Notification

×

Iklan

Iklan

Marak Bencana Alam, KLHK Bantah Tudingan Obral Ijin Garap Hutan

27 Jan 2021 | 13:32 WIB Last Updated 2021-01-27T06:53:03Z

 Nunu Anugrah dalam rilis pada media
GREENBERITA.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah keras tudingan beberapa pihak, perihal obral ijin yang disebut terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya. Informasi yang tidak valid ini memaksa KLHK harus membuka data demi keadilan informasi di publik.


''Hal paling penting bagi Indonesia sebenarnya adalah langkah-langkah perbaikan lingkungan yang konsisten ke depan. Namun sayangnya di situasi bencana, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dengan obral data yang tidak benar ke publik. Kewajiban kami adalah meluruskan informasi tersebut, sehingga publik mendapatkan referensi yang tepat,'' tegas Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugrah dalam rilis pada media, Rabu (27/1/2021).


Data KLHK menunjukkan luas areal pemberian ijin kawasan hutan dari berbagai periode pemerintahan, baik untuk kebun, HPH, HTI ataupun tambang/IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Data ini penting disampaikan karena banyak dikaitkan dengan sumber penyebab terjadinya bencana alam akhir-akhir ini.


Dijelaskan bahwa selama periode 1984-2020 terdapat pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta hektar, di mana 746 ijin seluas 6,7 juta hektar, atau lebih 91%-nya diberikan sebelum Presiden Jokowi memulai pemerintahan pada akhir Oktober 2014.


Di era Presiden Jokowi hingga tahun 2020, ada ijin 113 unit seluas lebih dari 600 ribu hektar, di mana 22 lokasi tersebut dengan luas lebih dari 218 ribu hektar telah memperoleh persetujuan prinsip pelepasan diantara tahun 2012-2014.


''Dengan demikian, lebih dari 91% pelepasan kawasan hutan, atau seluas lebih dari 6,7 juta hektar, selama 36 tahun terakhir, berasal dari era sebelum Pak Jokowi dan Ibu Siti Nurbaya menjabat,'' ungkap Nunu.


Sementara itu data HTI (Hutan Tanaman Industri), hingga Desember 2020, tercatat ijin dikeluarkan lebih dari 11,2 juta hektar. Khusus untuk di era Presiden Jokowi dan Menteri LHK Siti Nurbaya, ijin dikeluarkan sebanyak 1,2 juta hektar atau hanya 10,7 % dari keseluruhan ijin yang diberikan sebelumnya.


''Itupun dari ijin tersebut, hampir 590 ribu ha sebenarnya telah memperoleh persetujuan prinsip dari Menteri tahun 2011-2014. Jadi sebenarnya ijin yang dikeluarkan di era Presiden Jokowi hanya seluas 610 ribu ha lebih, atau 5,4% ijin HTI yang telah diberikan sampai dengan Desember 2020,'' jelas Nunu.


Sedangkan hutan alam atau HPH tercatat ijin seluas 18,7 juta hektar yang diberikan sampai Desember 2020. Selama 2015-2020 era pemerintahan Presiden Jokowi, dikeluarkan ijin seluas 291 ribu hektar atau setara dengan di bawah 1,6% dari luas total yang diberikan. Artinya lebih dari 98% ijin HPH sudah ada di era sebelum Presiden Jokowi.


Khusus untuk ijin tambang/IPPKH yang diberikan dalam kawasan hutan, totalnya lebih kurang 590 ribu hektar sejak orde baru hingga tahun 2020. Sementara di tahun 2015-2020, ijin yang keluar seluas 131 ribu ha atau lebih dari 22%. Artinya ijin tambang terbesar, lebih dari 300 ribu ha, atau lebih dari 50% diberikan selama periode 2004-2014. 


''Dari ijin seluas 131 ribu Ha ijin IPPKH selama era Presiden Jokowi, seluas 14.410 Ha atau sebanyak 147 unit ijin, adalah untuk prasarana fisik umum seperti untuk  jalan, bendungan, menara seluler dll. Sedangkan ijin tambang dalam rangka ketahanan energi nasional listrik 35.000 MW dan batubara, seluas lebih kurang 117 ribu ha,'' ungkapnya.


Seluruh IPPKH yang diterbitkan KLHK, jelas Nunu, telah sesuai ketentuan teknis dan hukum, serta dilengkapi dengan ijin Sektor (IUP/KK/PKP2B/IUPTL), Dokumen Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), dan rekomendasi Gubernur). 


Terhadap kegiatan pertambangan mineral dan batubara, KLHK juga sudah memberlakukan pengendalian penggunaan kawasan hutan. Antara lain dengan tidak menerbitkan IPPKH baru pada areal kawasan hutan yang masuk dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian ijin Baru (PIPPIB) moratorim hutan primer dan gambut, serta pada area dalam Peta Indikatif TORA dan pada areal ijin Perhutanan Sosial. 


Selain itu dilakukan pembatasan kegiatan minerba dengan kuota maksimal 10% dari luas areal ijin pemanfaatan atau pengelolaan hutan. Menteri LHK Siti Nurbaya juga membatasi luasan IPPKH untuk kegiatan minerba paling luas untuk 1 (satu) IPPKH adalah 1.000 Ha.


''Secara umum luas areal ijin tambang dalam kawasan hutan  jauh lebih kecil dibanding dengan ijin-ijin yang diterbitkan oleh Pemda/instansi terkait di luar kawasan hutan, termasuk illegal mining operations yang telah berjalan bertahun-tahun hingga puluhan tahun sebelum era Presiden Jokowi,'' kata Nunu.


''Oleh karena itu, kebijakan pemulihan lingkungan dan law enforcement menjadi komitmen kuat yang dijalankan pada pemerintahan ini. Gakkum KLHK yang baru terbentuk di 2015 bekerja sangat keras, melakukan hal yang mungkin hampir tidak terdengar sebelumnya,'' jelas Nunu.


Tidak hanya menghentikan obral ijin dan melakukan penegakan hukum lingkungan, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi juga terus menggeser penguasan ijin untuk swasta, dan lebih berpihak ke masyarakat. 


Sebelum tahun 2015, ijin dikuasai perusahaan hingga mencapai 95,76 %. Sementara ijin untuk masyarakat hanya mendapatkan alokasi 4,14 %. Kondisi miris ini kemudian perlahan berubah mulai dari tahun 2015 sampai dengan memasuki tahun 2021.


''Alokasi ijin untuk masyarakat melalui program Perhutanan Sosial dan TORA, saat ini telah meningkat hingga mencapai 18,4%. Per Desember 2020, realisasi ijin hutan sosial untuk masyarakat mencapai 4.417.937,72 ha, dengan penerima manfaat sekitar 895.769 KK. Terdapat 6.798 unit SK yang diberikan kepada rakyat, bukan pada korporasi. Angka ini akan terus meningkat dan berpihak kepada rakyat,'' jelas Nunu. 


Pelibatan masyarakat juga menjadi salah satu kunci KLHK dalam melakukan rehabilitasi atau pemulihan lingkungan. Diantaranya melalui program Kebun Bibit Desa, Kebun Bibit Rakyat, dan berbagai program padat karya lainnya.(