![]() |
| Oleh Jeirry Sumampow Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jakarta |
Fakta-fakta yang muncul di sidang DKPP telah terbukti dan diakui oleh para pihak. Karena itu, publik berhak mempertanyakan dasar moral dan rasionalitas DKPP dalam menjatuhkan sanksi yang begitu lunak. Jika dibandingkan dengan sejumlah kasus sebelumnya, di mana pelanggaran etik yang lebih ringan justru berujung pada sangsi yang lebih berat bahkan sampai pemberhentian, putusan kali ini tampak janggal dan tidak proporsional.
Keputusan tersebut menimbulkan kesan kuat bahwa DKPP tidak lagi berdiri tegak sebagai penjaga kehormatan penyelenggara pemilu, melainkan telah bergeser menjadi lembaga yang kompromistis dan berpotensi dipengaruhi kepentingan politik. Dengan demikian, sulit mengharapkan DKPP berperan efektif sebagai benteng moral bagi demokrasi elektoral di Indonesia.
Dalam konteks ini, langkah Komisi II DPR memanggil komisioner KPU patut diapresiasi, namun tidak boleh berhenti sebatas pemanggilan dan klarifikasi. Sebagai lembaga legislatif, Komisi II memang tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi etik seperti DKPP, tetapi memiliki instrumen sanksi politik dan administratif yang tidak kalah penting untuk menjaga integritas kelembagaan, antara lain:
1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk mengevaluasi kinerja dan integritas para komisioner KPU.
2. Menunda atau membatasi pembahasan anggaran KPU, termasuk anggaran tambahan atau program khusus, sampai lembaga tersebut menunjukkan langkah konkret dalam memperbaiki transparansi dan akuntabilitas.
3. Membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki lebih dalam penggunaan anggaran dan potensi pelanggaran hukum dalam kasus jet pribadi tersebut.
4. Memanggil DKPP, bukan hanya KPU, untuk meminta penjelasan terbuka mengenai dasar pertimbangan etik yang melatarbelakangi putusan ringan tersebut.
Langkah-langkah ini sangat penting karena kasus ini bukan hanya pelanggaran individu, tetapi juga mencederai kredibilitas kelembagaan penyelenggara pemilu secara keseluruhan. Bila DPR hanya berhenti pada pemanggilan tanpa tindakan tegas, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap seluruh arsitektur kelembagaan pemilu yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi.
Komite Pemilih Indonesia mendesak Komisi II DPR untuk mengambil langkah tegas, terbuka, dan konsisten, agar kasus ini menjadi momentum pemulihan integritas lembaga penyelenggara pemilu. Demokrasi Indonesia tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh lembaga yang mengabaikan tanggung jawab etik dan moral di hadapan publik.**
(Penulis saat ini aktif sebagai penulis dan aktifis demokrasi pemilu)




