Notification

×

Iklan

Iklan

Sering Marah Tingkatkan Risiko Peradangan dan Penyakit Kronis

14 Mei 2019 | 15:18 WIB Last Updated 2019-11-10T13:31:31Z
GREENBERITA.com – Menurut Sebuah studi dari American Psychological Association menemukan bahwa kemarahan lebih merugikan dari rasa sedih. Itu dapat meningkatkan inflamasi dan risiko penyakit kronis di usia lanjut.

Untuk mendapatkan hasil ini, para peneliti mempelajari sekelompok orang dewasa berusia 59 hingga 93 tahun, kemudian mencatat frekuensi perasaan marah dan sedih mereka, mendata apakah memiliki riwayat penyakit kronis, serta menguji kadar inflamasinya.


“Kami menemukan fakta bahwa marah-marah setiap hari berkaitan dengan tingkat inflamasi dan risiko penyakit kronis yang lebih tinggi bagi orang-orang berusia 80 tahun ke atas. Namun, ini tidak terjadi pada lansia yang lebih muda,” papar Carsten Wrosch, wakil pemimpin peneliti dari Concordia University yang dilansir dari nationalgeographic.grid.id.

“Di sisi lain, kesedihan tidak berkaitan dengan inflamasi atau penyakit kronis,” imbuhnya.

Alasan mengapa usia yang lebih muda kurang rentan terhadap peradangan atau penyakit kronis adalah karena mereka dapat mengambil tindakan dan melakukan sesuatu terhadap rasa marahnya. Sementara orang-orang tua mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membuat perubahan dengan cepat sehingga emosi negatif lebih dulu mengambil alih.

Studi ini menekankan pentingnya lansia untuk mengembangkan strategi dalam menghadapi tantangan yang berada di luar kendali. Dengan begitu, mereka dapat mengurangi kemarahan dan risiko penyakit kronis.

Meski penelitian dilakukan pada partisipan berusia lanjut, tapi anak-anak muda juga perlu memperhatikannya.

Studi terbaru ini memperkuat hubungan antara emosi kita dengan kesehatan fisik. Membuktikan bahwa kemarahan, kesedihan, dan rasa duka dapat meningkatkan kadar kortisol yang memicu penyakit jantung, kecemasan, dan depresi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Mengutarakan apa yang kita rasakan kepada orang-orang terpercaya dapat membantu menurunkan kadar kortisol.

Selain itu, aktivitas ‘ekspresif’ seperti menulis, menari, menggambar, dan menyanyi juga bisa menjadi alternatif.(rel-marsht)