Aktivis Lingkungan Kawasan Danau Toba Delima Silalahi (photo arsip greenberita)
GREENBERITA.com - Penggiat lingkungan Kawasan Danau Toba, Delima Silalahi memberikan klarifikasi atas pernyataan manajemen Toba Pulp Lestari menanggapi seruan tutup TPL oleh Opung Ephorus HKBP, Pdt. Viktor Tinambunan pada Jumat, 09 Mei 2025.
"Terkait dengan klarifikasi manajemen tersebut yang sangat menggunakan kacamata ekonomi. Mereka menjelaskan secara singkat bahwa perusahaan tersebut berdampak terhadap bangsa ini, terhadap Tano Batak, dan para karyawannya. Tapi saya mau mengatakan kepada kita semua dan kepada manajemen PT TPL bahwa jejak digital itu ada. Bagaimana perusahaan ini dan pemiliknya juga terindikasi memiliki rekam jejak yang buruk dalam pajak dan juga dalam manipulasi dokumen ekspor. Itu bisa dicari sendiri oleh teman-teman," terang Delima Silalahi pada video yang diupload dari akun Facebook nya.
Secara khusus, Delima Silalahi memberikan apresiasi kepada Ephorus HKBP yang sudah memecah kebekuan gereja selama dua dekade terakhir terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di kawasan Danau Toba akibat kehadiran PT Toba Pulp Lestari.
"Selama hampir dua dekade, hampir tidak ada gereja yang secara institusional dengan berani mengatakan untuk menutup TPL. Kita sangat mengapresiasi hal tersebut. Kami tahu Opung Ephorus bukanlah sosok yang bisa disetir oleh siapapun, tapi dari cara pandang, paradigma, dan tindakan beliau sudah sangat ekologi. Itu terbukti dari disertasi beliau yang menunjukkan respek terhadap lingkungan, dan itu bukan baru-baru ini saja," terang Delima Silalahi.
Mantap Direktur KSPPM ini meminta masyarakat luas untuk tidak serta merta dan mentah-mentah menerima klarifikasi manajemen PT TPL.
"Dari jejak digital itu kita melihat, pertama, di tahun 2020, Indonesia Leaks—gabungan media nasional yang kredibel dan komit memberitakan kebenaran—melakukan investigasi dan riset tentang data ekspor TPL. Temuannya, ada dugaan manipulasi. Di mana data ekspor yang dilakukan oleh TPL antara yang diterima di CIS, Singapura, dan Cina dengan yang dikirim dari Indonesia (Belawan), ternyata berbeda. Misalnya, dari data dokumen yang diterima, disebutkan produk solving pulp, yaitu bahan baku untuk produk hilir lainnya seperti pakaian dan lain-lain. Tapi dari data bea cukai Indonesia, yang dikirim disebut BHKP (Bleached Hardwood Kraft Pulp), yang merupakan produk seperti pulp namun dengan harga lebih murah. Hitung-hitungannya ada di internet dan bisa dibaca. Manipulasi itu terjadi selama 10–11 tahun, dari 2007 sampai 2016," tegas Delima Silalahi.
Dari data tersebut, Delima melihat ada manipulasi data dan itu menguntungkan bagi perusahaan.
"Mungkin negara tidak menganggap itu pelanggaran hukum atau berdampak secara ekonomi, tapi sebagai warga negara yang kritis, kita menerima hasil riset itu dan menganalisis bagaimana supaya praktik-praktik manipulatif seperti itu tidak terulang. Itu menunjukkan rekam jejak yang buruk," ujar penerima penghargaan Goldman Environmental Foundation di San Fransisco, USA pada Senin (24/4/2023) lalu.
Terkait soal tenaga kerja, Delima menyebutkan ada 13 ribu tenaga kerja yang terdampak langsung dan tidak langsung, serta ada 50 ribu jiwa yang terdampak bersama keluarganya jika perusahaan ini tutup.
"Halooo… emang TPL itu memperlakukan buruhnya dengan baik? Dengan kualitas hidup yang layak? Berapa persen dari 13 ribu itu yang layak penghidupannya? Kita masih ingat, dua atau tiga tahun lalu, salah satu media internasional melakukan investigasi tentang kondisi perburuhan di konsesi PT TPL. Investigasinya dilakukan oleh jurnalis Indonesia, Bang Tonggul Simangunsong. Silakan dicari juga. Di sana diungkapkan bagaimana mereka memperkerjakan buruh dan perempuan secara tidak layak dan tidak manusiawi, tidur di barak-barak yang tidak layak. Setelah hasil investigasi itu diliput oleh dunia internasional, barulah pemerintah Indonesia datang dan mendorong mereka membangun basecamp yang layak. Tapi menurut saya itu tetap tidak layak," ujar satu dari enam penerima penghargaan Anugerah Lingkungan Goldman 2023 dari perempuan dari Tano Batak, Sumatera Utara.
Delima juga membandingkan bagaimana TPL merusak puluhan ribu keluarga masyarakat adat yang terpaksa kehilangan ruang hidup, kehilangan penghidupan dari kemenyan, dari sawah, dan dari ternak mereka yang mati karena keracunan pupuk kimia yang mereka kenalkan ke mana-mana. "Pestisida kimia yang mereka tebar, misalnya seperti di Onan Harbanggan, Nagasaribu, di mana kerbau-kerbau masyarakat dilepaskan sejak dahulu. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi karena PT TPL menggunakan pestisida yang bisa meracuni kerbau-kerbau mereka," ungkap Delima Silalahi.
"Jadi hal biasa dalam 10 tahun terakhir, masyarakat adat Onan Harbanggan melihat ternak-ternak mereka mati keracunan oleh pestisida kimia. Nah itu, bandingkan saja. Cari di internet, benar nggak TPL memperlakukan buruhnya dengan baik? Kami sering jalan-jalan ke desa-desa, ke daerah-daerah konsesi, dan menyaksikan sendiri buruh-buruh itu tidur di tenda-tenda biru dari plastik," pungkas Delima Silalahi.***