Notification

×

Iklan

Iklan

117 Tahun Jembatan Tano Ponggol, Dibangun Belanda untuk Kurangi Pergerakan Perlawanan Raja Si Singamangaraja XII

15 Mar 2023 | 12:03 WIB Last Updated 2023-03-15T05:04:22Z

Gambar Jembatan Tano Ponggol lama; Ditulis oleh Poltak Manik, SH


GREENBERITA.com- Pada 117 tahun yang lalu tepatnya 17 Maret 1906, penjajah yang sering disebut Kolonialis Belanda melakukan penggalian sebuah terusan yang akhirnya memisahkan antara Pulau Sumatera dan Pulo Samosir.


Terusan Tano Ponggol ini digali untuk mengurangi pergerakan pahlawan Raja Si Singamangaraja XII dan kelompok perjuangannya sehingga gampang ditaklukkan kolonial Belanda.


Dengan kerja paksa warga Samosir khususnya penduduk Pangururan oleh kolonialisme Belanda, memerintahkan pengerahan besar-besaran penduduk melaksanakan penggalian tanah genting itu dengan penyelesaian secepat-cepatnya. 


Ada sebanyak +  1.500 orang langsung dikerahkan menggali tanah genting Siogungogung dan dalam tempo tiga hari (tanggal 17 – 20 Maret 1906) terciptalah kanal / terusan yang langsung menghubungkan Tao Silalahi disisi barat dan Tao Pangururan disisi Timur.


Sekilas Pergerakan Perang Gerilya Raja Si Singamangaraja XII

Penulis: Poltak Manik, SH


Dari catatan-catatan sejarah, maka dapat dirangkaikan perjuangan gerilya Raja Si Singamangaraja XII menentang upaya perluasan wilayah kolonialisasi Belanda di Toba membawa berbagai dampak yang ditimbulkannya baik langsung atau tidak, baik dari sisi Kolonial Belanda maupun sisi yang ditimbulkan oleh rombongan pasukan Raja Si Singamangaraja XII baik terhadap masyarakat maupun terhadap lingkungan, artinya perang gerilya yang dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XII di Toba membawa dampak-dampak langsung dalam kehidupan saat itu (Catatan: tulisan ini juga sekaligus menghimbau agar Pemerintah harus secara tegas menertibkan cara penulisan Raja Si Singamangaraja XII, sebab Penulis menemukan justru terdapat dibeberapa tempat bahkan Institusi resmi tidak dengan cara benar menuliskan nama Raja Si Singamangaraja XII yang sudah ditetapkan Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional);


Perlawanan Raja Si Singamangaraja XII terhadap Kolonial Belanda dalam tulisan ini sesungguhnya hanya berbentuk “Prolog Pengaruhnya” dalam sekuel singkat bahkan terbilang tidak akan ada pengisahan secara langsung pertempuran Raja Si Singamangaraja XII, hanya sebatas pada dampak yang diakibatkan perjalanan perang gerilya Raja Si Singamangaraja XII saja yang malahan sudah memicu respon besar dari Pejabat Kolonial Belanda ketika Pejabat Kolonial (Pemimpin Sipil sekaligus Pemimpin Militer Kolonial) dari Sibolga melakukan pengejaran dan berupaya menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII beserta pasukannya di Dairi dan Samosir;


Toba Klasik adalah masa sebelum: 1. penyerbuan pasukan Padri sekitar tahun 1925 dari Minangkabau yang dipimpin oleh Pokki Nangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao dan, 2. kehadiran Kaum Misionaris Eropah maupun: 3. kehadiran Kolonial Belanda, maka penduduk Toba dalam kurun waktu sangat lama berhubungan dengan dunia luar melalui pantai barat Sumatera yakni kota pelabuhan Sibolga dan Barus (bukan melalui pantai timur karena akses Balige-Pematang Siantar baru terbuka dan selesai sekitar tahun 1910 sejak kehadiran Kolonial Belanda).


Itulah sebabnya baik Kaum Misionaris maupun Kolonial untuk memasuki wilayah Toba memilih jalur pantai barat dan malahan Kolonial Belanda menempatkan pusat administrasinya awalnya di Padang Sidempuan dan daerah sekitarnya (Douwes Dekker pertama kali bertugas di Natal) maupun kota Sibolga sebagai Ibukota Keresidenan Tapanuli (semua di Pantai Barat Sumatera);

Jembatan Tano Ponggol yang baru 


Setelah Belanda melewati fase perang Bonjol (Perang Padri) di Minangkabau, maka selanjutnya melakukan perluasan wilayah hingga ke Tanah Batak (Batak Landen) yang masih merdeka (namun kaum Misionaris sudah mendahului Kolonial), Kolonial Belanda mulai masuk sekitar tahun 1833 dan pada tahun 1871 melakukan pendudukan secara militer ke pedalaman hingga ke Silindung (Tarutung) yang pada tahun-tahun selanjutnya diikuti dengan menempatkan Kontelir P.A.L.E van Dijk di Taurutung dan Kontelir L.C. Welsink di Balige.


Perlu dicatat Patuan Bosar (Oppu Pulo Batu) ditabalkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1875, tak lama setelah Raja Si Singamangaraja XI wafat, yang berkuasa + 50 Tahun, setelah Raja Sisingamangaja X yang tewas saat serangan Paderi Tahun 1825), tercatatlah sejak itu L.C Welsink  merupakan seteru langsung Raja Si Singamangaraja XII, bahkan hingga L.C Welsink ditarik kembali ke Padang Sidempuan hingga selanjutnya diangkat menjadi Residen Tapanuli, perseteruan mereka tetap berlangsung (bahkan kematian keduanya Tokoh inipun hanya terpaut setahun, L.C Welisnk meninggal tahun 1908 karena sakit); 


Memasuki tahap-tahap kritis perjuangan Raja Si Singamangaraja XII, Kolone van Daalen (Kolone I) dari Bireuen Aceh Februari 1904 dikirim memeranginya namun gagal menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi yang setelah itu van Daalen sudah memasuki persiapan akan menggantikan kedudukan J.B van Heutsz menjadi Gubernur Militer Aceh di Kutaraja (J.B van Heutsz akan diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda), maka tindak lanjut berikutnya pada Oktober 1904 diberangkatkan lagi Kolone H. Colijn (Kolone II) dari Medan ke Dairi yang berakhir pada Maret 1905 dengan hasil sama tetap tidak dapat menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII;


Tahun 1905 itu juga setelah L.C Welsink diangkat sebagai Residen Tapanuli (masih berkedudukan di Padang Sidempuan) menerima laporan van Daalen dan  H. Colijn, lalu L.C Welsink mengirim nota kepada Gubernur Pesisir Barat Pulau Sumatera di Padang yang selanjutnya diteruskan kepada Gubernur Jenderal di Batavia;


Nota Welsink ini mengusulkan agar pusat pengendalian dan penguasaan (aneksasi) Pemerintah Kolonial secara tuntas seluruh Tapanuli maka harus dipusatkan di Siborongborong mengingat lokasinya yang sangat strategis terhadap seluruh penjuru Tapanuli sampai keperbatasan Aceh dan Sumatera Timur, sehingga lebih memudahkan upaya menangkap Raja Si Singamangaraja XII yang belum berhasil ditaklukkan;


Namun usul Welsink ini dibalas dari Batavia dengan Pengangkatan L.C Welsink sebagai Residen Tapanuli sekaligus memerintahkan agar bersama H. Collijn menyusun Laporan Lengkap Tentang Seluruh Tapanuli dan Upaya Menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII dan laporan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal di Batavia, sehingga sejak 1905 peta wilayah kekuasaan Kolonial Belanda sudah mengalami perluasan luar biasa, tinggal daerah-daerah yang masih dianggap dibawah kekuasaan dan pengaruh Raja Si Singamangaraja XII saja yang tidak ethis belum dimasukkan sebagai daerah kekuasaan Belanda (kelak karier  H. Collijn ini terus naik hingga dipercaya menjadi Menteri Jajahan Kerajaan Belanda);


L. C.  Welsink di Samosir.


Dengan jabatan dan kedudukan sebagai pengendali langsung kekuasaan kolonial di Tapanuli dan seluruh data-data mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai Residen Tapanuli, maka selanjutnya adalah memetakan dan menuntaskannya di lapangan, yang tentu masih terganjal dengan satu-satunya penghalang besar yakni, Raja Si Singamangaraja XII yang belum jua mampu ditaklukkannya akan tetapi harus selekasnya ditaklukkan dan harus bertekuk lutut dihadapannya dalam kapasitasnya sebagai Residen Tapanuli yang turun tangan langsung menyerang agar dengan tangannya sendiri Raja Sisingamangaraja XII ditaklukkan, untuk itu segala sesuatunya dipersiapkan  secara detail, termasuk informasi sangat penting dari tokoh intelijen kolonial W.K.H Ypes, lalu dibentuklah Kolone Welsink (Kolone III) untuk memerangi dan menangkap atau menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII (Kelak Kolone Crijstoffel (Kolone IV) lah yang berhasil menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII, sebelumnya belum terhitung penyerangan yang dilakukan termasuk oleh Kontelir P.A.L.E van Dijk yang juga tidak berhasil menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII, bahkan peperangan sebelumnya  langsung berhadapan dengan L.C Welsink di Toba);


Informasi intelijen tentang keberadaan Raja Si Singamangaraja XII sudah diketahui  secara pasti yakni di daerah Samosir hingga ke daerah Dairi, maka konsentrasi pengepungan memetakan dan memilih alternatif-alternatif jalur penyergapan kesana (tepatnya Parbuluan), --sekali lagi Kolone ini langsung dipimpin oleh L.C Welsink Residen Tapanuli yang baru saja diangkat— maka dipilihlah jalur dari: Siborongborong – Dolok Sanggul -  Pollung – Lintong Nihuta (kampung Oppu Babiat Situmorang) – Parbuluan – Sidikalang (pada masa ini jalan belum dibuka, kelak setelah Raja Si Singamangaraja XII wafat barulah Kolonial Belanda memaksa Penduduk Samosir dan Parbuluan bekerja rodi membuka jalan raya dari Pangururan hingga ke Tele, dari Tele ke Pollung (Humbang) dan Tele ke Sidikalang (Dairi).


Jalan ini untuk pertama kalinya jalan ini sudah dilewati Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada Agustus 2019 lalu.


Sepanjang perjalanan itu, rombongan L.C Welsink tidak menemukan titik terang keberadaan dan upaya penaklukan Raja Si Singamangaraja XII, sebagai konsekwensinya sepanjang yang dilalui itu pula seluruh Kepala Kampung dan Pertaki (di Sidikalang Kepala Kampung disebut Pertaki) dipaksa menanda tangani surat Kepatuhan dan Penundukan kepada Kolonial Belanda (7 Maret 1906 di Sidikalang) sekaligus pula diangkat Letnan van Vuuren sebagai  Penguasa Sipil (Civiel Gezaghebber) untuk Wilayah Dairi, lalu rombongan L.C Welsink melanjutkan perjalanan  ke Paropo Silalahi (pantai Barat Danau Toba), karena kapal berupa Solu Bolon maupun  Kapal Api penjemputan ke Balige sudah disuruh menunggu di Paropo dan dari sana hendak dilanjutkan perjalanan ke Pangururan di Samosir lebih dahulu; 


Rombongan L.C Welsink tiba di Pangururan pada tanggal 17 Maret 1906, suatu rombongan besar tiba-tiba datang mendarat di Pangururan, tentu berlabuh disisi Barat Pangururan (arah Pantai Tao Silalahi) sebab arah kedatangan rombongan ini dari Silalahi, yang tentu disambut sangat dingin oleh Penduduk Pangururan dan sekitarnya, sebab masih trauma atas peristiwa setahun sebelumnya dimana rombongan pasukan Kontelir Tarutung sudah menyerang berbagai Huta di Pangururan dan sekitarnya dan menewaskan banyak penduduk Pangururan, karena memang sampai akhir hayatnya Raja Si Singamangaraja XII masyarakat Samosir (kecuali masyarakat Limbong yang secara terang-terangan menyatakan takluk terhadap Belanda) tetap memberikan dukungan dan kepatuhan yang tinggi atas perjuangan Raja Si Singamangaraja XII;


Namun Residen L.C Welsink dalam kapasitasnya sebagai Penguasa tersebut lalu memerintahkan pasukannya menaklukkan beberapa Raja Huta yang belum tunduk di seluruh Samosir, sehingga terjadi perlawanan penduduk namun karena kekuatan persenjataan yang dimiliki sangat lengkap maka dalam waktu singkat Samosir ditaklukkan oleh LC. Welsink, meskipun tetap saja masih ada Pemimpin-pemimpin rakyat yang tidak bersedia menyerah, misalnya di Hutanamora ada terdapat aliran Kepercayaan pengikut Raja Si Singamangaraja “Sihudamdam” (Pemimpin terakhirnya adalah Raja Utar Simbolon bergelar PARHUDAMDAM) tetap melakukan perlawanan menentang Kolonial Belanda, namun dalam pertempuran menghadapi pasukan L.C Welsink ini ada yang sampai gugur dan dikena dengan Perang Sidamdam yang dipimpin oleh Raja Marhehe Malau, yang kini makam Para Pejuang Yang Gugur itu menjadi Makam Pahlawan di Rianiate sampai sekarang;

    

Sesampainya Residen L.C Welsink dan rombongan di Pangururan sementara waktu dapat melupakan seterunya Raja Si Singamangaraja XII dengan melihat fakta, Kapal Motor miliknya maupun Kapal-kapal atau Solu Bolon milik rombongannya tidak dapat melintasi Pangururan untuk meneruskan pelayarannya dari Pangururan ke Balige, karena terhalang oleh adanya daratan di Siogungogung yang tetap menyatu menyambung kaki Gunung Suci Batak “PUSUK BUHIT” daratannya hingga menajur ke Pangururan sebagai TANAH GENTING lebarnya 1.200 Meter (tidak sampai 1.500 Meter seperti banyak dibahas selama ini) yang merupakan satu-satunya tanah persambungan ke daratan Samosir, lalu Residen Tapanuli inipun memerintahkan penggalian bidang tanah genting itu menjadi “alur terusan yang menghubungkan Danau Toba sisi Barat ke sisi Timur” agar langsung bisa dilayarinya dan rombongannya menuju Balige;


Penggalian tanah genting itu memang menjadi sangat urgent (penting dan sangat mendesak) bagi sang Residen saat itu, sebab secara matematis hanya ada tiga pilihan jika rombongan itu tetap menggunakan Kapal-kapalnya ke Balige, yakni: pertama, memutar haluan kembali kejalur kedatangan tetapi terus lurus melewati lebih dua pertiga panjang Danau Toba (sepanjang + 90 Kilometer atau 56 Mil dari perkiraan 140 Kilometer panjang Danau Toba)  atau kedua: pilihan kedua memerintahkan mengangkut kapak-kapal rombongan itu melewati daratan Pangururan hingga ke danau sisi timurnya, atau pilihan ketiga, memerintahkan pengerahan besar-besaran penduduk Pangururan melaksanakan penggalian tanah genting itu dengan penyelesaian secepat-cepatnya, yang nampaknya Sang Residen memilih alternatif ketiga, terbukti ada sebanyak +  1.500 orang langsung dikerahkan hari itu juag menggali tanah genting Siogungogung dan dalam tempo tiga hari (tanggal 17 – 20 Maret 1906) terciptalah kanal / terusan yang langsung menghubungkan Tao Silalahi disisi barat dan Tao Pangururan disisi Timur yang dengan sendirinya akan memperpendek jarak tempuh rombongan itu dari Pangururan ke Balige (menjadi sekitar + 50 Kilometer atau 31 Mil);


Peristiwa-peristiwa Penting Seputar Penggalian Kanal Siogungogung.


Penggalian “terusan / kanal” Siogungogung yang kemudian lebih dikenal dalam Bahasa Batak Toba sebagai “Tano Ponggol” (Tanah Yang di Patahkan), atas perintah L.C. Wesink yang merupakan Residen Tapanuli yakni Penguasa Kolonial Belanda Sipil Militer (Oktober 1898 – Juni 1908), dapat dianalisa adalah atas dorongan beberapa hal, yakni:


Secara langsung mengamati wilayah Samosir yang masih kuat dugaan L.C Welsink, Raja Si Singamangaraja XII bersembunyi di Samosir, sebab dalam pengepungan di Dairi rombongan ini tidak dapat menemukan jejak pasti seterunya itu dan tujuan utama ke Pangururan adalah tetap dalam rangka mengejar dan hendak menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII;


Secara politis, sang Residen telah menancapkan kekuatan dari kekuasaan yang digenggamnya atas rakyat Samosir yang sudah ditaklukkannya dengan memaksa penduduk Pangururan kerja paksa menggali terusan itu;


Merencanakan proyek-proyek yang segera dilaksanakan di Samosir yakni pembangunan jalan-jalan utama dan jalan-jalan penghubung, penempatan Kantor-kantor dan Jawatan Kolonial di Pangururan; 


Melihat potensi pengembangan usaha dan ekonomi, apakah pengembangan pertanian, perikanan atau peternakan sebab cita rasa khas beras dari Samosir (utamanya dari Tamba dan Simbolon) sangat terkenal di seantero Toba demikian juga peternakan Kerbau yang sangat banyak populasinya di Samosir;  


Melihat dari dekat praktek dan pelaksanaan Kepercayaan Batak Klasik, yakni SIPELE BEGU yang tercatat terdapat semacam RUMA PARSAKTIAN (Rumah Ibadah) di Huta Sitakkaraen (Naibaho Sitakkaraen - Onan Lama / Kelurahan Pasar Pangururan sekarang);


Mempelajari secara langsung sistem Tatanan Sosial Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Bius di Samosir;


Termasuk menikmati hidangan Rakyat Pangururan diantaranya arak lokal yang dikenal dengan TUAK TAKKASAN (hasil fermentasi air nira murni dengan kulit kayu kering jenis tertentu, sehingga menghasilkan kandungan alkohol sampai 8-10%), yang ternyata sangat disukai dan dinikmati oleh Sang Residen maupun seluruh rombongannya;


Bahwa dari fakta-fakta tersebut, sesungguhnya penggalian “terusan / kanal” Siogungogung tersebut sangat besar peranan dan pengawasan langsung dari L.C Welsink yang simbolik secara sosial politik memiliki keterkaitan dengan upaya L.C Welsink mengejar dan menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII msekipun tidak pernah tercapai sesuai harapannya tangannya sendiri yang harus menaklukkan Raja Si Singamangaraja XII yang sudah menjadi seterunya sejak L.C Welsink menjadi Kontelir di Balige tahun 1875; 


L.C. Welsink juga hendak mematahkan sikap dan kepercayaan “mistis” penduduk Pangururan (Samosir) yang mengklaim jika “tanah tajur atau tanah genting” yang menyambungkan daratan kaki Gunung Suci  Pusuk Buhit dengan daratan Samosir adalah bentangan jalan roh-roh leluhur di Pusuk Buhit, sehingga jikalau penggalian terusan/kanal itu dilakukan dapat menimbulkan kemarahan besar dari roh-roh leluhur tersebut lalu mengakibatkan seluruh daratan Samosir akan tenggelam ditelan Danau Toba;


Maka untuk membuktikan ucapannya tersebut, pada hari ketiga sebelum galian terakhir yang akan langsung mengalirkan air danau dari kedua kutub terusan/kanal, L.C Welsink memerintahkan seluruh penduduk yang takut jikalau daratan Samosir akan segera tenggelam seusai galian terakhir agar berdiri menyaksikannya sendirian dari Siogungogung seberang Samosir, apakah Samosir akan tenggelam atau tidak setelah galian itu, yang ternyata daratan Samosir tidak terbukti tenggelam;


Nama Kapal Api yang digunakan oleh Residen L.C Welsink dari Balige diberi nama WILHELMINA yakni nama Ratu Belanda yang menggantikan ayahnya Raja Willem III, sehingga dapat dipastikan Kapal Api pertama yang melintasi “terusan/kanal” Siogungogung itu adalah Kapal Api Wilhelmina kepunyaan sang Residen Tapanuli itu, atau bahkan Kapal Api pertama yang mengarungi Danau Toba (kecuali didahului Kaum Missionaris yang sudah lebih dulu hadir di Toba dibandingkan Kolonial Belanda, dari berbagai catatan Missionaris pertama dari Balige ke Nainggolan berlangsung pada tahun 1893, yakni Pdt. J. Warneck);


Bahwa atas adanya nama Wilhelmina atas terusan ini maka terdapat perbedaan pandangan, ada yang mengatakan sejak selesai digali tanggal 20 Maret 1906 maka Residen Tapanuli L.C Welsink menamainya “Terusan Wilhelmina” dengan mengambil nama Ratu Belanda yang sekaligus juga maupun Kapal Api yang digunakannya namun ada juga pandangan dari penduduk Siogungogung, setelah L.C Welsink meninggalkan Pangururan, maka Kontelir Stamp di Pangururan melanjutkan pelebaran dan perbaikan Terusan / Kanal itu, pada tanggal 31 Agustus 1913 bersamaan dengan Ulang Tahun Ratu Wilhelmina dilakukan Peresmiannya di Belanda langsung oleh Ratu Wilhelmina (tambahan lagi bahwa  pada tahun 1949 saat Agresi Belanda II, dilakukan pelebaran dan perbaikan Terusan / Kanal Siogungogung itu sekaligus perayaannya menggunakan nama Terusan Tano Ponggol Ratu Wilhelmina yang menjadi propaganda Belanda); 


Manakah diantara keduanya yang sahih tentulah menjadi sejarahnya masing-masing, akan tetapi ternyata sangat banyak penduduk Samosir yang sama sekali tidak pernah mendengar atau mengetahui jikalau “terusan/kanal” Siogungogung tersebut dahulu dinamai sebagai “TERUSAN TANO PONGGOL WILHELMINA;”


Sejak penggalian terusan/kanal Siogungogung tersebut, Penduduk Pangururan (Samosir) menamainya sebagai ‘TANO PONGGOL’ (sampai sekarang sangat melekat dan menjadi nama resmi) yang dapat diartikan secara fisik dan mistis: 


secara fisik maka telah membiarkan dan mengalirkan air Danau Toba memisahkan daratan kaki Gunung Suci Pusuk Buhit  dengan daratan Samosir;


secara mistis maka terpotong lah seluruh “amarah dan murka” Roh-roh Para Leluhur, meskipun jalan perlintasan Para Roh-roh Leluhur itu sudah  dipatahkan (diponggol) menjadi “terusan / kanal” menyambungkan permukaan Danau Toba disisi barat dengan sisi timur;   


Tano Ponggol Masa Kini.


Dapat dikatakan “terusan / kanal” Siogungogung atau Tano Ponggol ini merupakan Terusan/Kanal Terpendek di dunia atau setidaknya salah satu “terusan/Kanal” terpendek di dunia, sebab hanya memiliki panjang 1.200 Meter, yang jika di perbandingan dengan pemintasan atas lintasan danau yang seharusnya ditempuh sepanjang +  140.000 Meter ( + 140 Kilometer) hanya sekitar 0,86%;


Pengerukan dan pelebarannya sejak digali tahun 1906, telah terdapat beberapa kali, pada tahun 1970-an, tahun 1980-an, tahun 2009 (setelah Kabupaten Samosir) dan kini sedang pengerjaan menjadi salah satu penunjang Kawasan Danau Toba sebagai Tujuan Wisata Unggulan Nasional, kini diperbaiki  dan diperlebar menjadi 80 (delapan puluh) meter dengan panjang 1.200 meter, sementara jembatan penghubung daratan Kaki Pusuk Buhit dengan daratan Samosir juga dibangun JEMBATAN DALIHAN NATOLU yang representatif; 


Pembangunan berupa pelebaran dan pengerukan Alur Tano Ponggol pada tahun 2020-2021 ini, semakin menunjukkan keindahan dan keagungannya apalagi Jembatan Dalihan Natolu selesai kelak yang pengerjaannya sedang berlangsung saat ini, semakin menambah nilai misi awalnya, kini: Terusan Tano Ponggol merupakan Terusan Terpendek di Dunia, dahulu bernama Terusan Tano Ponggol  Wilhelmina, dibangun sebagai dampak / pengaruh langsung serta bagian memerangi Raja Si Singamangaraja XII oleh Residen Tapanuli L.C Welsink;

  

Dalam catatan Wikipedia, dicatat bahwa Tano Ponggol adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Pulau Samosir dengan Pulau Sumatera, tentu pantas diperdebatkan pengertian demikian yang berbeda dengan fakta sesungguhnya;


Perbedaan dengan pengertian sebagaimana ditulis dalam Wikipedia tersebut, maka Tano Ponggol adalah sebagaimana diuraikan diatas setelah dbidang tanah genting itu dipotong (digali) maka terpisahlah tanah daratan kaki Gunung Suci Pusuk Buhit dengan tanah daratan Samosir yang awalnya menyatu disambungkan tanah genting Siogungogung dengan daratan Samosi yang hampir 99,9% dikelilingi oleh Danau Toba, kini menjadi  terusan / kanal “untuk menyambungkan Danau Toba pada sisi barat dan sisi timurnya,” sehingga bukan daratannya yang disambungkan tetapi kedua sisi danau yang disambungkan, itu letak perbedaan;  


Yang menghubungkan daratan kaki Gunung Suci Pusuk Buhit dengan daratan Samosir adalah Jembatan beton yang saat ini pembangunan Jembatan Dalihan Natolu itu dilaksanakan sekaligus mengimbangi perluasan dan pendalaman alur Terusan Tano Ponggol, disebut JEMBATAN DALIHAN NATOLU sesuai namanya akan dibangun tiang / kakinya berjumlah tiga;


Sekali lagi, pengertian Tano Ponggol dalam Bahasa Batak Toba sesungguhnya adalah TERUSAN / KANAL, dengan tulisan ini Penulis mengajak dan menghimbau Masyarakat Pangururan (Samosir) mengambil sikap dan peranan penting ini apakah berkenan mengembalikan nama Terusan / Kanal yang sering disebut Tano Ponggol itu menjadi TANO PONGGOL WILHELMINA, lalu tidak kalah penting juga harus dapat memilih tanggal pengukuhannya menurut tanggal pembuatannya tanggal 17 Maret 1906 atau saat selesai pada tanggal 20 Maret 1906 ataukah menurut perhitungan Peresmiannya yang dilakukan bersamaan saat Ulang Tahun Ratu Wilhelmina pada Tanggal 31 Agustus 1913 dari Negeri Belanda, sekali lagi melalui tulisan singkat ini Penulis ingin menggugah masyarakat Pangururan (Samosir) menuntaskan hal-hal terakhir ini dalam suatu rembuk dan kesepakatan bersama, karena semuanya tentu memiliki faktor-faktor historis yang mengagumkan;


Maka akan sangat menarik, jika kelak seluruh rangkaian pembangunan proyek Terusan Tano Ponggol selesai ternyata Rakyat Pangururan (Samosir)-pun sudah selesai dan sepakat menentukan tanggal resmi peringatan Tano Ponggol lengkap dengan namanya dan mari bersama Penulis ikut berkontribusi mensosialisasikan, maka semakin menyempurnakan pembangunan proyek tersebut (kini telah berusia 116 Tahun 1906-2022. Horas…Horas…Horas !!!!


(Penulis saat ini melayani sebagai seorang advokat di kawasan Danau Toba dan berpraktek di Kota Pangururan)


Daftar Literatur / Bacaan:


Batara Sangti (Ompu Buntilan) Simanjuntak, “Sejarah Batak,”         Penerbit:  Karl 

Sianipar Company, Balige, 7 April 1977;


Bungaran Antonius Simanjuntak,    “Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba 

hingga 1945” Penerbit Yayasan Pustaka Obor, Jkt, Thn 2006;


Ihromi, T.O (Editor) “Pokok-pokok Antropologi Budaya,” Penerbit: Yayasan Pustaka 

Obor, Jakarta, Cetakan ke-16 (Edisi Terbaru), Tahun 2016;

Lance Castles, “Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera Tapanuli 1915-

1940”, Penerbit: KPG Jakarta, Cetakan Pertama, November 2001;


Multatuli, “Max Havelar,”      Alih Bahasa Andi Tenri W.,   Penerbit:   Narasi, 

Yogyakarta Cetakan Keempat, Tahun 2019;


Nalom Siahaan, “Sedjarah Kebudajaan Batak”,    Penerbit:  CV. Napitupulu & Sons, 

Medan,  Cetakan Pertama, Tahun 1964;


Sidjabat, Prof. Dr. W.B.,     “Ahu Si Singamangaraja,”    Penerbit:     Sinar Harapan, 

Jakarta, Cetakan Kedua Tahun 1983;


Sitor Situmorang   “Toba Na Sae,”    Penerbit: Komunitas Bambu, Jkt, Tahun 2004;


Mangaradja Onggang Parlindungan,            “Pongki Nagolngolan Sinambela gelar 

Tuanku Rao,” Penerbit: LKiS, Yogyakarta, 2007