Notification

×

Iklan

Iklan

Catatan Pilpres 2019, Politik Idensitas, Perlukah?

28 Jan 2019 | 12:37 WIB Last Updated 2019-11-10T13:59:02Z

Oleh : Zulham Dani Rambe

GREENBERITA.com - Perhelatan kontestasi Pemilu 2019 yang digelar secara serentak antara Pilpres dan Pileg nanti puncaknya pada Rabu 17 April 2019 mempunyai tingkat keunikan tersendiri dan pertama kali dilakukan sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia.

Pemilu kali ini mempunyai keunikan dan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dan terkesan akan menjadi ujian dan tantangan bagi semuanya khususnya penyelenggara Pemilu.

Beban berat ada di pundak penyelenggara Pemilu untuk mensukseskan hajatan rakyat yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dan demokratisasi yang berintegritas.

Tak bisa dipungkiri bahwa nuansa Pemilu 2019 ini lebih terasa Pilpresnya dibanding Pilegnya.

Hal ini dikarenakan perhelatan Pilpres mau tidak mau telah menimbulkan dan menciptakan dua sikap  politik yaitu pendukung koalisi dan pendukung oposisi yang terus bergeriliya melancarkan aksi-aksi politik untuk mempengaruhi publik dalam pencapaian elektabilitas.

Dua pasangan Capres dan Cawapres menjadi kontestasi yang mempunyai plus minus dari berbagai segi kelebihan dan kekurangannya yaitu Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01 Ir. H. Joko Widodo dengan KH. Ma'ruf Amin dan Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 02 H. Prabowo Subianto dengan H. Sandiaga Salahuddin Uno.

Kedua pasang pasangan menjadi sorotan publik yang terkadang secara tidak sadar publik lupa bahwa masih ada kontestasi partai untuk memperebutkan kursi di legislatif.

Istilah yang sering santer kita dengar dan menjadi ungkapan yang acap kali mengiasi perdebatan publik yaitu politik identitas (identity politic). Istilah yang cenderung bisa bermakna 'ambigu' tergantung bagi mereka yang menafsirkannya karena istilah ini bisa dinilai plus minusnya, positif negatifnya ketika apabila dipadukan dengan sikap dan perbuatan pelakunya atau pihak yang memerankannya, apakah politik identitas ini digunakan hanya sebagai fungsi elektoral saja untuk menaikkan elektabilitas atau ada upaya untuk lebih untuk menciptakan pandangan-pandangan yang menyinggung sensitifisme sehingga memunculkan konflik yang berujung kepada disintegrasi bangsa.

Politik Identitas adalah politisasi yang mengedepankan identitas, hubungan emosional sebagai dasar untuk merekatkan sikap kolektif atau kebersamaan. Sehingga dasar identitas tadi menjadi dasar bagi komunitas itu dan menjadi nilai-nilai fundamental yang siapa pun menghargai dan menjunjung tinggi nilai tersebut.

Setiap kita setuju dengan identitas sebagai bagian dari latar belakang kehidupan kita dalam bersosialisasi di masyarakat karena memang hal ini melekat dan tumbuh berkembang dan cenderung menjadi dasar prinsip masing-masing dan sifatnya sangat sensitif sehingga tidak bisa semena-mena untu dinafikan bahwa ia hidup dalam kehidupan.

Kita tidak bisa memberikan label bahwa politik identitas adalah sebuah metode berpolitik menyimpang.

Politik identitas adalah salah satu cara yang digunakan oleh para pendahulu kita untuk memerdekakan Indonesia dari genggaman penjajah pada saat itu. Masing-masing daerah, suku, adat istiadat agama, budaya dijadikan sebagai dasar untuk mempersatukan bangsa untuk berjuang bersama memerangi penjajah.

Puncaknya adalah ketika semua perbedaan identitas kemudian mengambil perannya masing-masing yang secara sadar dan ikhlas bersatu dalam keberagaman yaitu pada 28 Oktober 1928 dikenal dengan Sumpah Pemuda yang melahirkan tiga konsensus besar dalam prinsip berbangsa  dan bernegara yaitu berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia sebagai indentitas nasional sebagai muara identitas yang beraneka ragam.

Masa Pemilu akan banyak cara dilakukan oleh peserta pemilu maupun kontestan untuk meningkatkan angka elektabilitasnya termasuk menggunakan politik identitas dengan cara menggunakan identitas kelompok masyarakat dijadikan sebagai isu atau opini untuk diperjuangkan demi mendapat respon positif dari komunitas yang bersangkutan untuk meraih atau memperoleh dukungan elektoral.

Sebagai contoh adalah agama tertentu untuk dijadikan sebagai konsep yang akan dilaksanakan oleh kontestas bila terpilih. Kontestan melakukan safari politik atau pendekatan elektoral kepada organisasi keagamaan tertentu bahkan menawarkan janji atau konsep tentang sesuatu hal yang kurang diperhatikan atau tidak diperhatikan untuk dijalankan ke depan. Hal tersebut dipandang biasa saja selama politisasi identitas dilakukan secara proporsional tanpa menyudutkan pihak lain.

Politik identitas itu tidak akan bisa dipisahkan dalam penerapan politik ala Indonesia karena memang itu menjadi hal yang lumrah dan sudah menjadi tradisi dan sikap kearifan lokal kita sebagai bangsa yang sejak dulu gigih memegang prinsip dan harga diri sebagai sesuatu yang mempunyai value tersendiri.

Perdebatan beda penafsiran politik identitas itu muncul karena dilaksanakan pada tahun politik seperti Pemilu 2019 saat ini. Itulah yang memunculkan banyak kita memaknai sempit arti politik identitas padahal politik identitas itu maknanya luas dan mempunyai "power" untuk mempersatukan bangsa ini seperti halnya Sumpah Pemuda yang para pendahulu kita sudah meciptakannya.

Ditambah lagi dengan manajemen politisi untuk memainkan segala macam cara, mulai dari cara politik etis sampai cara-cara arogan yang tidak mencerdaskan.

Lebih kontras, telah nampak fenomena yang mengedepankan politik identitas khususnya Pemilihan Presiden dan WakIl Presiden. Misalkan saja tanpa menyebut Paslon Nomor Urut berapa, setiap Capres dan Cewapres mau tidak mau, suka tidak suka tidak ada pilihan harus bergelut dalam kontestasi yang sarat identitas.
Sebagai contoh adalah ketika didukung oleh ormas agama tertentu, suku bangsa tertentu katakanlah ketika sebuah marga atau gelar disematkan pada salah seorang Capres atau Cawapres.

Rencana pembebasan Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang baru-baru ini ramai dibicarakan yang saat ini terancam gagal, beberapa waktu yang lalu berkumpulnya umat muslim dalam aksi 212 dengan mendengungkan suara umat Islam, atau yang baru-baru ini viral dimana Presiden yang tidak dipungkiri adalah Capres memborong sabun buatan pengusaha UKM.

Berikutnya ketika kontestan, tim kampanye yang ikut menghadiri perayaan natal atau hari hari besar keagamaan lainnya, imlek misalnya. Tentunya tidak dipungkiri, sesungguhnya telah ada peristiwa politik identitas terjadi karena setiap fenomena di atas melekat masing-masing identitas.

Politisi memperdebatkan pentingnya peran perempuan, partisipasi pemilih para kaum difabel, organisasi kedaerahan, budaya, adat dan tradisi menjadi objek dimana identitas melekat. Pastinya semua itu adalah identitas yang tak mungkin kita ingkari.

Atau sebut saja, ketika Bapak Joko Widodo memilih KH. Ma'ruf Amin sebagai seorang tokoh Islam, Ulama, pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdatul Ulama, sesungguhnya Jokowi telah menerapkan perilaku politik identitas. Ataukah seorang Prabowo Subianto dalam memilih Sandiaga Salahuddin Uno yang mempunyai latar belakang pengusaha dan terkesan mewakili anak muda (tokoh milenial) ataukah kedekatan Prabowo dengan tokoh-tokoh Islam yang dianggap berseberangan dengan rivalnya seperti HRS yang acapkali mengkritik pemerintah juga akan dinilai sebagai bagian dari cara pengaplikasian politik identitas itu sendiri.

Jadi tidak serta merta politik identitas itu bernuansa negatif, itu tergantung cara berpolitiknya dan pola manajemen politik yang dilakukan oleh politisi. Itulah yang menentukan politik identitas mempunyai makna yang etis atau tidak etis.

Pastinya, setiap penerapan politik identitas oleh politisi pasti mempunyai makna tersendiri tergantung penerapan maknanya dari sudut mana dimaknai dan tentunya pola manajemennya harus dilakukan secara etis dan bermartabat tanpa merusak tatanan kebhinekaan kita sebagai bangsa.

Para politisi diharapkan memunculkan kewibawaannya dalam memanajem politisasi identitas secara wajar dan sehat sehingga rakyat menjadi tercerdaskan dalam membangun demokrasi. Politisi tidak memproduksi kabar hoaks dan tidak menyerang identitas lain dalam usahanya mendapat nilai elektoral, tidak menebar upaya propaganda antara identitas satu dengan identitas lain karena memang bangsa kita mempunyai latar belakang identitas yang beraneka ragam dengan segala keunikannya.

Bahkan politisi diharapkan mampu membuat keberagaman identitas menjadi kekuatan besar yang menyokong negara besar yang disegani oleh negara-negara lain di dunia.

Dalam hal ini, penegakan UU Pemilu, PKPU, Perbawaslu dan regulasi terkait harus menjadi aturan main dalam pengaplikasian politik identitas yang dilakukan oleh kontestan maupun politisinya. Wa'bil khusus lembaga pengawas harus peka terhadap penyampaian politik identitas apakah masih on the right track ataukah sudah melanggara regulasi yang ada karena bisa saja ada niat jelek dari politisi busuk untuk merusak nilai-nilai demokrasi.

Penerapan politik identitas hendaknya jangan dibenturkan dan dilakukan dengan cara elegan oleh politisi. Sehingga rakyat tidak dibingungkan dengan suguhan yang sama sekali tidak menarik, justru terkadang lelucon yang tak lucu yang membuat kita hanya bisa terperangah sejenak dan kemudian langsung bisa menebak hasilnya menyinggung publik seperti politik sontoloyo, gendurowo atau tampang boyolali yang tanpa kita sadari sudah menyerang identitas masing-masing yang disebutkan? "hehehe just kidding guys".

Politik ini jangan terlalu dibawa terlalu serius nanti nampak kaku dan menjadi membosankan disuguhkan ke publik.

Politik itu harus terkesan santai tapi mencerdaskan bukan membuat jarak perbedaan, ya kesantunan berpolitik ditunggu publik saat ini.

Kedepan, kami rakyat hanya ingin identitas yang beranekaragam ini bisa dipersatukan dalam kekuatan besar untuk  lebih menjadi objek yang diperhatikan bukan menjadi objek modal untuk dikambing hitamkan karena kepentingan elektabilitas saja.

Siapapun yang akan mendapat mandat rakyat kami berharap identitas-identitas yang sudah ada sejak dulu bisa dijadikan modal besar untuk menjadi identitas nasional yaitu Pancasila yang menjadi pandangan hidup yang terus hidup sebagai identitas besar kita sehingga Indonesia lebih baik dan lebih maju kedepan.

Sehingga cita-cita nasional negara ini bisa diwujudkan sesuai harapan pendiri bangsa yang sudah bermimpi ketika merumuskannya.

(Penulis adalah Direktur Eksekutif JaDI Labuhanbatu Selatan)