Notification

×

Iklan

Iklan

Gelar Aksi, Masyarakat Sigapiton Minta Hentikan Operasional BPODT di Tanahnya

28 Sep 2019 | 20:39 WIB Last Updated 2019-11-10T13:43:02Z
Warga Sigapiton Melakukan Aksi ke Kantor Bupati Tobasa Untuk Menolak Operasional BPODT di Tanahnya, Kamis,(26/9/2019)

BALIGE,GREENBERITA.com- Ratusan anggota Masyarakat Adat Bius Raja Naopat Sigapiton, Kecamatan Ajibata beserta warga yang simpatik atas permasalahan ini menggelar aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Toba Samosir, di Balige pada Kamis,(26//9/2019).

Sebagaimana dijelaskan oleh Manogu Manurung, Koordinator Aksi, bahwa tuntutan mereka adalah agar wilayah adat yang diklaim sebagai Kawasan Hutan Negara segera dikembalikan kepada masyarakat. Bupati sebagai Kepala Daerah memiliki wewenang untuk melindungi masyarakatnya. 

Dalam aksi tersebut masing-masing Raja Bius, Sirait, Butar-Butar, Manurung dan Nadapdap serta perwakilan marga boru/nahinela juga menyampaikan orasinya. Masyarakat mengatakan bahwa cukup sudah pembodohan yang dilakukan oleh bupati dan kehutanan terhadap mereka. Oleh karena itu mereka mendesak bupati agar mengakui dan melindungi keberadaan mereka. 

Aksi massa tersebut diterima oleh Bupati Toba Samosir, Darwin Siagian, didampingi Wakil Bupati, Hulman Sitorus, Sekda Edi Murphy Sitorus dan jajaran Pemkab Toba Samosir lainnya. Menanggapi tuntutan masyarakat, Bupati mengatakan bahwa terkait urusan kehutanan, wewenangnya sudah berada di Provinsi bukan di Pemerintah Kabupaten.  Pemerintan Kabupaten siap memfasilitasi tuntutan masyarakat jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Melalui salah satu warga Sigapiton, Bupati juga meminta agar tuntutan masyarakat tidak ditunggangi kepentingan pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab. 

"Sejak tahun 2016, kami selalu dibodoh-bodohi. Tahun 2017 pak Bupati datang ke Sigapiton mengatakan bahwa tidak ada wilayah kami yang masuk kehutanan. Tapi buktinya sekarang wilayah adat kami yang tidak masuk dalam Kawasan hutan negara hanya sekitar 80 hektar lagi. Kami tak percaya Bapak lagi," ujar Ompung Casandra Boru Sinaga dalam aksinya.

Sementara itu,salah satu orator, Suryati Simanjutak dari KSPPM (Kelompok Study Pengembangan Prakarsa Masyarakat) yang melakukan dampingan kepada warga Sigapiton meminta pemerintah Tobasa agar gaya-gaya pengusiran seperti zaman Orde Baruharus dihentikan.

"Jangan menggunakan istilah-istilah produk orde baru, menghina kecerdasan bapak dan ibu di Sigapiton  yang mengajukan protes seperti kuda yang ditunggangi. Tidak perlu juga takut jika ada pihak lain seperti lembaga KSPPM yang mendampingi mereka, karena KSPPM legal di republik ini”, ujar Suryati Simanjuntak.

Menurutnya, sudah tidak zamannya lagi pemerintah selalu menggunakan pendekatan hukum formal kepada masyarakat adat yang lebih paham hukum adat.  Jika pemerintah ingin rakyat cerdas dan memahami hukum-hukum formal, maka tugas pemerintah mengajari mereka bukan mengajak tanding pemahaman mereka. Hukum adat jauh lebih dulu ada dari hukum negara dan bahkan hukum negara masih mengakui adanya hukum adat. 

“Terkait urusan kehutanan, walaupun sudah ditarik ke provinsi, sudah menjadi tugas pemerintah daerah mengakui dan melindungi masyarakat adatnya dengan menerbitkan Perda”, tegas Suryati Simanjuntak. 

Menanggapi aksi tersebut, Bupati Tobasa Darwin Siagian mengaku bahwa ranperda masyarakat Hukum Adat sedang dalam eksaminasi di Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

“Terkait Ranperda Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Toba Samosir sedang dalam proses eksaminasi di biro Hukum Provinsi. Mari kita bersama -sama mendorong percepatannya”, jawab Bupati. 

Dalam aksi massa tersebut, Tohonan Nadapdap juga meminta keterangan bupati terkait rencana kehadiran staf dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP)  pada 27-28 September 2019 yang sudah dinformasikan kepada masyarakat.  Tohonan meminta agar pemkab mengundang masyarakat adat Sigapiton dan meminta agar pertemuannya dilakukan di Desa Sigapiton. 

Terkait hal ini Bupati mengatakan akan mengundang perwakilan masyarakat sesuai dengan petunjuk dari KSP dan meminta warga untuk sabar menunggu undangannya.
Masyarakat juga meminta sebelum ada kejelasan terkait penyelesaian konflik tanah mereka, operasional BPODT di wilayah adat mereka agar dihentikan. 

Aksi yang didukung oleh berbagai elemen organisasi masyarakat sipil KSPPM, BAKUMSU, Koalisi Pembaruan Agraria (KPA) dan mahasiswa ini juga menyuarakan beberapa hal termasul penolakan terhadap RUU Pertanahan yang saat ini penetapannya ditunda oleh DPR. Karena RUU pertanahan tersebut sarat dengan permasalahan salah satunya adalah memperlancar perampasan tanah di kemudian hari untuk kepentingan korporasi.

(gb-rel)