan aktif dalam membangun hubungan antaragama di Indonesia, gerakan ekumenis di tingkat lokal, regional, dan global, pengentasan kemiskinan, perjuangan hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan sikap politik: positif, kreatif, kritis, dan realistis.


HKBP dan gereja-gereja di Indonesia, bersama komponen bangsa lainnya, turut mendukung gerakan reformasi dan mengawal transisi demokrasi yang masih berlangsung hingga kini. Komitmen HKBP terhadap Indonesia tak akan pernah lapuk dimakan usia.


Tantangan ke Depan

Selain melakukan refleksi internal agar HKBP semakin berperan dan berbuah bagi umatnya dan masyarakat luas dalam pelayanan yang holistik dan transformatif, pada kesempatan ini izinkanlah HKBP juga menyampaikan refleksinya terhadap kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. 


HKBP sangat menyadari tantangan negeri kita yang kian berat dan kompleks, didera sejumlah masalah dari warisan masa lalu dan tantangan terkini. Masalah dan tantangan ini harus kita hadapi bersama dan HKBP senantiasa berkomitmen untuk terlibat aktif di dalamnya.


Dari sejumlah isu penting dalam catatan HKBP, ketimpangan sosial ekonomi merupakan masalah bangsa paling penting dan krusial diatasi, agar pembangunan dan kemajuan bangsa kita ke depan dapat dicapai di dalam semangat persatuan dan kesatuan. Ketimpangan ini terlihat, misalnya, dalam ketimpangan antarsektor, antarwilayah, dan antargolongan masyarakat. 


Sektor pertanian yang menjadi sumber kehidupan utama penduduk pedesaan, yang didiami hampir separuh penduduk negeri kita, kian tertinggal dan terseok-seok. Padahal, sektor ini bersama UMKM menjadi penyangga perekonomian bangsa dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi yang pernah terjadi. 


Ketimpangan wilayah ditunjukkan oleh kenyataan bahwa Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar perekonomian nasional sekitar 59 persen; diikuti Sumatera 21 persen; Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara di bawah 10 persen; serta Maluku dan Papua hanya sekitar dua persen. Pada kurun 2015-2019, 73 dari 122 kabupaten daerah tertinggal berada di Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 


Wilayah-wilayah tertinggal ini menghadapi masalah akut seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia, tingginya angka kemiskinan, terbatasnya infrastruktur dan aksesibilitas wilayah, serta banyaknya desa berstatus tertinggal dan sangat tertinggal (Sonny HB Harmadani, Kompas, 11/02/2020). 


Data dari sejumlah lembaga terpercaya menunjukkan kekayaan satu persen penduduk mencapai sekitar 50 persen kekayaan Indonesia. Secara khusus, Bank Dunia mencatat ketimpangan ekonomi Indonesia yang kian dalam, di mana pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati 20 persen penduduk terkaya. 


Di tengah situasi ini, kita melihat masih bercokolnya mental korupsi di berbagai lini pemerintahan. 


Reformasi di lembaga-lembaga penegak hukum seperti peradilan, kepolisian, dan kejaksaan perlu diperhatikan agar mereka mampu menjadi “sapu yang bersih” dalam agenda pemberantasan korupsi. Penguatan institusi KPK merupakan keniscayaan karena lembaga ini telah terbukti ampuh mendorong pemerintahan yang bersih dan berwibawa.


Selanjutnya, pembangunan daya saing nasional menghadapi tantangan globalisasi mesti diletakkan dalam kerangka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan penguasaan teknologi. Kita mesti belajar dari kesuksesan negara-negara maju seperti Eropa Barat, Jepang, Cina, maupun Korea Selatan yang meletakkan fondasi pembangunan negerinya di bidang kesehatan dan pendidikan. 


Hal ini perlu diikuti oleh perencanaan strategis pembangunan berbasis demografi agar kita mampu mengangkat derajat 58 persen penduduk bekerja Indonesia yang hanya lulusan SD-SMP, sekaligus mengoptimalisasi bonus demografi 2045 menghadapi gelombang industri 4.0 dan 5.0. 


Pemerintah perlu memikirkan strategi baru program Keluarga Berencana yang sukses pada masa Orde Baru. 


Menurut laporan Bank Dunia, Inequality and Shared Prosperity (2015), periode 2002-2014, jumlah rata-rata anggota rumah tangga pada kelompok 10 persen terkaya menurun dari 3,3 menjadi 3,0 jiwa; sedangkan kelompok 40 persen terbawah cenderung stagnan. Justru pada kelompok 10 persen termiskin, angkanya mencapai 4,8 jiwa. 


Pembangunan Indonesia ke depan juga hendaknya diarahkan pada pemberdayaan perempuan sebagai kelompok penduduk terbesar, namun sering terabaikan. Riset menunjukkan, diskriminasi pendidikan terhadap perempuan menghambat pembangunan ekonomi, di samping memperburuk ketimpangan sosial. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu, semakin baik tingkat kesehatan anak-anaknya.


Dalam penanganan pandemi Covid-19, HKBP mengapresiasi langkah-langkah yang sudah ditempuh pemerintah dalam menjaga keseimbangan orientasi ekonomi dan kesehatan. Namun demikian, selain memastikan percepatan dan pemerataan vaksinasi, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada kelompok perempuan.


Kita menyesalkan tindakan politik dan ekonomi tak etis, yang memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok, seperti terjadinya kelangkaan oksigen dan obat-obatan beberapa waktu lalu. Sebagai bangsa yang bersila Ketuhanan yang Maha Esa, kita sepatutnya saling mengasihi dan bahu-membahu menghadapi pandemi ini.


Yang tak kalah penting, dengan mencermati perkembangan sosial politik dan keagamaan di negeri kita, HKBP mengajak seluruh komponen bangsa untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman sosial budaya sebagai fitrah dan rahmat Ilahi. 


Mengingat besarnya tantangan ini, sudah selayaknya seluruh komponen bangsa duduk bersama untuk menyusun peta jalan pembangunan Indonesia ke depan. Pedoman atau haluan negara diperlukan untuk memastikan sinergitas pembangunan nasional dan daerah, yang berjalan kurang optimal pada era otonomi daerah. Namun, haluan negara ini hendaknya tak diarahkan untuk mengembalikan otoritarianisme serta melemahkan logika ketatanegaraan presidensial.

 

Jayalah negeri kita, Indonesia!


(Penulis adalah Ephorus HKBP dan berkantor di Pearaja Tarutung)