Notification

×

Iklan

Iklan

Uang sekolah Bakal Kena PPN, Biaya Pendidikan Akan Semakin mahal

11 Jun 2021 | 19:46 WIB Last Updated 2021-06-11T12:46:01Z

Ilustrasi Sekolah 

JAKARTA, GREENBERITA.com || 
Pemerintah berencana memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam aturan tersebut, jasa pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN jika revisi KUP ‘diketok’.


JASA pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN. Dalam Pasal 2 PMK itu disebutkan, kelompok jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN adalah jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Lalu, jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah juga tak dikenai PPN. Hal ini termasuk jasa pendidikan nonformal dan pendidikan formal.


Dalam Pasal 4 dijelaskan. rincian jasa penyelenggaraan pendidikan, baik yang formal, non formal, dan informal. Untuk pendidikan formal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.


Untuk jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan.


Kemudian, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, dan pendidikan kesetaraan. Lalu, jasa penyelenggaraan pendidikan informal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Saat ini, semua jenis jasa pendidikan tersebut masih belum dikenai PPN. Namun, jika revisi KUP tesebut ‘diketok’, maka berpotensi dikenai PPN.


Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengkritik rencana pemerintah tersebut. Syaiful mengatakan, rencana itu akan berdampak serius bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, salah satunya biaya pendidikan akan semakin mahal. “Pengenaan PPN ini berpotensi berimbas serius terhadap jasa pendidikan, karena pajak ini oleh lembaga pendidikan akan dibebankan kepada wali murid. Biaya pendidikan akan menjadi tinggi,” kata Huda dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6).


Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengakui, sebagian penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang dilakukan oleh kalangan swasta. Ia juga mengakui, sebagian penyelenggara pendidikan memasang tarif mahal karena kualitas kurikulum maupun sarana dan prasarana penunjangnya. Namun, Huda menegaskan, secara umum, sektor pendidikan masih membutuhkan uluran tangan dari pemerintah karena keterbatasan sarana dan prasanara maupun potensi ekonomi yang lemah.


Oleh karena itu, ia menilai, tidak tepat jika sektor pendidikan dijadikan obyek pajak. “Kami memahami jika 85 persen pendapatan negara tergantung pada sektor pajak. Kendati demikian pemerintah harusnya berhati-hati untuk memasukan sektor Pendidikan sebagai obyek pajak,” ujarnya.


Ia berpendapat, sistem Universal Service Obligation (USO) akan lebih tepat digunakan untuk memeratakan akses pendidikan. Menurut Huda, dengan sistem tersebut, sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan. “Dengan demikian kalaupun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor pendidikan, maka output-nya juga untuk pendidikan. Istilahnya dari pendidikan untuk pendidikan juga,” kata Huda.


Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, pemerintah bertindak paradoks jika mengutip pajak sekolah. Mulanya, Koordinator P2G, Satriawan Salim menduga bahwa jasa pendidikan yang dimaksud dalam draf RUU Revisi UU No 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ialah pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal contohnya seperti jasa bimbingan belajar. “Yang dipajaki lembaga pendidikan di luar lembaga pendidikan sekolah formal seperti PAUD, SD, SMA/SMK/MA. Adapun yang dipajakin ini lembaga pendidikan nonformal, dugaan saya lembaga nonformal ini seperti lembaga Bimbel/Les yang memberikan pelayanan pendidikan,” kata Satriawan Salim, Kamis (10/6).


Pasalnya, saat ini sekolah seperti SD hingga SMA merupakan tanggung jawab negara. Aturan ini tertuang dalam UUD 1945. “SD, SMP itukan dananya juga dari perintah. Yang swasta juga demikian. Kan ada dana BOS. Tidak mungkin memajaki SD, SMP, SMA. Karena itu tanggung jawab negara. Ada dalam pasal 31 UUD 1945,” ujarnya.


Kendati demikian, Satriawan menilai, memajaki lembaga yang bergerak di jasa pendidikan ini juga tak pantas. Sebab, lembaga tersebut juga bergerak untuk memajukan kehidupan bangsa lewat pendidikan. “Bagi saya memajaki pendidikan nonformal pun dipajaki juga tidak pantas, karena lembaga pendidikan non formal pun juga memberikan jasa pendidikan juga buat orang tua untuk memajukan kehidupan bangsa,” tuturnya.


Lantas, jika yang dimaksud jasa pendidikan ini juga termasuk sekolah formal, dia menilai pemerintah bertindak paradoks. “Jika ini benar, jadi pemerintah bertindak paradoks,” ujarnya.


Saat ini pihaknya masih mencermati draf RUU ini. Dia khawatir munculnya klausul komersialisasi pendidikan di UU Cipta Kerja muncul lagi. “Kita masih mencermati, khawatirnya nanti seperti UU Cipta Kerja yang ada klausul komersialisasi pendidikan,” ungkapnya.


Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, langkah tersebut sebagai upaya untuk mengurangi distorsi. Ia pun mencontonkan pada sembako yang dibebaskan PPN. Pembebasan PPN itu juga dinikmati oleh kalangan masyarakat yang mampu sehingga tidak adil. “Jadi intinya akan mengurangi distorsi, itu dulu kita pahami. Jadi tadi contohnya beras, ada yang beli beras premium, beli beras Bulog kok sama aja nggak bayar PPN, nggak adil. Ada yang bisa beli daging segar kualitas wagyu, daging segar di pasar tradisional, sama ini nggak kena PPN, ya nggak adil,” katanya.


Hal ini sebagaimana terjadi pada jasa pendidikan. Sekolah yang gratis dan sekolah yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) sama-sama dibebaskan PPN. “Jadi ini bukan hubungan soal gratis atau tidak gratis, tapi bagaimana sebaiknya yang dikonsumsi, atau dimanfaatkan kelompok masyarakat yang mampu itu dikenai PPN. Tujuannya untuk mengompensasi justru. Supaya ini bisa dipakai untuk menyubsidi, belanja publik yang tidak mampu,” terangnya.


Dia menuturkan, pengenaan pajak ini akan lebih menyasar pada sekolah yang berorientasi pada keuntungan. Sebab, sekolah negeri selama ini sudah gratis sehingga tidak dikenai PPN. “Jadi profit oriented dan konsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, lebih fair kalau dikenai PPN. Bahwa nanti tarifnya itu, itu bisa dibuat skema, kan kita punya ruang multi tarif sekarang bisa 5%, tidak 10 tidak 12, tapi 5%. Atau mungkin untuk yang kelompok lebih rendah bisa dengan nilai lain yang 1%. Saya rasa ruang itu disediakan,” paparnya.


“(Sekolah negeri) kan nol, kalau negeri, nggak bayar to, kalau DPP-nya nol nggak kena PPN,” tambahnya.


Namun, rencana pemungutan pajak ini masih panjang. Rencana tersebut hingga saat ini belum dibahas dengan DPR.


Menyikapi polemik ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun buka suara dalam rapat di Komisi XI DPR, Kamis (10/6). Ani, sapaan akrabnya, mengaku bingung untuk memberikan jawaban kepada publik. Sebab, secara etika politik seharusnya draf rencana aturan pajak itu tidak bocor ke publik sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan langsung ke DPR.


Setelah itu, draf tersebut akan dibahas antara pemerintah dan DPR melalui komisi bersangkutan, yaitu Komisi XI. Bila pembahasan final dan kebijakan bisa dinyatakan menjadi aturan, barulah pemerintah memberikan penjelasan dan sosialisasi ke publik. “Kami dari sisi etika politik belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui Surat Presiden. Oleh karena itu, ini situasinya jadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, jadi kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari rencana pajak kita,” ungkap Ani.


Lebih lanjut, bendahara negara ini menyayangkan bila draf aturan pajak yang bocor ini kemudian beredar menjadi informasi publik. Apalagi, rencana ini kemudian hanya dipahami secara sepotong atau tidak menyeluruh. “Tapi yang keluar sepotong-sepotong, yang kemudian di-blow up menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal, hari ini fokus kita adalah pemulihan ekonomi,” sambungnya.


Untuk itu, Ani meminta masyarakat untuk sabar menanti kelanjutan dari pembahasan rencana aturan pajak tersebut ke depan antara pemerintah dan DPR sesuai etika politik yang berlaku. “Nanti kami akan lihat secara keseluruhan dan bisa bahas apakah timing-nya harus sekarang? Apakah fondasinya harus seperti ini? Siapakah di dalam perpajakan yang harus bersama-sama disebut prinsip gotong royong? Siapa yang pantas untuk dipajaki. Itu semuanya perlu untuk kita bawakan dan akan kami presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi,” jelasnya.


Selain itu, pihaknya juga akan menjelaskan alasan kenapa usulan disampaikan. “Kenapa kita usulkan suatu pasal ini? Alasannya? Background-nya? Dan kalau pun itu adalah arah yang benar, apakah harus sekarang? Atau enam bulan lagi atau tahun depan? Itu semua akan kita bahas penuh dengan Komisi XI,” sambungnya.


Namun Ani menekankan berbagai rencana pungutan pajak itu tentu tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, belum ada pembahasan antara pemerintah dan DPR. Hal ini membuat belum ada kebijakan yang final untuk dikeluarkan dan diimplementasikan ke masyarakat.


“Tidak mungkin pemerintah melakukan policy perpajakan tanpa didiskusikan dengan DPR. Itu saja dulu jawaban paling mantep, tidak mungkin itu. Jangankan pajak PPN, wong cukai saja kita harus minta dan diskusikan lama banget sama Bapak Ibu sekalian,” pungkasnya. 


(gb-ars/rel)