Notification

×

Iklan

Iklan

Terusiknya Nasionalisme Presiden AS Melawan Negara Komunis China

1 Jun 2020 | 13:37 WIB Last Updated 2020-06-01T06:40:11Z
Oleh : Syamsudin Sidabutar

GREENBERITA.com- Dewasa ini hubungan Amerika Serikat (AS) dan China atau sering disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) cenderung semakin memanas ke arah Cold War, walau kedua negara ini tak menghendaki konflik dan perang. 

Perang Dingin yang baru antara kedua negara ini tampaknya akan menggantikan Cold War setelah Perang Dunia II tahun 1945  hingga runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Pakta Warsawa tahun 1989 dibawah pimpinan Soviet Uni di masa itu. 

Semenjak Blok Soskom (sosial komunis) ambruk, Russia dan bekas negara-negara soskom  Eropa Timur membenahi diri dan ekonominya dan malah meninggalkan sistem komunis dan beralih ke Barat.  

Berbeda  dengan Russia dan  negara-negara Eropa Timur tersebut, RRT malah memperkuat sistim komunisnya.  Tetapi di bidang ekonomi sama halnya dengan Russia dan Eropa Timur, membuka diri seluas-luasnya untuk investasi dan berbagai perusahaan kapitalis termasuk dari AS,  Uni Eropa dan Jepang. 

Sistim komunis di bawah satu Partai Komunis Tiongkok (PKT) berhasil mengendalikan politik dan keamanan dalam negeri dan lebih mencengangkan memacu pertumbuhan ekonominya yang luar biasa tinggi dan cepat dengan pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor. 

Kini RRT hendak unjuk kekuatan menjadi superpower (adidaya), menggantikan Uni Soviet dulu sebagai pesaing hegemoni AS setelah berhasil membangun kekuatan dalam 30 tahun terakhir.

RRC siap menantang dan  menggeser atau setidaknya men-downgrade supremasi AS di dunia, terutama dengan mengawali  penguatan kehadiran dan perannya di kawasan Asia Pasifik. 

Situasi  perang dagang dan munculnya pandemi Covid 19 semakin memicu eskalasi konflik antar kedua superpower ini yang berpotensi ke perang konvensional dan Perang Dunia III.

Dimulai dengan perang dagang tahun 2018, AS dalam hal ini Presiden Donald Trump meminta agar RRC menyeimbangkan dan bersifat fair dalam perdagangan, ekspor impor yang antara lain melonggarkan bea impor untuk produk-produk AS masuk ke RRC. 

AS terus defisit dagang dengan RRT dan defisit dagang barang AS terhadap RRT tahun 2018 senilai USD 420 milyar setara Rp 5890 triliun. 

AS baru berhasil sedikit menurunkan defisitnya terhadap RRT pada bulan Januari sampai April 2019 menjadi USD 52, 7 milyar, namun itupun setelah ancaman Trump dengan menaikkan pajak impor barang RRT ke AS. 

RRT pun juga menaikkan pajak impor barang AS. RRC tampaknya keras dan tidak terlalu menggubris klaim AS tersebut secara sepadan.

Pasar AS selama ini hampir 15 sd 20 % dipenuhi oleh produk-produk dari RRC.  RRC telah mendapat keuntungan besar dari perdagangan dengan  AS yang menyumbang besar bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi RRC. 

Selama ini, investasi RRT juga meningkat dan tercatat sekitar  USD 146 milyar di AS.

Namun karena perang dagang dan sikap RRT yang tidak begitu kooperatif dan  adaptif dengan klaim AS itu, maka AS pun terus menekan dan bahkan melihat ancaman dalam transaksi dagang, ekonomi dan kepentingan AS.

Akibatnya, AS pun mengancam mau memblokir investasinya di dan ke RRT senilai USD 180 milyar karena defisit dagang AS tersebut, sama halnya investasi RRT di AS pun mulai menurun. 

Akibat pandemi Covid 19, yang saling menuduh asal muasalnya sementara korbannya semakin merebak sekitar 1,78 juta positif dan 104 ribu meninggal di AS dan 5,92 juta dan 362 ribu meninggal di dunia hingga akhir Mei 2020, telah ikut menjadi faktor eskalasi konflik AS - RRT.

Saham-saham di AS yang ada dimiliki dan dikuasai RRC dan sejumlah perusahaan RRC di AS juga mulai terancam keberadaannya. 

Begitupula sejumlah perusahaan AS di RRT mau ditarik atau dialihkan operasinya ke negara-negara lainnya.

Baru-baru ini Presiden Trump juga mengancam akan mengusir sejumlah program pasca sarjana Tiongkok dari AS, dengan mencabut visa studi. 

Jumlah pasca sarjana RRT di AS tercatat sekitar 133 ribuan dari sekitar 369 ribuan mahasiswa dan pasca sarjana atau 33,8 % dari mahasiswa internasional di AS dewasa ini.

RRC mengirimkan mahasiswa ke AS untuk belajar dan kembali ke Tiongkok untuk membangun negerinya sehingga dapat menguasai iptek dan perekonomian menjadi nomor 2 di dunia. 

Kehadiran AS dan negara-negara industri di RRT terutama dalam hal investasi dan iptek juga sudah berhasil dipelajari dan dikembangkan dalam produk-produknya seperti halnya Jepang dan Korea Selatan, yang meniru dan mengembangkan teknologi sendiri dengan transfer teknologi AS dan Barat. 

RRC memang membuka ekonominya untuk investasi, usaha dan dagang, tetapi  RRC sebagai negara komunis tetap sebagai negara tertutup dalam sistim politik dan keamanannya.

Ketertutupan ini terlihat dari kehadiran warga negara asing di RRC yang hampir tidak mungkin menjadi migran seperti di AS kecuali para pengusaha, manager dan ahli dibidang ekonomi, teknologi dan intelektual misalnya.  

Semua kegiatan tenaga asing tersebut sangat dipantau dan dimonitor ketat agar tidak mengganggu sistim politik soskom nya.

Kini Tiongkok sudah merasa kuat sebagai superpower baru, dengan pertumbuhan ekonominya sekitar 15% selama 30 tahun lebih. 

Dengan penduduknya 1,45 milyar yang disiplin dibawah sistim komunis kapitalisnya, memacu pembangunan ekonomi dan ipteknya. Ke hampir semua negara berbagai terobosan dan kiprah ekonomi RRT sudah terasa pengaruh positif dan negatifnya terhadap negara setempat termasuk ke Indonesia, begitupula bagi kemakmuran ekonomi RRT.

Dewasa inipun RRC mempunyai strategi politik ekonomi internasional yang dikenal dengan "One Belt One Road (OBOR)" menuju "Great China Initiative", semacam penciptaan/pembentukan jalur ekonomi dan proyek2 investasi RRC yang menghubungkan negara2 dan benua yang pusatnya menuju Beijing dan Kejayaan RRC.

Inisiatif OBOR ini juga cukup mendapat kritik dan tantangan dari negara-negara tertentu seperti yang dialami Srilanka. 
Srilanka misalnya tidak mampu bayar pinjaman investasi sekitar USD 4,5 milyar untuk proyek Bandara dan Kawasan Ekonomi Khusus, akibatnya Srilanka terpaksa menyerahkan pengelolaan proyek tersebut ke RRC selama 99 tahun.

Dengan munculnya Presiden Donald Trump yang "nasionalis" yang menuntut keseimbangan dagang, ekspor impor dan penyesuaian bea barang impor agar AS tidak defisit miliaran USD, maka RRC pun merasa bahwa Trump merupakan penghambat kepentingan RRC di AS dan negara2 lainnya.  

Akibatnya isu perang dagang ini semakin rumit, yang diikuti dengan masalah-masalah tuduh menuduh asal Covid 19 termasuk penghentian donasi AS ke WHO,  Laut China Selatan, HAM, Undang Undang Keamanan Hong Kong, isu Taiwan, dan kehadiran dan ancaman perang di kawasan ini,  terlebih lagi menghadapi Pilpres AS Nopember 2020, maka faktor-faktor ke arah  perang dingin pun semakin memanas kian hari. 

Saling tuduh asal usul Pandemi Covid 19 yang menimbulkan korban sekitar 1,75 juta positif dan 104.000 meninggal di AS hingga saat ini telah memperburuk citra negatif Trump di dalam negeri.

Korban ini sudah melampaui korban 3 perang AS di Korea, Vietnam dan Timur Tengah dan Irak. 
Korban Covid di AS akan terus bertambah mengingat 1,7 juta positif, yang bisa saja meningkat korbannya 500.000 jiwa di AS hingga Covid 19 berakhir.

Kini Trump menghadapi  RRC dan oposisi Demokrat seerta rakyat yang multi ras dan yang sulit ekonominya di dalam negeri, akan  menghadapi berbagai tantangan menghadapi Pilpres di bulan Nopember 2020.  

Dengan  sikap RRC yang cukup keras dan siap perang, maka Donald Trump pun kini makin terpojok dengan sepak terjang RRC dalam politik luar negeri/internasional termasuk dalam menghadapi Pilpres AS. 

Apalagi dengan  UU Keamanan RRC yang mencakup Hong Kong dan masalah Taiwan, pengusiran Kapal Induk AS dari Kepulauan Paracel dan Spratly oleh Angkatan Laut RRT, maka situasi ini sangat membahayakan AS dan RRC, begitupula dunia dan khususnya kawasan Asia Tenggara. 

Perang Dingin yang sudah diwarnai berbagai tindakan permusuhan "kasus beli", bisa saja memicu perang konvensional, yang juga berpotensi ke perang rudal termasuk nuklir.

Pemerintah dan pemerhati hubungan dan politik luar negeri kiranya perlu terus mewaspadai dan mengikuti secara cermat dan tepat atas eskalasi perang dagang dan konflik AS - RRT, yang keduanya sudah saling mengancam dan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi perang. 

Kini hanya menunggu siapa yang akan memulai memicu pelatuk  perang.  

Untuk itu, Indonesia pun termasuk di daerah harus mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi ekonomi yang mungkin memburuk dan ketersediaan pangan dan kebutuhan hidup.  

(Penulis adalah mantan diplomat Departemen Luar Negeri)