Notification

×

Iklan

Iklan

Pilkada Samosir Harus "Mulak tu Bona"

17 Nov 2019 | 19:19 WIB Last Updated 2019-11-17T13:59:29Z
Oleh Bachtiar Sitanggang

GREENBERITA.com- Sesuai dengan agenda ketata-negaraan, Samosir akan melakukan pesta demokrasi lima tahunan yaitu proses pemilihan pergantian Kepala Daerah (Pilkada). Terasa seolah semua daya dan upaya dikerahkan untuk itu. 

Seluruh Indonesia peraturannya sama, namun karakter masyarakatnya yang memberi warna sehingga pilkada itu sering diciderai, menyimpang dari tujuan demokrasi dan  merugikan masyarakat.

Orde Baru melaksanakan pemilu langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur dan adil (Jurdil).

Namun slogan beda dengan kenyataan karena ke-bebas-an memilih dikendalikan penyelenggara dengan memihak kesalah satu peserta pemilu yaitu kekuatan sosial politik Golkar pada saat itu dengan keistimewaan, tidak sama kepada dua partai politik peserta lainnya. 

Pemilu kala Orba masih berjenjang, memilih anggota DPR yang menjadi MPR untuk memilih Presiden, memilih DPRD untuk kemudian memilih  Gubernur, Bupati/Walikota.

Dulu tidak ada money politics (politik uang) yaitu memilih seseorang karena member uang atau barang, yang seharusnya tidak memilih orang itu kalau tidak karena uang atau barang. 

Sekarang, langsung memilih anggota legislatif dan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dengan rahasia, terbebas dari intimidasi dan tekanan, orang per-orang masuk ke bilik suara, kecuali berkepentingan khusus harus didampingi petugas atau keluarganya.

Di era reformasi politik uang mengganggu kebebasan pemilih, ditengarai sering terjadi “siapa bayar dia menang”, sehingga banyak yang tertangkap aparat penegak hukum maupun gugatan di Mahkamah Konstitusi, bahkan ada yang sampai bentrok antar konstituen.

Nah., bagaimana dengan karakter masyarakat Samosir, mungkinkah bebas dari politik uang? 

Di Jawa Timur ada guyonan “wani piro” artinya berani berapa? 
Semacam penawaran, siapa berani lebih tinggi.

Sejak reformasi setiap kampanye dan pemilu di Samosir ada yang berkomentar “jelas do” artinya “jelas nggak uangnya?”. 

Ditambah lagi, “kalau tidak punya uang, jangan mencalonkan diri jadi bupati. Sekarang dia butuh kita, kalau sudah terpilih, dia lupa”.

Mudah-mudahan semua yang terlibat dalam Pilkada Samosir 2020 nanti “mulak tu bona,” kembali ke awal, yaitu pemilihan itu adalah untuk mencari orang yang baik dan benar lahir dan batin, yang mau bekerja seperti pelayan Tuhan bukan untuk manusia yang juga merupakan hakekat dari Pilkada itu sendiri.

Sifat-sifat masa silam jangan diulang lagi pada Pilkada tahun depan. Rakyat harus disadarkan bahwa pemilihan karena uang itu merugikan masyarakat sendiri. Apa yang terjadi selama ini menunjukkan kegagalan partai politik mengemban tanggungjawabnya sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat. 

Kurang berperan aktifnya kaum intelektual menyadarkan masyarakat serta lemahnya pemimpin gereja dan rohaniawan menyerukan katakan ya di atas ya, bahkan seolah memberi peluang bahwa “berkat Tuhan itu dapat diperoleh karena uang”sehingga member peluang ntuk menjadikan peribadatan jadi ajang kampanye. 

Seseorang yang terpilih karena membeli suara, pasti akan berupaya mengisi pundi-pundi untuk mengembalikan dana-dana yang dikeluargannya. Sering kalimodusnya dengan mempermainkan anggaran dan  proyek, mentenderkan jabatan pokoknya segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang.

Rakyat Samosir jangan digoda bagaikan Hawa yang di taman Eden, “pat ni manuk paturengreng, marrara mata mangida hepeng” artinya jangan pertunjukkan uang agar mata tergiur rakyat tergoda melihatnya.

Kalau itu masih terjadi akibatnya, pembangunan di Samosir akan seperti “si gale-gale”, patung menari di tempat dari Tomok. Fungsi  aparat termasuk DPRD “sami mawon” alias tidak jelas, siapa pengawas mengawasi siapa.?

Ditengarai pengamat, cabup itu beraneka ragam niatnya, seperti terpanggil ingin membangun daerah-melayani masyarakat, ada yang didorong pemodal, karena sudah memiliki segalanya dari tempat lain sehingga butuh “hasangapon”, juga ada yang ingin money laundry uangnya ke money politics dan alasan lainnya. 

Tetapi itu kata pengamat belum tentu benar, tetapi yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana masyarakat Samosir terbebas dari politik uang? 

Ada juga baiknya kaum intelektual menyadarkan masyarakat selain tidak main politik uang juga perlu untuk tidak menggunakan politik identitas, seperti marga, agama dan kewilayahan juga Dalihan Na Tolu.

Identitas itu adalah filter untuk mengawasi dan memelihara keharmonisan secara berkesinambungan. Politik identitas tidak pada tempatnya digunakan menggalang “membeli kucing dalam karung”. 

Masyarakat harus diingatkan agar tidak berperilaku seperti  “buaya tidak menolak bangkai”, tetapi biarkanlah mereka memilih sesuai nurani, masing-masing, luber dan jurdil bukan karena uang.

(Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta)