Notification

×

Iklan

Iklan

Catatan KSPPM Sambut Hari Tani Nasional dan Konflik Agraria di Tanah Batak (I)

24 Sep 2019 | 19:16 WIB Last Updated 2019-11-10T13:59:01Z
PARAPAT,GREENBERITA.com- Pada tanggal 24 September 2019 merupakan hari yang bersejarah bagi kaum Tani di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria  atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok  Agraria (UUPA) dan menjadi tonggak peringatan Hari Tani Nasional. Tonggak ini semakin dikukuhkan dengan dikeluarkannya Kepres No.169 Tahun 1963 oleh Presiden Soekarno yang menetapkan 24 September sebagai Hari Tani Nasional.

Sejatinya UUPA berlandaskan spirit bahwa penguasaan dan pemanfaatan tanah di negara ini harus sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.  Namun, mari kita lihat, setelah 59 tahun UUPA diterbitkan, atau setelah 74 tahun Indonesia Merdeka, spirit ini bukan saja tidak terwujud, tapi kian menguap entah kemana. Penguasaan tanah secara umum dilakukan untuk tujuan-tujuan yang semakin jauh dari kemakmuran rakyat. Malah boleh dibilang, rakyat dari tahun ke tahun terus tersingkir dari tanahnya dan sering menjadi korban setiap upaya memanfaatkan tanah.

Tidak mengherankan jika setiap tahun konflik agraria terus meningkat, tidak terkecuali di tanah Batak. Konflik bukan disebabkan karena ada “provokator” atau “masyarakat masih bodoh” dan tidak paham manfaat pembangunan. Melainkan karena hak-hak masyarakat dirampas, dikalim secara sepihak oleh negara dan lebih parahnya lagi “dihadiahkan” kepada agen-agen pembangunan baik perusahan swasta maupun lembaga miliki negara. Bukan hal yang aneh jika konflik terjadi karena masyarakat melawan demi mempertahankan hak-haknya. 

Perlawanan terpaksa harus dilakukan karena perampasan hak masyarakat atas tanah sama artinya dengan ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat di Tano Batak yang mayoritas tinggal di desa harus diperhadapkan dengan kenyataan bahwa mereka selama ini hidup di tanah milik negara. Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa hampir 60% wilayah daratan di Tanah Batak diklaim negara sebagai Kawasan Hutan Negara sesuai SK No. 579/Menhut -II/2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara seluas 3.05 juta hektar. Konon kabarnya luasan ini sudah berubah dengan lahirnya SK 8088 Tahun 2018. 

Namun kabar perubahan ini masih samar-samar alias sulit diakses. Klaim sepihak negara atas tanah-tanah di Tano Batak inilah yang menjadi sumber utama konflik agraria dari dulu hingga saat ini. 


Konflik Agraria di Tano Batak

Sejarah konflik agraria di Tano Batak bukanlah hal yang baru. Sejak dekade 1980-an, masuknya industrialisasi ke Tanah Batak, diawali dengan pembangunan proyek PLTA Asahan II, PT Inti Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (PT.TPL), PLTA Renun, PT Aquafarm Nusantara (sekarang Regal Spring) dan perusahaan-perusahaan lainnya, diiringi oleh konflik perebutan tanah yang terus meningkat Konflik yang selalu dibarengi dengan tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap rakyat merupakan wajah ironi betapa industrialisasi yang konon kabarnya akan menyejahterakan justeru membawa malapetaka. 

Namun sayangnya jejeran konflik yang terjadi tidak menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, pemerintah, swasta dan juga masyarakat. Karena konflik terus saja terjadi, termasuk dengan kehadiran pembangunan sektor pariwisata bertaraf internasional yang akan di bahas di bawah. 

Industrialisasi yang digadang-gadang akan mensejahterakan masyarakat di Tanah Batak tak kunjung terwujud. Sebaliknya keterpinggiran dan kemiskinan tetap menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan masyarakat di desa khususnya kaum tani. Pada dasarnya tanah merupakan aset utama petani untuk bisa sejahtra. Namun tanah yang dikuasai dan dimiliki sejak dulu, rawan dirampas oleh siapa saja karena klaim sepihak negara. Seperti yang disinggung di atas, perlawanan menjadi senjata utama untuk bisa tetap berdaulat di tanah sendiri. 

Setidaknya itu yang dilakukan masyarakat adat di Pandumaan-Sipituhuta. Sejak Juni 2009 mereka berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari cengkeraman PT TPL. Sampai akhirnya pada Bulan Desember 2016, Presiden Jokowi menyerahkan secara simbolis Surat Keputusan (SK) Pencadangan Hutan Adat milik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5172 hektar. SK yang  menegaskan bahwa wilayah adat tersebut saat ini sudah tidak lagi menjadi bagian dari wilayah konsesi PT TPL. Bahkan setelah mencapai tahapan sejauh inipun, proses menuju pengakuan penuh wilayah adat sampai saat ini masih terus terkendala banyak hal. Karena itu perjuangan tidak boleh berhenti dan memerlukan stamina yang kuat dan panjang. 

Tapi kasus Pandumaan-Sipituhuta hanya salah satu kisah. Masih banyak komunitas masyarakat adat lain yang sedang berjuang mempertahankan tanahnya dari klaim negara. Diantaranya, komunitas Op. Bolus Simanjuntak di Sipahutar, Komunitas Ama Raja Medang di Aek Lung, Komunitas Pargaman-Bintang Maria Parlilitan, Komunitas Bius Huta ginjang, Bius Sitanggor, Komunitas Natinggir, Komunitas Golat Naibaho dan Golat Simbolon-Sijambur, Komunitas Parlangge Bosi , Komunitas Bius Raja Naopat Sigapiton, dan masih banyak lagi. Setiap hari mereka harus berhadap-hadapan dengan perusahaan dan pihak kehutanan. Intimidasi dan kekerasan menjadi hal biasa yang harus mereka hadapi. Tapi komunitas-komunitas ini tidak bergeming karena tanah adalah kehidupan itu sendiri yang tanpa itu keberadaan mereka semakai masyarakt adat akan sirna secara cepat.

Banyak strategi yang sudah dilakukan komunitas masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya. Strategi-startegi ini tidak hanya melihat masalah tanah sebagai masalah di desa saja, tapi mengaitkannya dalam konteks persoalan dan gerakan baik pada level lokal, nasional maupun internasional. Pengaduan kepada negara juga sudah berulangkali dilakukan, yang artinya komunitas masyarakat adat tidak asal protes dan melawan semata, tapi juga melalui jalur-jalur institusional yang tersedia. Namun proses penyelesaian konflik agraria terkesan sangat lambat dan bertele-tele. 

Menteri KLHK, Siti Nurbaya, berkali-kali berjanji akan segera mengembalikan wilayah adat masyarakat yang ada di Kawasan Hutan jika Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada. Tapi persoalannya, masyarakat adat yang tidak paham Undang-Undang dan peraturan negara, yang kesehariannya adalah bertani, harus disibukkan dengan proses legislasi yang rumit; dan upaya mendesakan keluarnya perda di daerah. 

Proses di daerah itu sendiri sangat lambat dan tidak kalah bertele-telenya. Semuanya hanya berujung pada nasib masyarakat adat yang terus terkatung-katung oleh produk perda yang tak kunjung lahir. Bisa dibayangkan betapa frustasinya masyarakat, ketika janji yang diberikan oleh pejabat publik seperti menteri atau bahkan presiden membawa harapan besar, tapi berujung dengan kekecewaan karena hampir tidak jelas implementasinya pada level daerah. 

Masih banyak persoalan yang akan muncul jika RUU Pertanahan ini dipaksakan untuk segera disahkan. Semua ini hanya semakin menegaskan bahwa kebijakan negara  lebih berpihak pada kepentingan investasi dan terus menjauh dari upaya mencipatakan kemakmuran bagi masyarakat.

Penutup dan Pernyataan Sikap KSPPM

Karenanya, KSPPM dan Serikat Tani Kabupaten Samosir, Serikat Tani Tapanuli Utara dan Serikat Tani Toba Samosir mengambil sikap, yaitu:
- Menolak RUU Pertanahan 
- Menolak segala bentuk perampasan tanah milik masyarakat adat dan Petani
- Menolak tindakan kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan petani yang memperjuangkan haknya atas tanahnya
- Mendesak Pemerintah untuk segera mengembalikan wilayah adat masyarakat yang diklaim sebagai Kawasan Hutan negara 
- Mendesak Pemerintah mencabut izin-izin perusahaan swasta maupun milik negara yang berada di wilayah adat 
- Mendesak Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan petani
- Mendesak Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahan-perusahan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup

Parapat, 24 September 2019 

Delima Silalahi
Direktur Program KSPPM

(gb-rel)