Notification

×

Iklan

Iklan

Staf KSPPM Dipukul Aparat, BPODT Dinilai Bangun Pariwisata Dengan Kekerasan

12 Sep 2019 | 13:45 WIB Last Updated 2019-11-10T13:43:02Z
BPODT Turunkan Alat Berat Didampingi Aparat Kepolisian Melakukan Pembebasan Lahan di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Samosir, Kamis (12/9/2019)
TOBASA, GREENBERITA.com-Niat BPODT (Badan Pengembangan Otorita Danau Toba) yang bermaksud membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1900 m dan lebar 18 meter mendapatkan perlawanan dari rakyat yang merasa dikangkangi hak-hak masyarakat atas tanah dan hutannya.

Menyikapi perlawanan ini, BPODT mengerahkan aparat keamanan sambil membawa alat berat ke Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir pada Kamis (12/9/ 2019).

BPODT berencana mengambil tanah rakyat itu dengan alasan untuk pembangunan jalan yang merupakan bagian dari pengembangan industri pariwisata di Kawasan Danau Toba.

Menyikapinya, seratusan masyarakat adat Sigapiton bersama KSPPM menghadang upaya memasukan alat-alat berat yang akan menggilas dan mengangkangi hak-hak masyarakat atas tanah dan hutannya.

Staf KSPPM Rocky Pasaribu Alami Luka Dibagian Wajah Diduga Akibat  Pemukulan Aparat
Bentrokan pun tak terhindarkan. Bahkan salah satu staf KSPPM yang ikut mendampingi masyarakat dipukul aparat dan mengalami luka di bagian mata kiri. Bahkan seorang ibu disana mengalami pingsan karena didorong polisi.

Walaupun begitu, masyarakat terus bertahan sekalipun di bawah ancaman kekerasan yang bisa tampil dalam bentuk yang lebih kasar.

Hal itu dibenarkan Direktur KSPPM (Kelompok Study Pengembangan Prakarsa Masyarakat) Delima Silalahi, dalam press rilisnya yang diterima media ini pada Kamis, (12/9/2019).

"Kita menyesalkan kejadian ini dan ini tidak bisa diterima dan perlu diwartakan seterang-terangnya kepada semua pihak. Pertama, pembangunan pariwisata adalah gagasan Presiden Jokowi yang sangat memperhatikan masa depan peningkatan kesejahteraan masyarakat di KDT. Tapi sepanjang yang diketahui, Presiden Jokowi tampaknya tidak pernah memerintahkan mengirim aparat keamanan, apalagi sampai melakukan tindakan pemukulan," ujar Delima Silalahi.

Menurutnya, tindakan kekerasan ini sangat perlu dipertanyakan secara sangat serius dan secara public. "Apakah tindakan yang dilakukan BPODT adalah cara “unik” lembaga ini memahami dan menginterpretasi apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi dengan membangun Pariwisata?, tanya Delima.

KSPPM dan rakyat Sigapiton menilai hal yang jauh lebih berbahaya adalah tindakan yang dilakukan BPODT membangkitkan kembali memori publik tentang perilaku yang umumnya dilakukan Pemerintah saat akan membangun.

"BPODT tampaknya sedang meminjam repertoire of action yang dimiliki rezim politik Orde Baru dalam melakukan pembangunan, yakni menggunakan cara-cara militeristik atas nama pembangunan. Sudah tentu Pemerintahan ini bukan Rezim Orde Baru, juga bukan rezim yang bertumpu pada kekerasan. Tapi tindakan BPODT sedang menegaskan sebaliknya," tegasnya lagi.

KSPPM menilai BPODT sedang membawa pemerintahan ini kembali ke masa-masa kelam Orde Baru ketika pembangunan justeru berujung dengan pemukulan aparat terhadap warga, penangkapan terhadap para pemrotes dan intimidasi secara sistematis.

Karenanya, legitimasi dan justifikasi terhadap keberadaan BPODT perlu dipertanyakan kembali. Bukan saja lembaga ini sama sekali belum menampakkan tanda-tanda memajukan pariwisata setelah lebih dari dua tahun beroperasi, malah menimbulkan ketegangan di masyarakat, memantik banyak konflik, dan yang terakhir mempraktekan kekerasan secara terbuka. Sementara lembaga ini beroperasi dengan uang negara yang bersumber salah satunya dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat di Sigapiton yang akan sedang diserobot tanahnya dan diperlakukan dengan kekerasan.

"Pemukulan terhadap aktifis KSPPM, apapun alasannya perlu diproses secara hukum. Bahkan kehadiran aparat keamanan dalam keseluruhan upaya BPODT memasukan alat-alat berat perlu dipertanyakan secar serius. Untuk apa membawa aparat keamanan jika konon kabarnya niatnya demi kebaikan masyarakat setempat? Bukankah membawa-bawa aparat bersumber dari kecurigaan terhadap masyarakat dan berlandaskan keyakinan di bawah sadar bahwa tindakan membawa alat berat adalah tindakan yang sifatnya sepihak? Bukankah juga semua peristiwa ini hanya menegaskan betapa pada dasarnya semua berbasiskan pada paksaan?" ujar Delima dengan herannya.

Masyarakat Sigapiton dan KSPPM sangat menyanyangkan perisitiwa hari ini. Bahkan dalam alam demokrasi dan dengan kepemimpinan negara yang sangat terbuka terhadap masukan dari bawah, perilaku-perilaku koersif yang sudah ketinggalan jaman masih saja dipertahankan. Ironinya, oleh lembaga yang begitu yakin sedang membawa kemaslahatan kepada masyarakat yang hak-haknya justeru sedang diinjak-injak.

Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada BPODT, mengaku tidak mengetahui tindakan kekerasan yang dilakukan aparat tersebut.
"Kami tidak mengetahui tindakan kekerasan dengan pemukulan itu dan kami juga menyesalkan hal tersebut terjadi. Sebelum melakukan tindakan ini, kami sudah berkali kali melakukan pendekatan dan diskusi dengan warga dari tahun 2018 lalu bahkan sudah rapat bersama di Menko Maritim di Jakarta, " ujar Tata Ridwan, Direktur Destinasi BPODT.

BPODT mengklaim telah mendapatkan ijin pengelolaan area Hutan Lindung yang sudah dijadikan APL  (Area Penggunaan lain) dari pemerintah seluas 279 Ha. "Bahkan kami membayar kayu pinus yang ditebangi kepada rakyat serta tidak membawa keluar kayu  kayu tersebut supaya dapat dipergunakan rakyat disana.

Saksikan video selengkapnya

(gb-fet)