Notification

×

Iklan

Iklan

DPR Pertimbangkan Revisi UU MK Usai Putusan Pemisahan Pemilu Dinilai Lampaui Kewenangan

5 Jul 2025 | 13:13 WIB Last Updated 2025-07-05T06:13:10Z

 

Mahkamah Konstitusi

GREENBERITA.com-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah menuai kritik dari kalangan legislatif. Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Muhammad Khozin, menyatakan bahwa MK telah melewati batas kewenangannya sebagai lembaga yudikatif.


Khozin menilai bahwa MK seharusnya fokus menjaga konstitusi, bukan justru masuk terlalu dalam ke ranah pembentukan undang-undang, yang merupakan kewenangan legislatif dan eksekutif.


“Mungkin saja untuk membahas kewenangan,” kata Khozin saat ditanya kemungkinan DPR akan membuka wacana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Jumat, 4 Juli 2025 di Kompleks Parlemen.


Ia menekankan bahwa kondisi seperti ini berpotensi menciptakan preseden buruk terhadap sistem legislasi nasional. Oleh sebab itu, menurutnya perlu dilakukan pembahasan ulang mengenai batas kewenangan Mahkamah agar tidak dianggap sebagai aktor pembentuk undang-undang ketiga, setelah DPR dan pemerintah.


“Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduk suatu undang-undang, ya dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu,” ujarnya menambahkan, seperti dikutip dari Tempo.


Senada dengan Khozin, Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid juga menyoroti kewenangan MK yang dinilai sering menimbulkan polemik. Ia menyebut, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, substansinya kerap menuai kontroversi.


“Keputusan yang dibuat MK, dengan 9 Hakim Konstitusi sering kali itu menjadi kontroversi,” ujar Jazilul saat ditemui di Kompleks Parlemen di hari yang sama.


Jazilul mencontohkan, ketika MK memutus pemisahan penyelenggaraan pemilu, banyak kader PKB di daerah yang berharap tidak ada perubahan aturan masa jabatan anggota DPRD. Sebab, jika tidak diubah, para anggota DPRD mendapat tambahan masa jabatan dua tahun. Namun, perpanjangan tersebut harus diakomodasi melalui revisi peraturan perundangan.


Ia juga menggarisbawahi dampak lain dari putusan MK, seperti implikasi terhadap masa jabatan penyelenggara pemilu, kebutuhan tambahan anggaran, dan kerumitan teknis pelaksanaan pemilu karena tidak lagi dilakukan secara serentak.


Menurutnya, pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah juga akan menambah beban kerja partai politik.


“Jadi kami kerja dua kali, tidak sesederhana itu,” ujar Jazilul menanggapi dampak praktis bagi partainya.


Sebelumnya, pada 26 Juni 2025, MK mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam perkara nomor 135/PUU-XXII/2024.


Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa jadwal pemilu yang terlalu berdekatan membuat masyarakat kesulitan mengevaluasi kinerja pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Ia juga menilai bahwa hal tersebut berdampak pada stabilitas internal partai.


Saldi menyampaikan bahwa kondisi seperti ini bisa membuat partai kesulitan mempersiapkan kader yang layak untuk kontestasi, serta menyebabkan isu lokal tenggelam di tengah hiruk-pikuk isu nasional.


“Di tengah isu dan masalah pembangunan, yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap jadi yang utama,” kata Saldi, yang juga merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.***(Gb-Ferndt01)