Notification

×

Iklan

Iklan

Catatan KSPPM Sambut Hari Tani Nasional dan Konflik Agraria di Tanah Batak (II)

24 Sep 2019 | 19:24 WIB Last Updated 2019-11-10T13:59:01Z
PARAPAT,GREENBERITA.com

Perkembangan Terakhir Yang Tidak Menggembirakan

Sekali lagi, spirit UUPA 1960 yang menegaskan penguasaan tanah sebebsar-besarnya untuk kemakmuran rakyat semakin jauh dari harapan. Namun faktanya, hak kelola rakyat atas ruang hidupnya semakin sempit karena negara lagi-lagi lebih mengutamakan kepentingan investasi di Tanah Batak. 

Kecenderungan ini terbukti degan jelas dalam kasus terbaru di Sigapiton. Sejak awal 2016 komunitas masyarakat adat di Sigapiton sudah mengajukan permohonan pelepasan wilayah adat dari Kawasan Hutan. Namun lagi-lagi negara dengan sadar dan pongahnya justeru memberikan sebagian wilayah adat mereka seluas 271 hektar untuk menjadi zona otoritatif Badan pelaksanan Otorita Pariwisata Danau Toba (BPOPDT). Sebaliknya, laporan pengaduan mereka ke Presiden dan KLHK sampai saat ini diabaikan atau tidak diproses. 

Boro-boro memperhatikan kemakmuran rakyat, negara dengan terang-terangan juga sedang kejar target menerbitkan RUU Pertanahan yang sangat bertentangan dengan UU PA 1960. RUU ini tampak jelas hanya mementingkan kepentingan pengusaha dan mengabaikan kepentingan masyarakat adat dan petani. RUU Pertanahan tersebut mendapat perlawanan dari Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia. Ada banyak persoalan dalam RUU Pertanahan tersebut yang wajib dicermati, antara lain:

1. Tidak memberikan jawaban atas persoalan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia pada umumnya
2. Tidak memberikan solusi atas penyelesaian konflik agraria yang saat ini terus meningkat dan selalu memojokan petani dan masyarakat adat
3. Berpotensi mempermudah perampasan tanah atas nama kepentingan umum dan pembangunan
4. Memberikan ruang yang sangat besar kepada korporatisasi atas tanah 
5. Tanah semata-mata dilihat hanya komoditas yang bernilai ekonomis, sementara bagi masyarakat adat tanah memiliki banyak makna sosial, kultural dan spiritual
6. Tidak memperhatikan aspek ekosistem dan lingkungan hidup yang sangat penting bagi keberlangsungan pemanfaatan atas tanah itu sendiri
7. Tidak memperhatikan aspek kedaulatan pangan petani yang sudah terancam akibat perampasan tanah milik petani. 

Masih banyak persoalan yang akan muncul jika RUU Pertanahan ini dipaksakan untuk segera disahkan. Semua ini hanya semakin menegaskan bahwa kebijakan negara  lebih berpihak pada kepentingan investasi dan terus menjauh dari upaya mencipatakan kemakmuran bagi masyarakat.


Penutup dan Pernyataan Sikap

Oleh karena itu KSPPM dan Serikat Tani Kabupaten Samosir, Serikat Tani Tapanuli Utara dan Serikat Tani Toba Samosir mengambil sikap:
- Menolak RUU Pertanahan 
- Menolak segala bentuk perampasan tanah milik masyarakat adat dan Petani
- Menolak tindakan kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan petani yang memperjuangkan haknya atas tanahnya
- Mendesak Pemerintah untuk segera mengembalikan wilayah adat masyarakat yang diklaim sebagai Kawasan Hutan negara 
- Mendesak Pemerintah mencabut izin-izin perusahaan swasta maupun milik negara yang berada di wilayah adat 
- Mendesak Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan petani
- Mendesak Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahan-perusahan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup

Parapat, 24 September 2019 

Delima Silalahi
Direktur Program KSPPM