Notification

×

Iklan

Iklan

Bagian V: Perjalanan Menilik Wisata Tetangga, Nyamankah?

16 Jan 2019 | 14:09 WIB Last Updated 2019-11-10T13:59:02Z
Dinding penilaian para pengunjung terkait pelayanan maupun saran atau masukan
GREENBERITA.com

Hostel Sederhana Namun Nyaris Sempurna 

Niat hati, pingin perpanjangan sewa kamar di Hostel ini, namun jawapan yang didapatkan sedikit kecewa tapi cukup beralasan.

"Maaf, hanya bisa satu malam," kata Bow, pemilik hostel tempat kami menginap menjelaskan kamar yang telah kami tumpangi di Hostel Baan-Baan, di Phuket Thailand. 

Sudah ada orang lain yang terlebih dahulu memesannya, lanjut Bow. Kalaupun mau, harus pindah kamar ke dormitory, kamar tidur bertingkat berisi 8 orang, bergabung dengan beberapa tamu lain.

"Kemarinpun, kamar yang anda tempati satu malam itu, bisa untuk anda, karena ada tamu lain yang kebetulan membatalkan.

Saya lalu teringat istri saat browsing hotel di Bus yang membawa kami ke Phuket, bolak balik dia minta saya cepat booking, cepat booking, sebelum orang lain ambil.

Hampir sama dengan tamu lain yang memilih 'rebutan' menginap di tempat ini, karena nilai  9.5 yang nyaris sempurna itu membuat banyak orang rela membayar harga yang relatif lebih mahal di banding kamar-kamar lain yang melimpah ruah dengan berbagai harga di Phuket.

Mengapa nyaris sempurna? 

"Kami melakukannya seperti rumah sendiri," kata Bow, pemilik Hotel Baan-baan.

Mengapa tidak ditambah kamar?

"Kami hanya menyewa di bangunan ini," ujar Bow.

Oh, sayapun makin penasaran.

Mengapa anda begitu yakin memulai usaha ini dengan menyewa bangunan?

Saya jurusan interior, dan teman saya Ping, jurusan Arsitek.


"Kami sudah pernah sama sama bekerja sebelumnya, jadi setidaknya kami tau kebutuhan tamu," tambah Bow.

Untuk urusan detail renovasi bangunan,  pemilihan kran dan segala alat alat di kamar hotel yang serba nyaman dipakai itu, teman Bow, Ping alumni Arsitek itu yang kemudian lebih banyak saya tanya.

Mata saya kemudian tertuju pada peta jalan Phuket, yang menggambarkan destinasi menarik di sekitar hostel.

Pakai program apa anda buat menggambar ini?

"Oh, saya lukis dengan free hand," ujarnya.

"Saya senang melukis," kata Bow. Bow lalu menunjukkan beberapa lukisan sketsa lainnya yang ia kerjakan sembari mengurus administrasi di lobi hostelnya yang mungil tapi sangat komplit dan menarik.


Saya dulu seperti putri Anda, kata Bow. Sebelumnya saya berkisah tentang putri sulung kami Nada Kasih Stephanie, yang memilih 'home schooling' setelah Nada tamat SD.

Bahagia sekali Nada, punya orangtua yang sedini mungkin sudah memberi anaknya kebebasan untuk memilih apa yang dia suka.

"Saya dulu tidak bisa," kata Bow.

Beberapa kali Bow minta maaf untuk lafal  Bahasa Inggrisnya yang mungkin agak susah dipahami karena aksen Thailand mereka yang memang agak unik.

Saya bilang, saya jauh lebih parah. Dulu  sudah selesai skripsi di Universitaspun, Bahasa Inggris saya yang hanya 1 sks pun belum lulus.

Kamipun sama sama terbahak bahak.

Beberapa kali, percakapan kami terganggu karena pertanyaan beberapa tamu lain, yang meminta bantuan Bow.

Dan dengan sangat sopan Bow minta maaf dan permisi.

Ada hal mendasar yang kami temukan disini, bahasa tubuh dan Sikap kalian yang sangat membantu, dalam pikiran ku.

Saya lalu berkisah saat ia bercerita kepada  kernet bus yang membawa kami menuju Phuket, soal HP nya yang tinggal di tas dalam bagasi bus.

Walau dengan Bahasa Inggris yang sangat terbatas, tetapi kernet bus itu dengan sepenuh hati, tanpa bersungut sungut membuka bagasi bus besar itu agar penumpang bisa mengambil HPnya.

"Terima kasih terima kasih," kata Bow saat kami menceritakan rasa kagum dan terima kasihnya itu.

"Tapi maaf, itu tidak semua. Anda perlu tetap selalu berhati hati," kata Bow mengingatkan kami.

Di dinding kaca reception hostel ini, diantara begitu banyak apresiasi tertulis dari para tamu dari segala penjuru dunia itu, mata saya tertuju pada point 9.8 yang pernah di berikan para tamu Hostel ini di booking.com.

Point tertinggi, nyaris sempurna yang belum pernah saya lihat pada Hotel lain di aplikasi manapun.

"Itu Bulan Agustus 2017, beberapa bulan setelah kami memulai usaha ini," kata Bow.

Apa rahasinya?

"Ohh, mungkin karena kami tau apa yang dibutuhkan tamu tamu," tegasnya.

Kami membuat tamu kami senyaman mungkin seperti di rumah mereka sendiri. Karena kamipun memang memilih tinggal di sini, ujarnya.


Dengan sangat sopan dan lembut, Bow menjelaskan dengan detail setiap pertanyaan yang saya ajukan.

Saya memang menceritakan pada Bow dan tamu tamu lain tentang kehebatan Presiden baru kami Jokowi, dan Bandara International yang kini dibuka dengan penerbangan yang sudah dimulai oleh Air Asia dari Kuala Lumpur Silangit Kulalumpur dengan harga tiket 215.000 atau kurang dari 15 USD untuk sekali terbang.

Sambil menggiling sendiri kopi yang sengaja saya bawa dari Balige, sayapun berkisah tentang rencana kami membuka bisnis baru penginapan dan toko souvenir lokal. 

Saya berkisah tentang kopi arabika di Tanah Batak yang berkualitas sangat bagus, tapi harga di tingkat petani yang sangat rendah karena kurang paham mengelola pasca panennya.

Beberapa tamu yang ikut mencicipi kopi tubruk yang saya seduh usai menggiling manual sambil bercerita, ikut penasaran suatu waktu bisa mengunjungi kami di Danau Toba.

Sambil serapan pagi, Kamipun berbincang banyak tentang beberapa hal, terutama soal pariwisata yang bertanggung jawab dengan teman teman baru dari berbagai belahan dunia itu.

Untuk belajar memasak dan aneka souvenir, Bow menyarankan agar kami menyediakan waktu lebih banyak di Chiang Mai, Kota di utara Thailand yang katanya mirip dengan Tanah Batak, dengan sawah dan ladang di kelilingi perbukitan.

Tiap langkahku diatur oleh Tuhan. 

Rasanya kami selalu mendapatkan jauh lebih besar dari apa yang kami impikan.

Terima kasih Thailand, Terimakasih Ping n Bow, sudah berbagi, sudah menjadi sahabat bagi kami, bagi para traveler dari penjuru dunia.

Semoga suatu waktu, kalian dkk, bisa gantian mengunjungi kami di TOBA.

Sebastian Hutabarat
(Phuket Thailand, 16 January 2019)