Notification

×

Iklan

Iklan

Seruan Tokoh Agama dan Akademisi Menggema dari UIN: Krisis Lingkungan Sumut Kian Genting

18 Nov 2025 | 21:45 WIB Last Updated 2025-11-18T14:45:26Z

Seminar Kolaboratif UIN: Peran Agama dalam Isu Lingkungan di Sumatera Utara (18/11- greenberita/ferndt)

GREENBERITA.com– Kerusakan lingkungan di Provinsi Sumatera Utara terus memburuk, bencana ekologis semakin sering terjadi, dan konflik berbasis sumber daya alam tak kunjung reda. Kondisi tersebut memunculkan tuntutan agar tokoh agama, akademisi, dan komunitas berperan lebih kuat dalam memperjuangkan keadilan ekologis.


Seruan itu disampaikan oleh Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, dalam Seminar Kolaboratif: 'Peran Agama dalam Isu Lingkungan yang diselenggarakan di UIN Sumatera Utara' pada Selasa, 18 November 2025.


"Seminar ini mempertemukan akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pemimpin komunitas untuk membangun kolaborasi lintas sektor dalam merespons krisis lingkungan. UIN Sumatera Utara menegaskan komitmennya untuk menjadi pusat kajian dan advokasi lingkungan berbasis nilai keagamaan," ucap Hening Parlan.


Hening menekankan pentingnya kontribusi generasi muda dalam aksi lingkungan yang berakar pada nilai spiritual. “Bagi anak muda, khususnya mahasiswa UIN Sumatera Utara, mari menjadikan keimanan sebagai landasan gerak. Nilai-nilai agama dapat menjadi spirit dalam menjaga bumi, mulai dari membuat film pendek, melakukan pendampingan, hingga berkampanye di media sosial,” ujarnya. 


Ia juga mengajak komunitas lintas iman untuk memperkuat solidaritas menghadapi krisis ekologis yang semakin parah.


Dari perspektif akademik, Dr. Faisal Riza (UIN Sumatera Utara) memaparkan bahwa satu dekade terakhir menunjukkan peningkatan konflik agraria yang berdampak serius pada masyarakat. 


“Kebijakan negara yang berorientasi pada teritorialisasi sumber daya agraria dan komodifikasi alam berpotensi merampas tanah masyarakat adat dan lokal,” jelas Dr. Faisal Riza. 


Ia menekankan bahwa pengabaian konsultasi dan partisipasi masyarakat adat dapat menghilangkan hak tradisional mereka. 


“Pelanggaran hak masyarakat adat berujung pada marginalisasi yang semakin mendalam,” tambahnya.


Sementara itu, Direktur KSPPM Roki Pasaribu menampilkan video kondisi masyarakat adat yang terdampak penurunan kualitas hidup akibat konflik agraria dan eksploitasi lingkungan. 


“Konflik agraria yang berkepanjangan menyebabkan pemiskinan masyarakat pedesaan, meningkatnya kriminalisasi, penggusuran, dan krisis iklim,” tegas Roki Pasaribu. 


Ia menyoroti bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak, terutama akibat hilangnya akses terhadap sumber daya alam dan air bersih.


Dari lapangan, Sahala Pasaribu dari Masyarakat Adat Komunitas Op. Nasomalo Marhohos Natinggir, Kabupaten Toba, menyampaikan kesaksian mengenai konflik yang mereka hadapi dengan perusahaan TPL. 


“Selama enam tahun kami menghadapi intimidasi dan kekerasan. Sebanyak 22 kendaraan kami dirusak dan dua anggota masyarakat terluka. Ruang hidup kami terus menyempit karena tanaman dirampas perusahaan. Kami berharap dukungan, termasuk dari mahasiswa, untuk memperjuangkan hak-hak kami,” tutur Sahala Pasaribu.


Seminar tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya penguatan kurikulum ekoteologi, perluasan jejaring lintas iman, serta kolaborasi kampus dan komunitas dalam memastikan keberlanjutan lingkungan di Sumatera Utara. Kegiatan itu diharapkan dapat membangun ruang dialog kritis antara akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil terkait dampak sosial-ekologis aktivitas industri di kawasan Danau Toba, sekaligus memperkuat gerakan bersama menghentikan praktik perusakan lingkungan.**(Gb-Ferndt01)