5 Anggota DPR RI Dino aktifkan atau PAW? (photo ist)
GREENBERITA.com- Gelombang penonaktifan anggota DPR oleh tiga partai politik besar menuai perdebatan. Tindakan yang diklaim sebagai bentuk disiplin organisasi ternyata berhadapan dengan realitas hukum yang tidak mengenal istilah "nonaktif".
TIGA dewan pimpinan pusat partai politik memutuskan menonaktifkan sejumlah kadernya dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat per 1 September 2025 dengan berbagai alasan yang dianggap menyakiti hati rakyat.
DPP Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, kemudian disusul oleh DPP PAN yang menonaktifkan Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio serta Surya Utama atau Uya Kuya. DPP Partai Golkar juga memberlakukan kebijakan yang sama. Adies Kadir yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR periode 2024-2029 dinonaktifkan oleh partai pimpinan Bahlil Lahadalia tersebut.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sarmuji menilai keputusan menonaktifkan kader partai itu diambil sebagai upaya menguatkan disiplin dan etika bagi legislator dari fraksi Golkar.
"Mencermati dinamika masyarakat yang berkembang belakangan ini, kami menegaskan bahwa aspirasi rakyat tetap menjadi acuan utama perjuangan Partai Golkar," kata Sarmuji dalam keterangannya pada Minggu, 31 Agustus 2025.
Namun, langkah partai ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah benar anggota DPR bisa dinonaktifkan begitu saja?
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan, mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), istilah "nonaktif" tidak dikenal dalam aturan.
"Yang ada hanya mekanisme pergantian antar waktu atau PAW," kata dia pada Minggu, 31 Agustus 2025 seperti dikutip dari Media Tempo.
Titi menjelaskan, proses PAW diatur dalam Pasal 239 UU Nomor 17 Tahun 2014 juncto UU Nomor 13 Tahun 2019. Mekanisme ini dimulai dari usulan resmi partai kepada pimpinan parlemen, diteruskan ke presiden, hingga keluarnya keputusan presiden untuk memberhentikan anggota DPR yang bersangkutan sekaligus menetapkan penggantinya.
Karena itu, ia menekankan, status nonaktif tidak berimplikasi hukum apa pun.
"Istilah nonaktif tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun," ucapnya.
Bahkan, menurut Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, legislator yang diberhentikan sementara pun tetap menerima hak keuangan. Artinya, Sahroni hingga Adies Kadir tetap mendapat gaji serta berbagai fasilitas dari negara.
"Keputusan nonaktif tidak memiliki dampak terhadap status yang bersangkutan sebagai anggota dewan. Mereka masih berhak menerima gaji dan fasilitas," kata Titi.
Ia menilai penonaktifan ini hanya sekadar manuver politik untuk meredam amarah publik. "Gunakan bahasa yang tegas dan sesuai ketentuan formal. Jangan ambigu," ucapnya.
Lebih jauh, Titi menyarankan para legislator yang dinonaktifkan agar secara sukarela memilih mundur. Menurut dia, langkah itu akan lebih menunjukkan integritas pribadi sekaligus menjaga kredibilitas partai.***(Gb-Ferndt01/reel)