Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Samosir Menunggu Sang Satria Piningit

7 Jun 2020 | 16:02 WIB Last Updated 2020-06-07T11:15:30Z
Oleh: Bachtiar Sitanggang

GREENBERITA.com- Beberapa hari lalu saya dimasukkan seorang saudara dalam Grup WhatsApp (GWA), walaupun HP ini kadang terasa jenuh karena banyaknya grup WA dan sering terpaksa saya keluar.

Namun entah kenapa kali ini saya menerimanya dengan senang hati dan GWA ini namanya Komunitas Memilih Pemimpin Samosir (KMPS) Visioner, dan saya melihat anggotanya cukup banyak yang terdiri dari berbagai kota dan profesi. Ada dari Bandung sampai desa di Samosir, profesor dan petani, ASN (dalam dan luar negeri termasuk di Pemda Samosir) serta anggota dan mantan dewan, pers dan pengusaha.

Melihat nama-nama anggotanya pasti bukan komporador (pangajuk-ajuk) dalam Pilkada yang juga akan digelar di Samosir. Artinya para anggota grup ini akan netral dan objektif mencari pemimpin yang visioner, tidak asal jadi, apalagi nepotisme tetapi mendahulukan kepentingan rakyat dan tidak menghendaki calon yang pelanggar sumpah.

Memilih pemimpin sering dikaitkan dengan perumpamaan “tak ada rotan, akarpun jadi”, dan barangkali pendiri grup KMPS Visioner ini sedang mencari “rotan” sudah bosan dengan “akar”-pun jadi.

Masyarakat Samosir pasti mendambakan pemimpin yang baik dan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan, aspirasi itulah yang ditangkap KMPS Visioner agar terhindar dari pengaruh politik dan uang. 

Kalau pengaruh uang dan politik yang menentukan, agar masyarakat memperoleh pemimpin yang baik dan benar hanya menunggu apa yang dikenal dalam budaya Jawa “Satria Piningit” atau “Ratu Adil”, pemimpin yang mengabdi untuk rakyat dan bukan petugas partai dan tidak mementingkan diri sendiri, benar-benar “melayani” bukan “dilayani” apalagi menjadi raja-raja kecil.

Dari istilah kerajaan jawa, "Satria Piningit" atau "Ratu Adil" adalah seorang pemimpin yang akan menjadi penyelamat serta membawa keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam sejarah orang batak istilah tersebut tidak dikenal, yang ada adalah pemimpin “raja na boi”, na boi pangalu-aluan di sude parngoluan ni naginomgoman-nya si ganup ari atau mengayomi, melindungi, membina dan membimbing yang diikat Dalihan Na Tolu.

Pemimpin orang Batak selalu berkharisma (marsahala) di pangalaho dohot pambaenan nang pangkuling-ndang hatihasan. Mungkin karakter seperti itu tercabut dari masyarakat Samosir di era demokrasi dan “serangan fajar” bekalangan ini. 

Salah dasar sala luhutan, artinya salah dasar terpilihnya dan turutannya juga salah, seperti tumpukan padi (luhutan). Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, atau “ndang dao tubis sian bonana”, apakah ini yang terjadi selama Samosir jadi Kabupaten?  Tidak perlu dibahas. 

Barangkali untuk itulah KMPS Visioner mengadakan Web Seminar (Webinar) dengan anggota terbatas diantaranya Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata, Dr. Ronsen Pasaribu, Lasro Simbolon, Sangkap Sihotang, Melani Butar-butar dipandu Tumpal Paulus Simandjorang dan Dr. (Iur) Liona Nanang Supriatna SH MH (Dekan FH Unpar).

Masih perkenalan tapi sudah menyentuh permasalahan yang dimulai niat pembentukan Kabupaten Samosir untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat. Ternyata niat itu, menurut mantan pejabat Samosir, Sangkap Sihotang terbentur dengan rendahnya anggaran.

Dengan unggulan sektor pertanian dan pariwisata tidak menunjukkan peningkatan menggembirakan bagi rakyat maupun Pemda seperti diungkapkan mantan Kadis Pariwisata Melani Butar-butar. 

Pertanian hampir “masih seperti yang dulu”, akan tetapi menurut Prof. Tualar Simarmata perlu rekayasa teknologi pertanian di Samosir, walaupun tanahnya gersang tapi dengan irigasi pembangunan ratusan bendungan dan embung, akan dapat memenuhi kebutuhan air untuk pertanian padi, holtikultura maupun tanaman perkebunan.

Lasro Simbolon, diplomat yang sudah melawat 60-an negara menunjukkan kekesalannya tentang keadaan tano hatubuan-nya yang “begitu-begitu saja”. Dia heran di Tuktuk ada satu hotel setara hotel di Bali, tetapi selainnya sungguh memprihatinkan. 

Bahkan menurut Prof. Tualar datang ke Samosir tidak akan mengeluarkan uang sebab tidak ada yang mau dibeli, kebutuhan dibeli dari luar karena di Samosir tidak ada, apalagi di pegunungan. 
Kalau ke Samosir mengeluarkan uang paling “persembahan”.

Unggulan sektor pertanian dan pariwisata oleh Pemda hampir tak terdengar (hasilnya) untuk PAD dan pendapatan masyarakat. Sebab kuliner aja tidak ada padahal daerah wisata. 

Dengan andaliman, tinombur dan hinopingan (makanan khas Batak tepung warna kuning pakai pisang tapi tidak di masak) bisa dikembangkan serta dapat menarik bagi turis, tapi kenyataannya tidak.

Pertanyaannya, mengapa demikian? Menjawab itulah mungkin Webinar tersebut, namun sebagai permulaan belum memperoleh kesimpulan,  yang jelas persoalan Samosir kompleks.

Banyak yang menyalahkan masyarakat karakter “negative”, mental pemalas memang tidak perlu dibantah, persoalannya kalau rakyat seperti itu, tanggungjawab siapa? 
Jangan lupa ada yang digaji mengurus mereka, artinya rakyat itu tidak  “auto pilot”.

Dengaan runyamnya persoalan menjadi penting di Komunitas Memilih Pemimpin Samosir Visioner ini, dan kalau tidak ketemu juga, bersabarlah menunggu “Satria Piningit” atau “Ratu Adil” agar Samosir bebas dari “Peta Kemiskinan”. Mari kita berbuat yang terbaik tanpa pamrih. *** 

(Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta)