Notification

×

Iklan

Iklan

Ongkos Politik Pilkada Mahal, Alasan Bupati Lampung Tengah Ketika Terjerat OTT KPK

14 Des 2025 | 23:46 WIB Last Updated 2025-12-14T16:46:03Z

Bupati Lampung Tengah Ditangkap KPK (photo Instagram KPK/gb)

GREENBERITA.com– Tingginya ongkos politik sewaktu Pilkada lalu, kembali disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah operasi tangkap tangan terhadap Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, yang diduga menggunakan uang hasil korupsi untuk menutup beban biaya kampanye Pilkada 2024.


“Kami melihat fakta adanya aliran uang hasil korupsi yang digunakan untuk melunasi biaya kampanye bupati,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Sabtu, 13 Desember 2025.


KPK menilai mahalnya pembiayaan politik menjadi salah satu pemicu kepala daerah melakukan praktik korupsi. Budi mengatakan, lembaganya saat ini tengah menganalisis tata kelola partai politik, khususnya terkait tingginya kebutuhan dana.


“Mulai dari pembiayaan pemenangan pemilu, operasional partai politik, hingga pendanaan kegiatan internal seperti kongres dan musyawarah partai,” ujarnya seperti dikutip dari tempo.


Dalam kasus Lampung Tengah, KPK mengungkapkan Ardito Wijaya diduga menerima aliran dana sebesar Rp 5,75 miliar dari pengaturan berbagai proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Sebagian dana tersebut digunakan untuk melunasi pinjaman bank senilai Rp 5,25 miliar yang diajukan Ardito untuk kebutuhan kampanye Pemilu 2024.


Pelaksana harian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Mungki Hadipratikto menjelaskan Ardito menetapkan fee sekitar 15–22 persen dari sejumlah proyek tersebut pada Juni 2025. Menurut Mungki, praktik pengondisian proyek telah berlangsung sejak Februari hingga Maret 2025, tidak lama setelah Ardito dilantik sebagai Bupati Lampung Tengah.


Ardito, kata Mungki, memerintahkan anggota DPRD Lampung Tengah Riky Hendra Saputra untuk mengatur pemenang proyek melalui mekanisme penunjukan langsung di e-Katalog. Perusahaan yang harus dimenangkan merupakan milik keluarga atau tim pemenangan Ardito pada Pilkada 2024.


Untuk menjalankan pengaturan tersebut, Riky berkoordinasi dengan Sekretaris Badan Pendapatan Daerah Iswantoro. Iswantoro kemudian menghubungkan para penyedia dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Lampung Tengah.


Dari praktik itu, Ardito diduga menerima fee sebesar Rp 5,25 miliar sepanjang Februari hingga November 2025 melalui Riky dan adiknya, Ranu Hari Prasetyo.


Selain itu, KPK juga menemukan pengondisian proyek pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lampung Tengah. Ardito memerintahkan Pelaksana Tugas Kepala Bapenda yang juga kerabatnya, Anton Wibowo, untuk memenangkan PT Elkaka Mandiri (PT EM).


Perusahaan tersebut kemudian memperoleh tiga paket pengadaan dengan nilai total Rp 3,15 miliar. Dari proyek ini, Ardito diduga menerima tambahan fee sebesar Rp 500 juta melalui perantara Anton.


KPK mengungkap kasus ini melalui operasi tangkap tangan yang digelar pada Selasa dan Rabu, 9–10 Desember 2025. Penyidik menangkap Ardito, Ranu, dan Riky di rumah masing-masing, sementara Anton dan Direktur PT EM Mohamad Lukman Sjamsuri (MLS) ditangkap di kantor mereka.


Atas perbuatannya, KPK menjerat Ardito, Riky, Ranu, dan Anton sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sementara itu, Mohamad Lukman Sjamsuri dijerat sebagai pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 undang-undang yang sama.**(Gb-real)