Notification

×

Iklan

Iklan

Mengenal Tradisi Martorda di Adat Batak Samosir

13 Jul 2020 | 20:45 WIB Last Updated 2020-07-13T14:02:51Z
Sudung Simbolon, salah satu Raja Bius warga Huta Sitonggi-tonggi Desa Lintongnihuta Kecamatan  Ronggurnihuta, Kabupaten Samosir sedang memandu kegiatan acara Adat Martorda

GREENBERITA.com- Akibat masuknya budaya modern terutama dari budaya luar di zaman 4.0, banyak kalangan muda orang Batak mulai melupakan tradisi dan budaya leluhurnya.

Belum jelas apa penyebabnya, apakah model pewarisan budaya yang kurang ataukah  mereka sendiri yang kurang tertarik dengan segala macam yang berhubungan dengan hal-hal tradisional berbau budaya batak sehingga takut disebut kampungan atau ketinggalan zaman. 

Atau kemajuan zaman dan teknologi yang semakin canggih ini dan pengaruh lingkungan perkotaan yang heterogen yang semakin menjauhkan mereka dari akar budayanya? 
Belum ada penjelasan resmi tentang tapi bila situasi ini dibiarkan berlarut-larut maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan Batak akan semakin terdegradasi bahkan bisa saja punah.

Salah satu tradisi budaya batak dari sekian banyak tradisi lainnya dilingkungan adat Batak Toba adalah Tradisi Martorda.

Bagi kalangan kaum milenial suku Batak kemungkinan banyak yang tidak mengerti dan mengetahui lagi terutama yang tinggal di perantauan sebab banyak yang sudah terpengaruh dengan budaya lain termasuk budaya barat.

Tradisi Martorda adalah kegiatan yang dilakukan raja-raja bius Batak, dimana mereka menyembelih atau memotong pinahan sigagat duhut (seperti kuda, sapi dan kerbau) untuk kemudian dibagikan kepada para natua-tua nihuta (tetua kampung) yang dalam budaya Batak sering disebut Raja Bius, Tunggani Nihuta (pemilik kampung), hombar balok (penghuni perbatasan kampung) dan marga-marga yang ada di daerah tersebut.

Acara ini tidak dilakukan pada semua kegiatan budaya Batak namun hanya pada beberapa acara adat seperti ketika selesainya sebuah pesta adat Batak yang besar, misalnya Mangongkal Holi (membongkar kembali tulang belulang nenek moyang), gondang lotung-lotung saur matua (pesta orang tua yang meninggal dunia, red), pesta mangallang juhut hoda (orang tua yang sudah lengkap mulai dari cucu anak laki-laki maupun perempuan) dan ulang tahun tambbak (tugu persatuan parsadaan marga yang ada di suku Batak Toba).

Dalam pembagian jambar juhut (bagian untuk seorang berhak menerima menurut adat) ini, dilakukan dalam beberpa bagian dari tubuh sigagat duhut yang disembelih tersebut.

Biasanya, acara ini dilakakuan pada pagi hari setelah selesainya acara pesta adat besar yang dirayakan tersebut.

Hewan yang disembelih diambil dari borotan (hewan yang ditambatkan dan diikat pada tiang ditengah suatu pesta adat) yang pada saat pesta dikelilingi Suhut bolon (yang punya hajatan), Hahanggi (abang dan adik), pihak Boru dan bere, ibebere serta tokoh-tokoh adat dan ale-ale dongan sahuta selama pesta Gondang tersebut berjalan.

Setelah pembagian jambar selesai maka akan dilaksanakan marsiolo-olopan (saling menyetujui dan bersalaman) kepada Suhut bolon atau yang melaksanakan pesta adat tersebut dan menyatap makan bersama yang kemudian disebut dengan sipitu dai.

(Penulis Ambrosius Simbolon, seorang jurnalis greenberita di Samosir)