Notification

×

Iklan

Iklan

Bulan Sya'ban, Bulan Diangkatnya Amal Ibadah Kepada Allah

9 Apr 2021 | 16:03 WIB Last Updated 2021-04-09T09:08:47Z

Oleh Ustad Ustad Erwansyah S.Pd.I. 
GREENBERITA.comDemikian banyak nikmat yang kita rasakan hingga siang hari ini. Yang paling utama dan berharga adalah iman dan digerakkannya hati untuk melaksanakan ibadah shalt Jumat berjamaah. 


Semoga segala yang kita lakukan sejak dari kediaman masing-masing hingga kini dicatat sebagai kebaikan yang nantinya akan dipetik manfaatnya di akhirat.

 

Pada saat yang sama, saya mengingatkan diri sendiri dan jamaah yang dirahmati Allah untuk terus meningkatkan takwallah yakni menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang. Hal itu senantiasa diingatkan khatib setiap Jumat dalam khutbah. Tentu saja hal ini memberikan pesan betapa takwallah menjadi hal penting dalam perjalanan manusia di bumi.


Waktu terus mengalir dan tak terasa kita menghabiskan hampir separuh bulan Sya’ban. Bulan suci Ramadlan pun kian dekat dan memberikan suasana batin tersendiri bagi masing-masing orang. 


Ada yang bergembira dengan kehadiran bulan suci ini. Ada pula yang biasa-biasa saja: Sya’ban dan Ramadlan dinilai tak jauh berbeda dari bulan-bulan lainnya. 


Sikap kedua ini bermasalah karena menjadi indikasi tentang tidak sensitifnya hati kita kepada kemuliaan-kemuliaan waktu khusus yang tertuang dalam ajaran Islam. 


Umumnya, suasana ‘biasa saja’ itu bukan karena sikap ingkar melainkan karena terlalu padatnya kehidupan seseorang dengan aktivitas duniawi sehingga menganggap perjalanan bulan Rajab, Sya’ban, dan kemudian Ramadlan tak ubahnya rutinitas belaka. Islam tidak menganjurkan demikian.

 

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebut adanya hari-hari utama (alayyamul fadilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan, dan tiap pekan. Terkait siklus bulanan, Imam Al-Ghazali memasukkan bulan Sya’ban ke dalam kategori bulan-bulan utama (al-asyhur fadilah) di samping Rajab, Dzulhijjah, dan Muharram.



Ada hal yang istimewa dalam bulan Sya’ban. Ia menjadi jembatan menuju bulan yang paling diagung-agungkan. Itulah sebabnya mengapa bulan ini dikatakan ‘sya’ban’. Sya’ban yang berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya, bulan Sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah untuk hamba dalam menapaki, memantapkan diri, sebagai persiapan menyongsong bulan puncak bernama ‘Ramadlan’.



Lantas, apa yang mesti dipersiapkan? Sudah lazim kita menyaksikan bahwa Ramadlan sebagai fenomena tahunan memberikan efek ekonomi dan peralihan budaya yang cukup signifikan. Meskipun masih masa pandemi dan mudik dilarang pemerintah, menjelang bulan puasa kita jumpai sejumlah pasar kian ramai, demikian kita kiriman barang secara online semakin menunjukkan gairahnya, hingga televisi dan media sosial pun menyesuaikan sajian tayangan kepada masyarakat yang mulai berubah semakin religius.


 

Untuk menghadapi ini semua, kita butuh persiapan. Tapi ini persiapan fisik dan material. Karena Ramadlan memang membawa dampak material, juga bulan sesudahnya, yakni lebaran atau Syawal. Akan tetapi, persiapan yang kita maksud sekarang adalah persiapan secara spiritual. 


Sebagai ‘jalan menuju puncak’, seyogianya Sya’ban menjadi momen bagi umat Islam untuk memperkuat mental, menata batin, dan membenahi perilaku untuk menyambut bulan puasa: puasa dari makan dan minum maupun puasa dari sikap untuk selalu menuruti ego pribadi.



قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ذاَكَ شَهْرٌ يَغْفَلُ النّاسُ عَنْهُ يَعْنِي بَيْنَ رَجَب ورَمَضَان وَهُوَ شَهْرٌ تَرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْه إِلَى رَبّ العالمين فَأُحِبُّ أَنْ يَرْفَعَ عَمَلِيْ وأنا صَائِمٌ

 

Artinya: Bulan itu (Sya‘ban) adalah bulan yang dilupakan manusia, berada di antara Rajab dan Ramadlan. Dan ia adalah bulan diangkatnya amal ibadah kepada Tuhan pemilik semesta alam, maka aku (Nabi Muhammad) suka amal ibadahku diangkat ketika aku berpuasa. (HR an-Nasa’i)



Istri baginda Nabi, Aisyah Radliyallahu Anha meriwayatkan: Hanya di bulan Ramadlan Nabi Muhammad berpuasa satu bulan penuh dan saya tidak melihat beliau sering puasa kecuali di bulan Sya’ban. (HR Al-Bukhari).

 

Dalam riwayat Ahmad disebutkan: Puasa yang disukai Nabi Muhammad SAW ialah puasa di bulan Sya’ban. Ini menandakan bahwa persiapan menyambut bulan Ramadlan yang ditelandankan Rasulullah salah satu bentuknya adalah puasa. Bulan Sya’ban merupakan waktu yang tepat untuk berpuasa guna melatih diri untuk terbiasa puasa satu bulan penuh selama Ramadlan. 



Orang yang menjalankan puasa Sya’ban termasuk orang yang memuliakan dan menghormati bulan Ramadlan. Rasulullah pernah bersabda: Puasa Sya’ban itu untuk menganggungkan Ramadlan. (HR At-Tirmidzi).

 


Bagi kebanyakan umat Islam, mungkin puasa masuk deretan yang terberat di antara ibadah-ibadah lain. Puasa menghendaki kita untuk bertahan dalam lapar dan haus sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Meski demikian, dalam puasalah, seorang hamba memperoleh pendidikan ruhani yang luar biasa.


 

Puasa tak sekadar menahan diri dari aktivitas makan dan minum tapi juga aktivitas lain yang menjadi selera hawa nafsu, seperti bohong, menggunjing orang, boros, pamer, suka dipuji, merasa lebih saleh, gemar menilai keimanan orang lain, dan lain-lain. Hal ini terjadi bila kita memaknai puasa dalam dua dimensi sekaligus, yakni jasmani dan ruhani.



Sebelum menapaki bulan seribu berkah, yakni Ramadlan, umat Islam dianjurkan untuk menggembleng diri dengan puasa dan meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah. Bukan semata dengan banyaknya ritual ibadah melainkan pula meningkatnya kesadaran ketuhanan (ilahiah) yang kemudian menjiwai seluruh gerak-gerik kita.


 

Terakhir, saya berpesan kepada diri dan jamaah rahimakumullah, marilah kita terus tata hati dan kebulatan diri untuk menyongsong Ramadlan dengan iabadah terbaik. Semoga ibadah kita diterima dan mampu membawa kita menjadi muslim yang paripurna. Amin ya rabbal alamin.